Sampah, Masalah Serius di Gili Trawangan

Sumber:KOMPAS.com - 10 Desember 2014
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Gili Trawangan di Nusa Tenggara Barat sudah mendunia. Setiap harinya pulau ini didatangi wisatawan mancanegara. Di pulau seluas sekitar 382 hektar ini penduduk yang mendiami sekitar 1.870 orang. 

Namun, setiap bulannya menerima kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik hingga 55.000 orang per bulan. Dampak pariwisata yang umum terjadi di pulau-pulau wisata di Indonesia, tak terkecuali Gili Trawangan, adalah masalah sampah.

Seperti diungkapkan Kepala Dusun Gili Trawangan, H Lukman, sampah di Gili Trawangan menumpuk tanpa ada pengolahan. Sampah-sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) pada akhirnya harus dibakar karena sudah menggunung.

"Tapi kalau musim hujan begini, dibakar tidak bisa. Selama ini cara mengelola sampah yah dengan cara dibakar," katanya kepada Kompas.comdi kantor Kepala Dusun Gili Trawangan, Selasa (9/12/2014).

Tak hanya itu, luas TPA hanya sekitar 20 are. Itu pun harus mengontrak karena merupakan lahan milik warga. Sehingga, lanjutnya, secara lahan pun tidak memadai. Padahal per harinya, tutur Lukman, sampah yang dihasilkan bisa mencapai 8 ton.

Ia mengungkapkan sampah seperti botol air mineral dan kaleng biasanya dikumpulkan pemulung untuk dijual. Sampah yang menjadi masalah adalah sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang.

"Ada saran dari pemerintah untuk membawa sampah ke Pulau Lombok, tapi itu tidak mungkin karena harus mengangkut berton-ton dengan kapal. Jalan satu-satunya adalah sampah harus diolah atau dibakar," jelasnya.

Lukman mengaku menerima banyak keluhan dari wisatawan soal sampah. Sementara itu, Delphine Robbe dari Yayasan Ekosistem Gili Indah Gili Eco Trust, menuturkan bahwa saat ini sudah ada mesin penghancur botol.

"Botol juga masalah. Ada banyak botol bir yang menumpuk. Dengan mesin ini, botol dihancurkan menjadi pasir. Ada dua mesin," katanya. 

Yayasan tempat Delphine bekerja ini sudah beberapa tahun bergerak di bidang lingkungan di kawasan Gili Indah (Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air), termasuk masalah pengelolaan sampah.  

"Saat ini yang kami butuhkan adalah mesin insinerator dan mesin press," tuturnya.

Mesin insinerator ini digunakan untuk membakar sampah dengan cepat dan dalam volume besar, tetapi asap hasil pembakaran disaring sehingga meminimalisir polusi udara. Sedangkan mesin press digunakan untuk sampah-sampah yang bisa didaur ulang. Sampah-sampah ini ditekan sehingga padat dan mudah dikirim ke Jawa.

"Daur ulang untuk barang-barang ini di Jawa," katanya.

Delphine mengungkapkan sampah-sampah yang susah didaur ulang seperti plastik dengan material alumium di dalamnya, terpaksa harus dibakar. Contohnya adalah plastik bekas minuman dan makanan kemasan. Jumlahnya terbilang besar, bisa 3 ton per hari. 

Gili Eco Trust sendiri mencari pendanaan dari para penyelam yang datang ke Gili Trawangan. Lukman juga menuturkan pengelolaan sampah masih bersifat swadaya masyarakat, yaitu dari iuran warga dan pengusaha setempat. 

Pulau ini juga membutuhkan kapal dan truk untuk membawa sampah ke Pulau Lombok. Total dana untuk mesin, kapal, truk, buldoser untuk mengeruk sampah lama, transportasi membawa alat ke Gili Trawangan, hingga pelatihan penggunaan mesin, diperkirakan membutuhkan sebesar Rp 1,5 miliar. Namun seperti diungkapkan Lukman, belum adanya bantuan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat terkait infrastruktur untuk pengelolaan sampah. 

"Ke depannya ini kami harus memikirkan bagaimana mengelola sampah. Karena akan semakin menumpuk. Selama ini semua usaha masyarakat sini sendiri," katanya


Post Date : 10 Desember 2014