Air Jakarta, Jangan Lagi Berharap ke Swasta

Sumber:Koran Tempo - 21 Maret 2010
Kategori:Hari Air Sedunia 2010

Sudah tiga tahun Nita Safitri tak menempati rumahnya di Jalan Ganesha 9, RT 01 RW 08, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Karena itu, ia kaget bukan kepalang ketika menerima tagihan penggunaan air yang nilainya melonjak hingga 500 persen.

“Tagihan bulan yang mesti saya bayar mencapai Rp 556 ribu,” kata pemilik nomor pelanggan 60007837 ini kepada Tempo, Jumat lalu. “Padahal, sejak kosong tiga tahun lalu, tagihan rutin yang harus dibayar hanya Rp 11.950 sesuai biaya beban.”

Menurut Nita, lonjakan drastis tagihan itu terjadi tiga bulan terakhir. Pada Desember 2009, ia dikenai tagihan Rp 188 ribu, Januari Rp 329 ribu, dan Februari menjadi Rp 556 ribu. “Padahal rumah itu sama sekali tidak dihuni,” katanya.

Anehnya, angka penggunaan air yang tertera di meteran persis sama dengan yang tercetak di tagihan. Petugas dari PT Aetra Air Jakarta (Aetra), perusahaan swasta yang mengelola air minum untuk wilayah Jakarta Timur dan sebagian Jakarta Utara, pun takjub atas kenyataan tersebut. Sebab, setelah diteliti, tak ditemukan kebocoran di sana.

Meski demikian, Nita tetap harus merogoh kocek sebesar tagihan yang tertera di meteran. “Ajaib, rumah kosong tapi jumlah pemakaian air lebih tinggi dari rumah tetangga yang dihuni sepuluh anggota keluarga,” katanya.

Penderitaan berbeda dialami Siti Aisyah, 54 tahun. Sudah berhari-hari bak mandi milik warga Jalan Deli, Koja, Jakarta Utara, itu tak berisi air. Manajemen Aetra menganggap dia berutang tagihan air selama lima bulan dengan total Rp 3 juta.

Karena merasa tak pernah menggunakan air seperti yang ditagihkan, Aisyah menolak melunasi semua tagihan. Untuk memenuhi kebutuhan air, Aisyah bersama enam anggota keluarganya hidup dengan menampung air dari mana saja. Termasuk menampung air hujan untuk mandi.

“Tapi menampung air hujan sudah jarang, airnya (bikin) gatal,” katanya saat ditemui Tempo, Rabu lalu. Tetangga Aisyah, Ida Bagus, pun heran dengan besarnya tagihan tetangganya itu. Sebab, dia cuma membayar Rp 50–80 ribu per bulan.

Di luar masalah tagihan yang tak sebanding, kualitas air yang dikelola Aetra kerap dikeluhkan. Terkadang air yang datang berwarna merah kehitaman, dan berbau. Kalaupun cukup bersih, paling menetes hanya untuk beberapa jam.

Karena itu, banyak warga Koja menggunakan air galon isi ulang untuk urusan minum dan masak-memasak. “Airnya tak layak untuk dikonsumsi,” kata Ida.

Bagi Hamong Santoso dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), apa yang menimpa Nita dan Aisyah sebetulnya tergolong klasik. Keluh-kesah semacam itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Anehnya, perbaikan seolah berjalan di tempat. Bahkan ketika pengelolaan air bersih untuk Jakarta melibatkan dua perusahaan swasta sejak 1997: PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (pada 2007 digantikan oleh Aetra).

“Banyak target layanan yang tertuang di kontrak kerja sama tak kunjung bisa dipenuhi, seperti volume air dijual, angka kebocoran, dan cakupan pelayanan," kata Hamong. Karena itu, ia menyodorkan solusi ekstrem, yakni memutus kontrak kerja sama dan tidak lagi berharap banyak kepada kedua perusahaan swasta itu.

“Ya, putuskan lewat arbitraselah,” ujarnya. Ia merujuk pada Kota Dar-es-Salaam di Tanzania, yang berani mendepak Biwater Plc, perusahaan air swasta asal Inggris (lihat: “Berkaca kepada Tanzania”).

Target awal melibatkan swasta dalam pengelolaan air minum, Hamong melanjutkan, adalah meningkatkan pelayanan, baik kuantitas maupun kualitas, kesinambungan ketersediaan air, efisiensi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara ekonomis, pendapatan asli daerah (PAD) pada gilirannya akan bertambah, serta terjadi alih teknologi dan berkurangnya eksploitasi air tanah.

Namun, setelah lebih dari 10 tahun, semua target itu nyaris tak ada yang bisa dipenuhi pihak swasta. “Janji bahwa air yang dialirkan ke rumah-rumah dapat langsung diminum pun cuma isapan jempol,” kata Hamong.

Ketua Badan Regulator Perusahaan Air Minum DKI Jakarta Irzal Djamal mengungkapkan, Aetra dan Palyja baru mampu melayani kebutuhan air bersih 44 persen warga Jakarta. Padahal, dalam lima tahun ke depan, kedua perusahaan itu ditargetkan bisa memenuhi kebutuhan air bersih bagi 80 persen warga. Karena itu, Irzal terus-terang menyatakan pesimistis target itu akan terpenuhi.

“Kenyataan pahit ini mesti diterima warga Jakarta hingga bertahun mendatang,” ujarnya.

Pertumbuhan pipa-pipa baru maupun yang diperbaiki, serta jumlah pelanggan, dia melanjutkan, masih sangat lambat. Pipa-pipa di Jakarta juga masih banyak yang bocor, dan sulit diatasi serta ditambah karena ketiadaan investasi. Selain itu, perilaku warga juga berpengaruh, yang membiarkan suplai air dari Waduk Jatiluhur dicemari limbah dan sampah domestik.

Irzal membandingkan kondisi pelayanan air minum di Jakarta dengan di Manila, ibu kota Filipina. Di Manila, pasokan air kepada pelanggan berlangsung 24 jam, seminggu penuh. “Kalau kita, air bisa hidup tiga jam saja sudah alhamdulillah,” katanya.

Direktur Hubungan Eksternal dan Komunikasi PT Aetra, Rhamses Simanjuntak, menolak pesimisme Irzal. Ia menyatakan, perusahaan yang baru menggantikan Thames pada 2007 itu sudah berupaya memberi yang terbaik. Tapi upaya itu juga dalam beberapa hal dipengaruhi oleh sektor lain. Ia mencontohkan, listrik di Jakarta yang kerap byar-pet turut mempengaruhi kelancaran aliran air ke rumah-rumah warga.

“Kalau mati lampu, mesin pemompa air ke pipa juga mati. Akibatnya, baru empat jam kemudian tekanan air akan kembali normal,” katanya.

Tersendatnya aliran air juga bisa diakibatkan oleh bocornya pipa-pipa, karena tekanan air dari pusat terbuang ke lubang-lubang kebocoran ketimbang ke pipa pelanggan. Akibat pipa yang bocor itu pula, sampah dan benda atau zat lain yang tak diinginkan ada kemungkinan turut membaur ke pipa-pipa di rumah pelanggan.

“Jadi, air kotor itu bukan berasal dari perusahaan, karena kami memiliki standar pengolahan yang ketat sebelum mengalirkan ke rumah warga,” kata Rhamses.

Corporate Communication Head PT Palyja, Meyritha Maryanie, mengakui tingkat kebocoran masih menjadi kendala utama. Palyja mencatat kebocoran mereka masih tinggi, yaitu 65 persen, akibat pipa tua yang ditanam jauh di dalam tanah. Untuk memperbaikinya, butuh dana besar.

Kebocoran juga akibat keisengan warga yang memotong jalur air. Misalnya menyadap air dari pipa besar, kemudian pipa itu dikonsumsi bersama, dan mereka mendapatkan air lebih banyak dari yang mereka bayar. Perilaku ini, kata Meyritha, bukan hanya dilakukan warga. “Mal dan hotel masih banyak yang melakukan kecurangan ini,” ujarnya tanpa mau menyebut mal dan hotel yang dimaksudkan.

Secara umum, Meyritha menegaskan, Palyja menunjukkan kinerja yang signifikan dalam beberapa tahun ini. Jumlah pelanggan, kata dia, bertambah dari 200 ribu menjadi 413 ribu. Lalu ada penambahan pipa sepanjang seribu kilometer, dan perbaikan pipa sepanjang 800 kilometer. “Pertambahan ini justru banyak terjadi di daerah merah,” katanya.

Kawasan merah adalah kawasan yang selama ini sudah terpasangi pipa, tapi tak pernah dialiri air. Kawasan inilah, kata Meyritha, yang akan terus digarap untuk tahun berikutnya. Kawasan ini biasanya masuk kategori pelanggan KI dan KII, yang harga airnya lebih murah. Ada lagi kawasan kuning, yaitu kawasan yang sudah teraliri air tapi kualitas dan volume air masih tidak stabil.

Lalu ada daerah hijau, yaitu daerah yang pasokan airnya tinggi, pemakaian tinggi, dan pipa terawat baik. Kawasan inilah yang paling banyak memberikan pemasukan bagi perusahaan air. Meskipun, “Kami tidak menganakemaskan daerah hijau,” kata Meyritha. “Air yang mengalir di kawasan merah dan hijau sama kualitasnya.”

Ia mencontohkan ekspansi di kawasan Muara Baru dan Muara Karang. Daerah tersebut kini lancar dilewati air setelah empat tahun pipanya kering. "Mereka sangat berterima kasih kepada kami," katanya.

Untuk kasus ini, Meyritha tak sedang ngecap. Beberapa warga yang ditemui Tempo, Kamis siang lalu, membenarkan bahwa dalam dua bulan terakhir pasokan air di wilayah mereka melimpah-ruah. Rohayati, pemilik warung nasi di Jalan Marlina, Penjaringan, Jakarta Utara, mengatakan pipa-pipa yang bocor sudah diperbaiki. Tak cuma perbaikan pipa, berbagai tunggakan soal penggunaan air pun diputihkan.

"Semua warga di sini sangat bahagia. Warung saya juga lebih laku," kata wanita berkerudung ini.

Patra M. Zen, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, termasuk yang senang atas perbaikan kondisi tersebut. Padahal, sebelumnya, dia dan para pengacara di LBH tengah menyiapkan berkas gugatan kepada Palyja dan Aetra. Pemicunya, saat tengah menggelar diskusi di kantornya, tiba-tiba warga Muara Baru datang membawa contoh air berwarna cokelat kehitaman yang diambil dari keran di rumah mereka.

“Ini jelas pelanggaran hukum, apalagi tagihan tetap harus dipenuhi warga,” ujarnya mengenang.

Tapi Patra tidak langsung berpuas diri. Ia mempersilakan warga Jakarta yang masih merasa dirugikan karena tidak memperoleh air yang layak untuk mengadu. “Lapor saja kepada kami kalau airnya masih kotor,” katanya. Mustafa Silalahi | SETRI YASRA | SUDRAJAT



Post Date : 21 Maret 2010