"SEMARANG KALINE BANJIR..."

Sumber:Kompas - 12 Maret 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Entah kenapa, Andjar Any pencipta lagu Jangkrik Genggong yang dipopulerkan oleh penyanyi kondang Waljinah mencantumkan sebaris syairnya "Semarang kaline banjir". Sepenggal syair langgam Jawa ini sering disitir oleh berbagai kalangan yang memiliki perhatian terhadap persoalan banjir di Kota Semarang yang tidak pernah selesai.

Belakangan, sebagian besar masyarakat seakan memaklumi banjir Kota Semarang. Semarang kaline banjir seakan "mentakdirkan" Kota Semarang memang harus banjir. Begitu dahsyatnya pengaruh syair lagu tersebut.

Orang di luar Kota Semarang yang belum pernah ke Semarang sekalipun akan tahu, kalau Kota Semarang sering dilanda banjir.

Sejarah banjir di Kota Semarang tidak dapat menghilangkan catatan banjir yang terjadi tahun 1913. Jalan Bojong yang sekarang dikenal dengan Jalan Pemuda tergenang air. Catatan kelam selanjutnya terjadi 1990. Tanggul Banjir Kanal Barat jebol menewaskan 86 orang dan kerugian mencapai sekitar Rp 8,7 miliar.

Perjalanan panjang Kota Semarang seakan tidak pernah lepas dari persoalan banjir dan banjir. Hampir seabad, masyarakat di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini dipaksa hidup dengan banjir pada setiap musim hujan. Bahkan saat ini tidak musim hujan pun sejumlah kawasan tergenang air.

Belanda melihat jelas potensi banjir di Kota Semarang. Wilayah Semarang terdiri dari dataran rendah di sebelah utara dan daerah perbukitan di sebelah selatan yang mencapai 350 meter di atas permukaan laut. Tidak heran jika Belanda menyusun konsep pengendali banjir dengan membangun Banjir Kanal Barat (BKB) pada tahun 1892 dan Banjir Kanal Timur (BKT) tahun 1900.

Sistem banjir kanal tersebut untuk melindungi pusat perdagangan dan pemerintahan yang berada di Semarang tengah. Mungkin tak terpikirkan oleh Belanda, Kota Semarang akan tumbuh dan berkembang pesat menjadi kota sebesar sekarang ini. Kini Kota Semarang tidak berdaya lagi mengelola sumber daya air, termasuk banjir. Banjir yang masih terjadi sampai saat ini, bahkan dalam tingkatan tertentu makin besar, menyiratkan sebuah pertanyaan, apa yang telah diperbuat para pemimpin Kota Semarang dalam mengatasi banjir? Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Tandiono Bawor Purbaya mengatakan, penanganan banjir oleh Pemerintah Kota Semarang tidak lebih dari sekedar main-main.

"Pembuatan polder misalnya, ternyata tidak menyelesaikan masalah," kata Bawor. Polder yang dibangun dengan maksud mengendalikan banjir di kawasan Kota Lama ternyata gagal. Di kawasan tersebut masih tergenang ketika hujan tidak lebih dari tiga jam. Pemkot Semarang dalam menangani banjir hanya bersifat administratif dan parsial.

Akar persoalan justru belum tersentuh. Banyak sungai yang mengarah ke utara disempitkan, misalnya Kali Tawang Mas. Menurut keterangan masyarakat di sana, kata Bawor, dulu Kali Tawang Mas dapat dilewati dua perahu bercadik. Kini tinggal kali kecil saja. Contoh lain yaitu Kali Tapak, dibelokkan karena dibangun pabrik. Kondisi ini memperparah banjir di Kota Semarang. "Air yang seharusnya bisa lari ke laut menjadi tersumbat," katanya.

Memang, mengatasi persoalan publik tidak dapat selesai tanpa menyentuh akar persoalan sesungguhnya. Bawor mengharapkan, pemkot segera duduk bersama masyarakat baik itu para pengusaha, akademisi, dan masyarakat lainnya.

Harapan serupa dikatakan pakar hidrologi dari Universitas Diponegoro Dr Robert J Kodoatie. "Pemerintah tidak akan dapat mengatasi banjir dengan dananya sendiri tanpa mengajak keterlibatan masyarakat dan pengusaha," katanya. Lebih lanjut, Robert mengatakan, penanganan rob dan banjir selama ini tidak efektif karena tidak mengacu pada sumber permasalahan. Sibuk soal dana dan rencana

Pola penanganan banjir yang dilakukan pemkot tercermin dengan kondisi lingkungan saat ini. Peralihan fungsi lahan tanpa diimbangi penataan drainase. Tahun 1975 luas rawa di daerah basah mencapai 187 hektar dan hutan bakau 16 hektar. Kawasan ini memiliki kapasitas resapan air sekitar 935.000 meter kubik. Dua puluh empat tahun kemudian, luas rawa tinggal tersisa satu hektar, sedangkan hutan bakau tak berbekas sama sekali. Kapasitas resapan air pun tinggal 5.000 meter kubik (Kompas, 10/2/2006).

Pada tahun 2005, Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang menyebutkan, kawasan banjir meliputi 8.773 hektar dan rawan rob sekitar 3.400 hektar. Penduduk yang rawan tergenang banjir sekitar 120.000 jiwa. Dalam penulusuran Litbang Kompas terhadap publikasi mengenai banjir Kota Semarang dapat disimpulkan, persoalan yang selalu mengemuka adalah dana dan rencana. Alasan klasik dan klise selalu disebut- sebut. Karena keterbatasan dana, penanganan banjir Kota Semarang tidak pernah tuntas.

Tahun 2002 misalnya, Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip mengatakan, dalam 10 tahun lagi (2012), Semarang akan terbebas dari banjir. Upaya yang dilakukan secara terus-menerus adalah permeliharaan drainase, normalisasi BKB dan BKT. Jika perlu kondisi saluran dikembalikan seperti zaman Belanda (Kompas, 18/11/2002). Masih dalam tahun yang sama, Sukawi melontarkan rencana menswastakan pemeliharaan saluran di jalan-jalan Kota Semarang sebagai salah satu upaya mengatasi banjir (Kompas,6/2/2002).

Tahun 2002, Prasetyo Kencono, Kepala Subdinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang menyebutkan, anggaran Rp 1,4 miliar hanya cukup menutup biaya operasional. Dana ideal Rp 8,8 miliar untuk operasional dan Rp 13,2 miliar untuk pemeliharaan (Kompas, 18/11/2002).

Empat tahun kemudian, Fauzi, Kepala Sub Dinas Pengairan DPU Kota Semarang, mengungkapkan, penataan sistem drainase untuk mengatasi banjir dan rob membutuhkan dana Rp 2,1 triliun. "Untuk menutupi kebutuhan itu, APBD jelas tidak mungkin," katanya (Kompas 5/6/2006). Tidak beda jauh dari Fauzi, Sukawi pada awal tahun 2007 mengakui, banjir dan rob yang terus terjadi disebabkan anggaran yang ada hanya cukup digunakan untuk perbaikan yang bersifat tambal sulam.

Satu hal yang membuat kaget, ternyata Kota Semarang belum memiliki masterplan penanganan banjir. Rencana pembuatan masterplan penanganan banjir dikatakan oleh Koordinator Hubungan Internasional Unie Van Waterschappen, Rob Uijterlinde pada Agustus 2006.

Bentuk kebijakan yang pernah dibuat Pemkot menuai hasil mengejutkan. Pada akhir Januari 2006, 10 dari 16 kecamatan di Kota Semarang terendam banjir. Praktis, aktivitas ekonomi lumpuh. Lima bulan kemudian, Sukawi menginstruksikan untuk menginventarisasi permasalahan drainase dari hulu sampai hilir. Pada tahun ini direncanakan draf penanganan drainase akan dijadikan peraturan daerah (Kompas, 5/6/2006).

Sekali lagi, sejumlah rekaman fakta tersebut menegaskan pernyataan Robert Kodoatie dan Bawor, bahwa pemkot belum menemukan akar persoalan banjir di Kota Semarang. Jadi jangan heran kalau Kota Semarang akan semakin tenggelam. Awas banjir lagi...! oleh ARI SUGIYA(LITBANG KOMPAS)



Post Date : 12 Maret 2007