Ambil Air Berlomba Dengan Matahari

Sumber:Kompas - 23 Juli 2009
Kategori:Kekeringan

”Sudah setiap tahun seperti ini. Mau bagaimana lagi? Mau pindah tidak mungkin. Paling kami cuma bisa pasrah.” Kalimat itu diungkapkan Boman, warga Dusun Gedang Atas, Desa Sambirejo, Prambanan, Sleman, mengenai kemarau yang mulai mendatangkan kesulitan baginya dan ribuan warga Prambanan lainnya.

Ya, musim kemarau sudah tiba, dan seperti yang terjadi setiap tahun, musim yang satu itu selalu membawa masalah bagi warga yang tinggal di perbukitan Kecamatan Prambanan, Sleman.

Satu hal yang pasti, air bersih menjadi sulit didapat. Selain itu, rerumputan sebagai pakan ternak yang biasanya berhamburan saat musim hujan juga menjadi langka akibat kekeringan yang melanda sejak dua bulan terakhir.

Dari pemantauan di beberapa wilayah perbukitan paling tinggi di Prambanan, seperti di Desa Sumberharjo, Wukirharjo, dan Sambirejo, Senin (20/7), sumber mata air dan sumur warga mulai berkurang debitnya. Bahkan, beberapa telah mengering sama sekali.

Akibatnya, warga harus membeli atau mengambil air dari sumber yang masih tersisa. Pilihan membeli air bagi Boman harus dihilangkan karena selain penghasilannya sebagai kuli bangunan tidak mencukupi, jaringan pipa air yang melintasi dusunnya juga telah lama mati.

Pilihan terakhir hanyalah mengambil air dari sumber mata air yang masih mengeluarkan air. ”Salah satu yang paling dekat jaraknya sekitar 7 km dari rumah,” tutur Boman. Setiap pagi, seakan berlomba dengan terbitnya matahari, sekitar pukul 04.00, ia sudah harus mengambil air di sumber itu. Jika sinar matahari makin terang, pertanda ia akan kehabisan air mengingat banyak warga lain yang ikut mengambil di lokasi yang sama.

Selain air bersih, Boman juga harus mengambil rumput pakan ternak sapinya dari tempat berjarak sekitar 10-15 km dari rumah. ”Semua rerumputan di sekitar rumah sudah habis karena kekeringan, adanya ya di tempat yang jauh itu,” ujarnya.

Tentu saja semua itu ada ongkosnya. Peternak itu harus menyiapkan pengeluaran tambahan untuk membeli bensin motor yang dipakai mengambil air dan rumput. ”Paling tidak, sehari bisa habis satu liter bensin,” ucapnya.

Wagini (27), warga Sambirejo lainnya, harus mengantre sekitar dua jam hanya untuk mendapatkan dua jeriken air dari sebuah sumber mata air yang debitnya sudah berkurang drastis. ”Itu pun belum mencukupi kebutuhan keluarga sekitar 10 jeriken per hari,” katanya.

Bahkan, Wagini terpaksa sering kali terlambat sampai bolos bekerja hanya untuk mengantre mengambil air. ”Sumber air ini satu- satunya yang masih keluar air di dusun kami,” tuturnya.

Kesulitan air bersih juga dirasakan Rajiman (54), warga Dusun Pereng, Sumberharjo. Sumur sedalam 15 meter miliknya telah mengering dan hanya bisa diambil airnya setiap tiga hari sekali.

Boman, Wagini, dan Rajiman berharap pemerintah daerah bisa segera memberikan bantuan air yang sampai sekarang belum juga terlihat. ”Kami sangat membutuhkan bantuan itu,” ujar Boman.

Kepala Bidang Penanggulangan Bencana Alam Sleman Singgih Sudibyo mengatakan pihaknya telah menyiapkan 375 tangki air untuk membantu kebutuhan air warga di Prambanan pada kemarau ini. Namun, pengiriman air bantuan itu belum akan dilakukan karena masih menunggu puncak kemarau sekitar Agustus nanti.

Bantuan air itu akan diprioritaskan untuk empat desa di Kecamatan Prambanan yang menjadi langganan kekeringan setiap tahun, yakni Sumberharjo, Gayamharjo, Wukirharjo, dan Sambirejo.

Berbagai musibah boleh datang dan pergi, tetapi bagi warga perbukitan Prambanan, kemarau seolah menjadi musibah permanen yang membawa masalahnya tiap tahun. Entah sampai kapan mereka bisa terbebas dari musibah tahunan itu, pemerintah? (ENG)



Post Date : 23 Juli 2009