Banjir Terus Mengintai Jakarta

Sumber:Kompas - 24 Februari 2014
Kategori:Banjir di Jakarta
SUNGAI-sungai di Jakarta tak lagi segan meluapkan air di Ibu Kota negara ini. Sejak banjir 2013, Jakarta kembali terendam banjir selama Januari 2014, dan terjadi lagi pada Sabtu dan Minggu (23/2). Tahun 2015, 2020, 2035, sampai 2100, Jakarta masih dibayangi banjir akibat perubahan iklim dan tata ruang kota yang tak juga dibenahi.

Jakarta, salah satu kota paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di Asia Tenggara. Ini data dari The Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) yang dikeluarkan tahun 2009,” kata Armi Susandi, dosen Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Armi mengutip data EEPSEA sebelum memaparkan hasil penelitian dirinya bersama rekannya di ITB, Saut Sagala, tentang kerentanan iklim di bantaran Sungai Ciliwung, Kamis (20/2) lalu. Riset ini merupakan kerja sama antara ITB dan Palang Merah Indonesia yang didukung oleh American Red Cross.

Penelitian dilakukan dengan mengembangkan model iklim yang hasil prediksinya telah teruji dengan ketepatan mencapai 90 persen untuk prediksi curah hujan. Analisis proyeksi curah kemudian dikombinasikan dengan perubahan tata guna lahan, populasi penduduk, jenis tanah, dan parameter iklim lain yang menghasilkan proyeksi ketersediaan air tanah di Jakarta Utara dan sekitarnya.

”Dilakukan pula simulasi kenaikan permukaan laut di wilayah Jakarta Utara dan sekitarnya,” kata Armi.

Dari model iklim yang dikembangkan, temperatur udara di Jakarta hingga Bogor akan meningkat sampai 2 derajat celsius hingga tahun 2035. Saat ini, misalnya, suhu Jakarta mencapai 27,5 derajat celsius, dan akan naik menjadi 29,5 derajat celsius pada tahun 2035 sebagai dampak iklim global dan pembangunan.

Kenaikan suhu itu berdampak terhadap meningkatnya penguapan. Kondisi ini mengakibatkan naiknya rata-rata curah hujan sebesar 20 milimeter hingga 2035. Pada tahun 2020, contohnya Jakarta akan kembali mengalami curah hujan tertinggi sebesar 360 mm seperti pada tahun 2013 lalu.

Kenaikan temperatur dan curah hujan ini meningkatkan potensi banjir di kota Jakarta dan sekitar.

Cadangan air menipis

Riset ini juga mengungkap pada tahun 2010, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, menjadi salah satu daerah dengan cadangan air tanah terendah. Diprediksi terjadi defisit cadangan air tanah hingga 473 liter per meter persegi per tahun di Koja. Jumlah defisit itu merupakan besaran yang harus disediakan oleh Pemerintah Jakarta untuk memenuhi kebutuhan air. Defisitnya cadangan air tanah ini berpotensi menyebabkan penurunan muka tanah.

Kecamatan Kota memiliki jumlah penduduk sekitar 288.091 jiwa, dengan air tanah sebanyak 421 liter per m2 atau setara dengan 4.469.668.428 liter per tahun untuk seluruh wilayah Koja pada tahun 2011. Pada tahun 2035, kecamatan ini akan defisit air tanah hingga 1.600 liter per m2 atau setara dengan 18.922.483.365 liter per luas wilayah Kecamatan Koja.

Selain cadangan air tanah, Jakut dan sekitarnya dihadapkan pada ancaman kenaikan permukaan laut, terutama di daerah pesisir. Dari hasil simulasi kenaikan muka laut dan penurunan muka tanah, diperoleh hasil wilayah Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priok, Cengkareng, dan Tambora merupakan daerah Jakut dengan tingkat rendaman air laut paling tinggi pada tahun 2100, seluas 62,3 kilometer persegi.

”Dari paparan data itu jelas terlihat saat bulan basah air begitu melimpah, tetapi faktanya sebagian daerah di Jakarta semakin tahun justru semakin kekurangan air bersih,” kata Armi.

Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, yang diundang dalam pemaparan hasil penelitian ITB-PMI mengapresiasi kerja tim riset. ”Datanya akurat dan aktual. Sayang, rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2010-2030 sudah disahkan. Tetapi, saya tetap merekomendasikan hasil penelitian ini digunakan dalam perubahan RTRW. Toh, sesuai undang-undang, perubahan memang bisa dilakukan,” katanya.

Pendapat serupa dikatakan Pejabat Fungsional Peneliti Sumber Daya Air Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Teddy W Sudinda. Teddy mengatakan, hasil penelitian ini makin menegaskan penanggulangan bencana tidak bisa diselesaikan per wilayah administrasi. ”Dengan data terbaru perlu ada kerja sama yang jelas dan terukur antara pemerintah pusat dan antar-pemerintah daerah, serta segenap masyarakat agar bencana bisa diatasi dari sekarang,” kata Teddy.

Yayat menambahkan, pelestarian sungai dan ekosistem di sekitarnya adalah akar masalah dari bencana yang rutin melanda Jakarta dan sekitarnya. Namun, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan proyek atau sekadar membangun infrastruktur untuk mengatasi banjir dengan penurapan beton untuk normalisasi sungai dan pembuatan waduk.

Resistensi warga bantaran

Sementara penanganan banjir ini juga tidak hanya terbentur pada perbaikan fisik sungai, tetapi juga pada masalah sosial. Normalisasi Kali Ciliwung yang semestinya berjalan tahun 2014 terganjal masalah pembebasan lahan dan relokasi warga.

Hasil riset yang dijalankan peneliti perencanaan wilayah kota ITB, Saut Sagala, bersama asistennya Dodon Yamin, menunjukkan, warga Jakarta memiliki daya adaptasi paling tinggi terhadap banjir sebesar 70 persen. Sementara warga Depok hanya 62 persen dan Bogor sebesar 57 persen.

Riwayat bencana banjir yang sering melanda Jakarta membentuk kemampuan adaptasi masyarakat.

Dodon menjelaskan, kapasitas adaptasi warga itu diukur dengan menggunakan pendekatan kapasitas adaptif masyarakat, dengan menggunakan indikator ekonomi, infrastruktur, sosial, pengetahuan, dan teknologi. Dari beberapa indikator itu, warga Jakarta selalu siap menghadapi banjir karena dukungan infrastruktur dari pemerintah tak sedikit, dan penggunaan teknologi komunikasi yang sudah meluas.

”Dengan telepon genggam, warga sudah dapat mengetahui ancaman banjir dari hulu. Dari segi infrastruktur, warga Jakarta selalu memperoleh dukungan dari pemerintah, seperti listrik, air bersih, dan tempat pengungsian,” ujar Dodon.

Dari hasil penelitian kualitatif, Dodon mengungkapkan, ditemukan pula kekhawatiran di kalangan warga bantaran Kali Ciliwung terhadap rencana relokasi. Mereka enggan direlokasi ke tempat yang lebih jauh karena khawatir stabilitas ekonomi mereka terganggu.

Jalan keluarnya, kata Dodon, pemerintah tak perlu terpaku pada relokasi ke rumah susun. Namun, hunian bagi warga bantaran juga dapat dibangun di atas bantaran berupa rumah panggung. Dengan demikian, sungai tak akan kehilangan fungsinya, dan bencana dapat diminimalkan. ”Jadi, perlu dipikirkan alternatif lain karena lahan di Jakarta juga semakin sempit, dan pembangunan rusun juga memakan waktu,” ujarnya. (Neli Triana/Madina Nusrat)

Post Date : 24 Februari 2014