"Peta Jalan" Pasca-Protokol Kyoto

Sumber:Kompas - 20 Oktober 2007
Kategori:Umum
Orang bertepuk meriah saat Konvensi Perubahan Iklim disepakati kepala pemerintahan 154 negara dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni 1992. Setelah setiap negara selesai meratifikasikannya, mulailah konvensi diberlakukan sejak 1994.

Selain itu, juga disepakati mekanisme kerja, mencakup: pertama, Conference of the Parties to the Convention (COP) sebagai badan pengambil keputusan konvensi. COP dipimpin presiden beserta biro dan dipilih bergilir di antara menteri lingkungan negara anggota.

Kedua, Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) yang berfungsi menilai informasi ilmiah-sains serta teknologi dari berbagai lembaga internasional untuk dipadukan dengan kebutuhan perumusan kebijakan pemerintahan negara anggota COP.

Ketiga, Subsidiary Body of Implementation (SBI) yang merumuskan rekomendasi tentang implementasi konvensi untuk COP.

Keempat, Climate Change Secretariat sebagai badan PBB mengoordinasikan sekretariat konvensi.

Sejak Sidang Umum PBB (1988) mengangkat perubahan iklim sebagai masalah global, World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) ditugaskan membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terdiri dari ilmuwan terkemuka dunia, untuk menilai besaran, skala, dan masa waktu perubahan iklim, mengukur implikasi dampaknya, serta menyarankan strategi penanggulangannya.

Emisi gas

Berdasarkan laporan ilmiah IPCC, pertemuan COP-3 (1997) menyepakati Protokol Kyoto yang memuat langkah-langkah mengendalikan emisi CO dan gas rumah kaca dengan menetapkan bagi setiap negara industri sasaran individual yang mengikat secara hukum.

Dalam pertemuan COP berikutnya, selama delapan tahun dirundingkan rencana operasi pengendalian emisi gas rumah kaca yang mencakup sistem perdagangan emisi karbon, cara kerja Clean Development Mechanism (CDM), aturan akuntan, berkurangnya emisi karbon dan struktur rezim compliance, serta program bantuan bagi negara berkembang. Sejak Februari 2005 Protokol Kyoto berlaku.

Dalam protokol, sasaran pengendalian emisi gas rumah kaca hanya berlaku bagi negara maju yang dianggap menjadi sumber pencemaran dengan proses industrialisasi. Pada masa prarevolusi industri (sebelum 1750) emisi karbon di udara menghasilkan konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebesar 280 ppm. Pada masa pascaindustri konsentrasi emisi CO2 naik mencapai 375 ppm (2003). Sumber emisi karbon adalah pembakaran minyak bumi dan batu bara untuk energi, transportasi, dan industri yang berteknologi kotor. Konsentrasi gas karbon yang kian tebal membungkus Bumi bagai selimut menahan panas bumi sehingga menaikkan suhu panas bumi dengan 0,4 derajat Celsius di atas suhu Bumi masa praindustri.

Naiknya suhu bumi berdampak pada penggelembungan molekul air laut dan pencairan glaciers serta bongkah gunung es yang menaikkan permukaan laut rata-rata 15 cm selama abad ke-20 ini. Jika pola pembangunan ini berlanjut, menjelang tahun 2100 permukaan laut bisa naik rata-rata 90 cm. Kenaikan muka laut selama ini sudah menenggelamkan pulau, seperti pulau-pulau Kiribati, Tuvalu, Vanuatu, dan Kepulauan Marshall, di lautan Pasifik. Jika berlanjut, dapat juga menenggelamkan Kepulauan Maladewa dan beberapa pulau Indonesia di lautan India.

Naiknya permukaan laut juga meningkatkan frekuensi badai, topan, dan banjir sehingga memukul penduduk pesisir. Dampak pada pertanian, pengembangan kota di pesisir, perikanan, kesehatan, dan keragaman hayati alami amat besar.

Peran negara industri

Semula, menurut Protokol Kyoto, dalam tahun 2008-2012, negara industri harus menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca 5,2 persen di bawah tingkat tahun 1990. Untuk ini dikembangkan CDM serta dana bantuan negara maju kepada negara berkembang melalui Global Environment Facility (GEF). Hingga tahun 2004 GEF mengeluarkan 1,8 miliar dollar AS, di antaranya China menerima 438 juta dollar AS dan Indonesia 30 juta dollar AS. Menurut Oxfam, dana yang dibutuhkan bagi negara berkembang sekitar 50 miliar dollar AS setahun.

Dari semua negara industri, AS dan Australia yang tidak ikut Protokol Kyoto karena tidak mau terikat secara hukum pada sasaran pembatasan emisi CO2 sehingga kira-kira 40 persen emisi negara industri tidak masuk Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto akan berakhir 2012 dan memerlukan kelanjutan berupa protocol pasca-2012, yang mulai dibuka pembahasannya di Bali (2007) untuk dirampungkan di Denmark (2009). Uni Eropa sudah merencanakan perluasan protokol pasca-2012 dengan sasaran agar suhu muka Bumi pada tahun 2050 tidak melebihi 2derajat Celsius di atas tingkat praindustri. Untuk ini, negara maju harus menurunkan gas rumah kaca pada 2020 dengan minus 30derajat dari 1990 dan pada 2050 menjadi minus 60derajat hingga minus 80derajat dari 1990.

Konferensi Bali

Dari COP-13 Konferensi Bali Desember 2007 diharapkan lahir kesepakatan tentang "peta alur jalan" (roadmap) menuju Denmark (2009) sebagai tahun sasaran merampungkan protokol baru post-2012 dengan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon sekaligus mengurangi kemiskinan, menghapus ketimpangan pendapatan, dan meningkatkan kesejahteraan sosial menuju dunia global yang lebih adil antara negara maju dan negara berkembang.

Untuk mencapai sasaran ini, Indonesia bisa berperan jika bisa menampilkan diri sebagai tuan rumah yang tahu menunjukkan tracee pembangunan rendah karbon dengan bukti dan aksi penerapannya di dalam negeri guna menyelamatkan rakyat dan bangsa kita dari ancaman malapetaka perubahan iklim.

Dengan kemampuan menyusun dan mewujudkan "peta jalan" pembangunan rendah karbon di dalam negeri, kita memiliki modal moral membawa peserta Konferensi COP-13 Bali ke "peta jalan" pembangunan pasca-2012 menyelamatkan dunia dari petaka kerusakan Bumi.Emil Salim Dosen Pascasarjana UI



Post Date : 20 Oktober 2007