Potret Buram Negeri Kaya Air

Sumber:Suara Merdeka - 22 Maret 2013
Kategori:Air Minum
BERITA tentang kelangkaan dan kemahalan harga air bersih dalam beberapa hari ini, menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia terkait dengan peringatan Hari Air Sedunia tiap tanggal 22 Maret. Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta misalnya, mengalami defisit air bersih 3.250 liter per detik dari total kebutuhan 22.000 liter per detik. Potret ironi bagi negara yang memiliki cadangan air sebesar 6% dari cadangan air tanah dunia, atau setara dengan 21% dari persediaan air se-Asia Pasifik.

Millennium Development Goals 2011 mencatat secara nasional baru 55,6% rumah tangga di negara kita yang mempunyai akses sanitasi layak. Bahkan Survei Ekonomi Nasional 2011 menerakan baru 42,76% masyarakat kita yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang bersih. 

Angka itu mengartikan baru sekitar separuh populasi penduduk negeri ini yang hidup  berkecukupan air atau bisa menikmati air bersih kurang lebih 90 liter per hari, sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pemenuhan kebutuhan tersebut terdistribusi 35% untuk mandi, 20% untuk aktivitas kakus/ kamar mandi, 25% keperluan mencuci, dan 20% untuk minum dan memasak tiap hari.

Selain masalah kelangkaan, kita saat ini juga tengah mengalami persoalan mengenai kualitas air bersih. Berdasarkan laporan United States Agency for International Development (USAID) tahun 2007,  hampir semua sumber air bersih di kota besar di Indonesia sudah tercemar bakteri E-coli dan Coliform. Dari catatan penulis minimal ada tiga hal pokok membuat air menjadi sesuatu yang langka dan amat berharga bagi sebagian besar masyarakat kita. 

Boros Air

Pertama; faktor laju pertambahan penduduk dan ketidakmerataan penyebaran. Laju pertumbuhan penduduk yang sudah mencapai 1,49% per tahun, 59,1% di antaranya tinggal di Jawa, menimbulkan permasalahan dari sisi supply and demand. Kondisi ini diperparah oleh rasio penggunaan air bersih untuk sektor industri yang sangat besar, dan lagi-lagi banyak menumpuk di Jawa.

Kedua; makin pesat laju kerusakan lingkungan di Indonesia. Kandungan air yang terus diekspolitasi tanpa diimbangi dengan besaran angka resapan air, ditambah kemeningkatan pencemaran air seperti dilaporkan USAID memperburuk kondisi ketersediaan. Hal ini diperparah oleh laju kerusakan hutan, kemeluasan lahan kritis, dan kemasifan alih fungsi daerah resapan yang terjadi merata pada hampir seluruh wilayah negeri ini.

Ketiga; perilaku manusia. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa air bersih merupakan anugerah alam yang tidak akan habis. Hal itu yang kemudian mendorong perilaku penggunaan yang tidak bijak dan tidak terkendali. Sebagian masyarakat Jawa masih memegang pameo,’’ ora marem nek adus ora ciburan’’ (tidak puas bila mandi dengan tidak mengguyur seluruh badan) merupakan salah satu wujud nyata budaya boros air.

Belum lagi perilaku yang menempatkan sumber air bersih sebagai barang sosial bagi masyarakat. Kita bisa melihat optret indikasi itu, yakni saat ini sungai lebih banyak difungsikan sebagai tempat mandi, cuci, buang air, pembuangan sampah, bahkan sebagai terminal akhir pembuangan limbah cair industri.

Kemeluasan krisis air bersih yang terjadi di kota-kota besar dapat menimbulkan gangguan serius terhadap kesehatan. Penyakit diare, disentri, malaria, hepatitis, demam berdarah, dan penyakit yang ditularkan oleh cacing banyak menjangkiti masyarakat kita, baik di pedesaan maupun perkotaan. Faktor dominannya tentu pada kekurangan akses terhadap air bersih.

Selain itu, dampak ekonomi akan terasa karena kemahalan harga air bersih di sebuah daerah. Di DKI Jakarta kebutuhan untuk air minum untuk warga menengah ke bawah dikabarkan mencapai Rp 150 ribu-Rp 300 ribu per bulan, dan hal ini menjadi tambahan biaya dalam kehidupan sehari-hari. Melihat tren makin sulitnya air bersih dalam kehidupan manusia dewasa ini, UNESCO memprediksikan pada 2020 dunia mengalami krisis air bersih.

Tentu kita tidak boleh tinggal diam. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 21 sudah mengatur perlunya mengonservasi sumber daya air. Setidak-tidaknya ada enam langkah konservasi, dari pemeliharan fungsi resapan, pengendalian pemanfaatan sumber air, perlindungan keberadaan sumber air, pengendalian tanah di daerah hulu, pengaturan sempadan sumber air, hingga rehabilitasi hutan.

Semua pihak dan elemen masyarakat perlu mendukung langkah pemerintah ini. Gerakan pembuatan jamban massal, satu rumah satu sumur resapan, sak uwong sak uwit (satu orang menanam satu pohon), pengolahan sampah dari sumbernya, harus terus dihidupkan dalam kebijakan pemerintah. 

Tidak kalah penting adalah perubahan gaya hidup masyarakat terkait dengan pemanfaatan air bersih. Kampanye gerakan sosial secara sederhana untuk penyelamatan air perlu kita galakkan pada berbagai tingkatan. Gerakan mandi memakai shower atau pancuran, bilas satu kali, pemanfaatan air tidak hanya satu kali, serta berbagai kreasi untuk menekan volume pemanfaatan air bersih harus menjadi prioritas bersama. Setetes air yang kita hemat menjadi warisan kehidupan bagi anak cucu kita. (10)
 
– Hadi Santoso, Wakil Sekretaris Kaukus Lingkungan Hidup DPRD Provinsi Jateng dari Fraksi PKS, alumnus Magister Ilmu Lingkungan Undip


Post Date : 22 Maret 2013