Lahan Resapan Air di Puncak Kritis

Sumber:Koran Sindo - 26 Februari 2013
Kategori:Lingkungan
BOGOR – Daerah resapan air di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor semakin kritis. Bila tak mendapat perhatian khusus, perubahan alih fungsi lahan di kawasan ini akan berdampak terhadap bencana alam yang terus-menerus.

Berdasarkan data kalangan akademisi yang fokus mengkaji tata ruang dan perubahan alih fungsi lahan di kawasan Puncak,saat ini pembangunan vila/penginap hingga restoran dalam satu tahun terakhir semakin sporadis. Peneliti senior dari Pusat Pengkajian Pengembangan Pembangunan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi menjelaskan, semakin maraknya pembangunan di wilayah Puncak serta lemahnya pengendalian dan pengawasan tata ruang di tingkat pemerintah baik pusat maupun daerah berdampak pada kian kritisnya kondisi kawasan Puncak.

Menurut Ernan,seharusnya kawasan Puncak mulai dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cisarua,Kabupaten Bogor, hingga Cipanas, Kabupaten Cianjur menjadi perhatian khusus dan segera diselamatkan agar dampaknya terhadap bencana alam tidak terjadi terus-menerus. “Beban kerusakan lingkungan di kawasan Puncak saat ini sangat urgen (penting) untuk diselamatkan. Bila terus dibiarkan, efek bencana yang ditimbulkan akan jauh lebih besar dan berkepanjangan,” papar pria yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian IPB ini kemarin.

Kian kritisnya lahan resapan air ini sudah berdampak pada bencana longsor pada awal Januari lalu. Jalur utama Puncak menuju Cianjur sempat terputus selama beberapa hari. Tak itu saja, masih pada bulan yang sama bencana longsor juga terjadi di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor yang mengakibatkan enam orang tewas dan 10 bangunan rusak.

Luapan Sungai Ciliwung yang secara tiba-tiba naik dan mengakibatkan wilayah Jakarta terendam banjir juga sebagai penyebab rusaknya lingkungan kawasan Puncak yang semakin kritis. Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung Een Irawan mengungkapkan, kondisi daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung dari tahun ke tahun semakin parah.

“Secara kasatmata luapan air Sungai Ciliwung yang timbul secara tibatiba setelah diguyur hujan selama berjam-jam warnanya berubah menjadi cokelat, berarti di hulu sungai banyak material tanah yang longsor,” ungkapnya. Sementara itu, Pemkab Bogor melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tengah mengkaji Perda Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor yang sempat menuai kontroversi.

Dalam revisi tersebut Pemkab Bogor akan menghilangkan sebagian hutan lindung dan hanya memiliki hutan konservasi.Perda RTRW yang ditetapkan tiga tahun lalu itu menetapkan kawasan lindung sebesar 44,69% dari luas wilayah seluas 298.833,304 hektare. Artinya luasan kawasan lindung yang ditetapkan adalah 133.548,41 hektare. Kawasan lindung di dalamnya terdapat hutan konservasi sebesar 14,24% dari luas wilayah Kabupaten Bogor 45.559 hektare dan hutan lindung sebesar 2,93% atau 8.745 hektare.

Kepala Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda Kabupaten Bogor Suryanto Putra menyatakan, pada revisi RTRW nanti hutan lindung seluas 8.745 hektare yang 90% berada di Kecamatan Cisarua dan Megamendung itu akan berganti status menjadi hutan produksi, permukiman, dan perkebunan. “Namun, untuk luasannya masih dikaji dan batas waktunya masih tiga bulan ke depan,”katanya.

Sementara itu mengantisipasi banjir di Ibu Kota,Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta akan membuat sodetan Sungai Ciliwung yang akan diarahkan ke Kanal Banjir Timur (KBT). Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian PU Basuki Hadi Mulyono mengatakan,

jika semuanya berjalan sesuai jadwal, di pertengahan 2014 sodetan tersebut sudah selesai dikerjakan dan tentu akan mengalirkan sebagian volume air yang seharusnya ke Kali Ciliwung melintas di Latuharhary dipotong dan diarahkan ke KBT. “Untuk panjang sodetan mencapai 2,1 kilometer,menggunakan anggaran sebesar Rp500 miliar,”tuturnya. haryudi/ ridwansyah


Post Date : 26 Februari 2013