Air,Kemiskinan,dan MDGs

Sumber:Koran Sindo - 27 Maret 2007
Kategori:Air Minum
Coping with Water Scarcity atau mengatasi kelangkaan air yang menjadi tema hari air sedunia kali ini yang jatuh pada tanggal 22 Maret lalu, mungkin tidak begitu dirasakan getarannya di tengah musim hujan yang masih mengguyur wilayah Indonesia saat ini.

Kita memang sering take it for granted terhadap air yang menjadi barang ultra esensial bagi kehidupan manusia. Bahkan, dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah water-diamond paradox yaitu air yang begitu esensial dinilai begitu murah sementara berlian yang hanya sebatas perhiasan dinilai begitu mahal.

Namun, bukan tanpa alasan jika hari air sedunia lalu bertemakan bagaimana mengatasi kelangkaan air tersebut. Secara fisik mungkin kelangkaan air hanya dirasakan pada musim kemarau.Namun,secara ekonomi dan sosial, kelangkaan terhadap air dirasakan hampir setiap hari, khususnya air bersih yang dalam laporan UNDP dikatakan sebagai sumber pemicu yang dahsyat terhadap timbulnya ketidakadilan, kemiskinan, konflik sosial, dan masalah kesehatan.

Sumber daya air adalah salah satu sumber daya alam yang mengalami tekanan yang berat di abad ke-21 ini di tengah meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan ekonomi masyarakat, serta kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Bahkan, The Observer mensinyalir akan terjadi perang air (water wars) pada tahun 2020 mendatang jika sumber daya ini tidak ditangani secara serius dari sekarang.

Era ketersediaan air yang melimpah dengan kebutuhan yang tidak terkendala serta risiko lingkungan yang rendah sudah dianggap sejarah masa lalu.Buktibukti empiris menunjukkan bahwa bahkan di negara-negara subtropis sekalipun, di mana ketersediaan air relatif banyak, sumber daya air tidak lagi diperlakukan sebagai free good. Bagaimana kemudian kita menyikapinya?

Sebagaimana dirilis oleh Human Development Report dari UNDP,krisis kelangkaan air bukanlah berakar pada kelangkaan fisik,namun lebih pada penguasaan atas air, ketidaksetaraan dan kemiskinan. Saat ini ada sekitar 1,1 miliar penduduk negara berkembang,termasuk Indonesia, tidak memiliki akses yang cukup terhadap air bersih dan 2,6 miliar penduduk negara berkembang juga tidak memiliki sanitasi dasar.Penduduk miskin di perkotaan seperti Jakarta bahkan harus membayar per unit air 5 sampai 10 kali lebih mahal daripada penduduk kelas menengah ke atas.

Kondisi ini menyebabkan sulitnya memutus lingkaran kemiskinan dan buruknya lingkungan penduduk miskin perkotaan sehingga memicu permasalahan sosial lainnya. Oleh karena itu,diperlukan terobosan kebijakan terhadap penyediaan atas air ini. Investasi publik sangat dibutuhkan agar air tidak menjadi full economic goods. Investasi publik atas air juga dibutuhkan untuk mencegah kerugian ekonomi akibat krisis air. Kerugian ini bisa mencapai cukup besar.

Sebagai contoh negara-negara Afrika yang sering mengalami krisis air mengalami kerugian sekitar USD28,4 miliar per tahun. Padahal, beberapa studi menunjukkan setiap USD1 investasi di sektor ini sudah bisa membangkitkan USD8 produktivitas di sektor lainnya sehingga rantai kemiskinan bisa dikurangi. Kita juga perlu menyikapi masalah sumber daya air ini secara serius kalau kita mau komitmen terhadap pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang kini tengah gencar-gencarnya diiklankan di salah satu station TV swasta.

Masalah akses terhadap air bersih merupakan tujuan ketujuh dari MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015. Oleh karena itu, diperlukan political will yang kuat untuk mencapai tujuan tersebut dengan mengarahkan kebijakan makro ekonomi yang bersifat resource friendly. Kelangkaan atas air lebih sering dipicu oleh kegagalan kebijakan (policy failiure) daripada faktor alam.

Sistem perhitungan ekonomi nasional sering tidak memperhatikan ecological debt dan gagal dalam menangkap biaya deplesi atas modal sumber daya alam yang relatif terbatas. Ini terbukti dengan banyaknya alih fungsi lahan dan hilang atau berkurangnya situ-situ karena terkalahkan oleh kebijakan yang mementingkan kepentingan ekonomi yang bersifat myopic. Karena itu, sistem akuntansi sumber daya semestinya dapat menjadi pertimbangan kebijakan ekonomi baik pada tingkat lokal maupun nasional dan bukan sebatas wacana akademis semata.

Pengelolaan dari Sisi Permintaan dan Kelembagaan

Aspek lain yang penting dalam menjawab permasalahan sumber daya air adalah pengelolaan pada sisi permintaan serta aspek kelembagaan yang menyertainya. Suplai air memang bisa saja ditingkatkan (augmented) melalui rekayasa teknik. Namun, pilihan ini bisa sangat terbatas manakala ketersediaan air secara alamiah tidak mendukung. Oleh karena itu, selain sisi suplai, penting juga melakukan pengelolaan pada sisi permintaan.

Kebijakan sisi permintaan ini terbukti di beberapa negara lebih efektif. Kebijakan ini antara lain berupa peningkatan crop per drop pada produk-produk pertanian sehingga produk pertanian dapat ditingkatkan dengan penggunaan air yang lebih efisien, serta kebijakan water pricingyang bisa mencerminkan nilai ekonomi kelangkaan air. Kebijakan menyangkut water pricing ini juga sesuai dengan amanat Prinsip Dublin (Dublin Principles) atas sumber daya air di mana selain aspek ekologi dan kemasyarakatan, juga diperlukan prinsip instrumen pengelolaan air yang efisien mengikuti kaidah-kaidah dan instrumen ekonomi yang efektif.

Dari sisi kelembagaan,Carruthers dan Morrison (1996) misalnya melihat bagaimana kegagalan pengelolaan sumber daya air di beberapa negara terjadi karena terabaikannya aspek kelembagaan. Hal ini disebabkan dimensi ekonomi dari sumber daya air yang begitu beragam dari barang publik,barang privat sampai nilai opsi yang dimiliki sumber daya air. Dengan demikian, kalaupun privatisasi pengelolaan sumber daya air terpaksa dilakukan, maka ia harus dihadapkan pada kendala kelembagaan.

Sehingga sering kemudian kita melihat bahwa kriteria efisiensi yang menjadi tujuan dilakukannya privatisasi menjadi tidak sejalan dengan struktur kelembagaan yang ada dalam masyarakat.Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi kelembagaan harus mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan (resiliency),dan kesetaraan (equity).

AKHMAD FAUZI, PH D
Ketua Departemen Ekonomi Sumber Daya & Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB



Post Date : 27 Maret 2007