"Aer" Bikin Johny Sae Tertawa

Sumber:Kompas - 02 Desember 2011
Kategori:Air Minum
Di depan rumahnya, di bawah tenda plastik bekas upacara pernikahannya pada tiga pekan lalu, Johny Sae tampak begitu bahagia. Dia terus-menerus melemparkan senyum. Johny menyambut para tamunya dengan tata bahasa Indonesia yang tertib sekali.
 
Dia bilang begini, ”Mewakili masyarakat Dusun Taitnama, Desa Kuanheum, rasa hormat yang mendalam dan sungguh luar biasa kami sampaikan kepada Dana Kemanusiaan Kompas, Yayasan Bhakti Flobamora, dan Pemerintah Kabupaten Kupang dengan pekerjaan yang sungguh luar biasa dalam waktu hampir satu tahun ini.”
 
Tuan rumah dan pengantin baru itu bersama semua warga kampung menunjukkan sukacita luar biasa pada Selasa (29/11) pagi, saat jaringan air bersih yang mereka dambakan akhirnya selesai dikerjakan dan diresmikan penggunaannya.
 
Kegembiraan orang dusun terungkap dengan hadirnya ribuan orang desa di sana.
 
Menyongsong tamu dengan upacara Natoni, pantun bersahut dengan bahasa lokal oleh 12 pria sepuh berbusana khas Timor. Disusul tarian Nab Soon oleh sembilan bocah sambil membagikan selendang Timor. Di sana hadir antara lain Bupati Kupang Ayub Titu Eki, Ketua Yayasan Bhakti Flobamora (Flores Sumba Timor Rote Alor) Gaspar Ehok, Ketua DPRD Kabupaten Kupang Melitus Ataupah, ketua adat desa tetangga Fatufeta, Kecamatan Amabi Oefeto, Yohannis Amheika (68), Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, serta Ketua Yayasan DKK Mohammad Nasir.
 
Ungkapan populer tentang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mendambakan air, yaitu aer su dekat, mereka ganti sendiri jadi aer su datang. ”Yang kita lihat hari ini bukan lagi aer su dekat, melainkan aer su datang. Bertahun-tahun orang desa mencari aer. Sekarang aer cari orang di rumah sendiri,” kata Ayub Titu Eki melukiskan betapa bermaknanya proyek yang memenuhi kebutuhan air bersih bagi 700 jiwa penduduk Dusun Taitnama, Desa Kuanheum, Kecamatan Amabi Oefeto itu. Berkat dukungan penuh Titu Eki yang berkali-kali datang sendiri ke jurang sedalam 80 meter tempat Sungai Kuanheum berada serta Yayasan Bhakti Flobamora—mitra pelaksanaan proyek DKK—instalasi air yang rumit itu pun selesai dikerjakan. Di kalangan warga setempat air lazim disebut aer.
 
Bukan sederhana
 
Instalasi air dengan teknologi hidram yang dibangun DKK kali ini bukan proyek sederhana. Sebagai perbandingan, pemerintah sebenarnya sudah tiga kali mengupayakan pembangunan instalasi air bersih untuk sejumlah desa yang kondisinya mirip Kuanheum. Proyek terakhir Proyek Pembangunan Kecamatan awal tahun 2000, era sebelum Titu Eki. Air hasil proyek tersebut sempat mengalir beberapa jam, tetapi kemudian bak penampungnya ambrol. Yang tersisa adalah ratusan batang pipa dan bak distribusi di Dusun Taitnama.
 
Tim teknis yang dimotori Alex Lamba dan Adhi Dharmawan dari Yayasan Bhakti Flobamora menyelesaikan instalasi itu dengan tantangan berat. Awalnya, saat melihat lokasi air di kedalaman jurang 80 meter, pesimisme langsung muncul. Namun, timbul gagasan untuk mengadopsi teknologi hidram yang pernah dikembangkan di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
 
Bendungan pun dibangun di Sungai Kuanheum selebar 35 meter dengan ketinggian 6 meter. Air dari bendungan dengan tekanan besar itu diperkuat tekanannya dengan menyalurkannya ke tiga pipa besi besar berdiameter 6 dim (15 cm) sepanjang 50 meter. Air itu ditampung di bak elevasi berkapasitas 40 meter kubik, dan diperkuat lagi tekanannya ke lima pompa hidram lewat lima pipa yang berdiameter 6 dim dan 4 dim. Semburan air bertekanan tinggi itu sengaja dialirkan dengan konstruksi dan kemiringan 75 derajat.
 
Jangan khawatir, aliran sungai tersebut tetap lancar dan berlimpah. Itu karena dari 2.500 liter per detik debit Sungai Kuanheum, hanya 2 liter per detik yang disalurkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Taitnama.
 
”Sirip ikan” lima pompa hidram itu mengatur semburan air ke atas dengan pipa 1,5 dim dan ketinggian semburan hingga 100 meter. Supaya tekanan sangat kuat, air disalurkan dengan pipa ukuran 1,5 dim, berupa PVC yang lentur agar bisa mengikuti kontur jurang berkelok-kelok.
 
Sampai puncak tebing, air diluncurkan melalui jaringan pipa besi ukuran 1,5 dim sepanjang 550 meter sampai di bak utama di sebuah bukit. Dari bak utama ini air lalu dialirkan dengan tekanan gravitasi ke lima bak distribusi. Dari bak utama di bukit tersebut, air dialirkan ke kampung-kampung dengan pipa besi 4 dim sepanjang 90 meter, disambung pipa 3 dim sepanjang 180 meter, dan sisanya yang langsung menjangkau rumah tangga desa, digunakan pipa 2 dim. Total jarak air yang dialirkan dengan gravitasi kira-kira 2,5 kilometer. Proyek itu menghabiskan Rp 1,3 miliar. Jumlah yang tidak sedikit, tetapi inilah proyek besar dengan pembiayaan yang ketat pengawasan.
 
Medan berat
 
Seluruh kawasan yang diuraikan ini bukan medan atau lahan yang jinak. Kawasan itu meliputi hutan, jurang, dan gunung karang dengan semak dan duri yang sulit ditempuh, bahkan oleh warga desa setempat yang berjalan kaki.
 
Johny Sae, insinyur pertama dari desa itu, kini tertawa-tawa. Bukan hanya karena aer su datang ke rumahnya, melainkan karena Bupati Kupang Titu Eki meringkasnya begini: ”Proyek ini saya sebut aer tolak aer, naik gunung, masuk hutan keluar hutan, lak nonok (menyeberangi kali mati) datang cari orang untuk pakai.”
 
Titu Eki melanjutkan, setelah air datang warga harus menyongsongnya dengan kerja keras untuk mengubah hidup mereka. Titu mengusulkan agar dilakukan tanam paksa dan paksa tanam. Tanam paksa itu keharusan penghijauan. Kalau itu tak dilakukan, pemerintah dan lembaga agama akan memaksa tanam. ”Jadi, Johny, kau mesti ingat juga sebagai pengantin baru, jangan hanya rajin tanam paksa malam hari, tetapi harus tanam paksa siang hari,” kata Titu Eki disambut tawa hadirin terbahak-bahak. Frans Sarong dan Hariadi Saptono


Post Date : 02 Desember 2011