Antisipasi Banjir Masih Sebatas Proyek

Sumber:Suara Pembaruan - 26 November 2005
Kategori:Banjir di Jakarta
JAKARTA bebas banjir rasanya terlalu ideal. Karena, secara geografis letak sebagian Kota Jakarta berada di dataran rendah. Sehingga, ketika hujan turun dengan curah yang tinggi, bisa dipastikan sejumlah kawasan di Jakarta bakal tergenang air.

Belum lagi beberapa daerah penyangga seperti Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopuncur), Depok, dan Sukabumi cukup rajin "mengirimi" air ke sungai-sungai di Jakarta dalam jumlah yang cukup banyak.

Akibatnya, ketinggian air di sungai-sungai di Jakarta pun makin naik. Dampaknya, ketika sungai-sungai atau kali di Jakarta tak lagi mampu menampung banjir kiriman tersebut, airnya pun meluap dan menenggelamkan rumah-rumah warga. Kalau sudah begitu, kinerja Pemprov DKI dalam mengatasi banjir Jakarta pun kembali dipertanyakan.

Pengamat Tata Kota yang juga merupakan dosen di Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menilai, Pemprov DKI Jakarta kurang melibatkan masyarakat dalam upaya antisipasi banjir.

Dia menilai, selama ini upaya antisipasi banjir yang telah dilakukan Pemprov DKI hanya sebatas pendekatan proyek atau menghabiskan anggaran. "Memang sih pembersihan selokan-selokan sudah sering dilakukan. Kita bisa lihat banyaknya tumpukan karung pasir berisi kotoran yang diangkut dari selokan. Semua itu dikerjakan melalui proyek yang menghabiskan anggaran dalam jumlah yang tidak sedikit. Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan di sana," ungkapnya kepada Pembaruan, baru-baru ini.

Hal seperti itu, kata Yayat, akan membuat masyarakat jadi kurang perduli pada lingkungan sekitarnya. Sebab, masyarakat tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah dalam upaya antisipasi banjir di lingkungannya.

"Seharusnya masyarakat dilibatkan melalui kegiatan gotong royong, karena persoalan banjir bukan urusan Pemprov DKI saja. Pola pendekatan proyek itu akan membuat masyarakat jadi tidak perduli, mau banjir atau tidak mereka masa bodoh," ujarnya.

Selain itu, katanya, persoalan perubahan tata ruang juga membuat persoalan banjir di Jakarta semakin pelik. Terlebih lagi pembangunan yang banyak terjadi selama ini tidak mengindahkan tata ruang yang ada.

Hal senada dikatakan Ketua Metropolitan Cabin for Wacht and Empowerment (McWe), Amir Hamzah. Rendahnya sebagian wilayah Jakarta, katanya, membuat kemampuan tanah untuk menyerap air menjadi sangat minim.

"Akibatnya, struktur tanah menjadi renggang. Penurunan air tanah ini memberi dampak terjadinya intrusi (perembesan) air laut. Sehingga, kini di beberapa kawasan banyak jalan-jalan yang mengalami retak-retak, atau berlubang meski tidak ada gempa," tuturnya.

Amir mengatakan, kiriman air dari daerah penyangga patut ditangani oleh Pemprov DKI secara serius. Seharusnya untuk menangani hal tersebut, Pemprov DKI berkoordinasi dengan pemerintah setempat dalam rangka penyatuan tata ruang antara Jakarta, Bopuncur, Sukabumi, dan Depok.

"Karena sungai-sungai yang ada di Jakarta hulunya berada di kawasan-kawasan penyangga itu," katanya.

Tapi, lanjut Amir, untuk melakukan penyatuan tata ruang dibutuhkan peraturan pemerintah (PP) tentang integrasi dan sinergi tata ruang antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, sebagai payung hukum.

"Meski saat ini pemerintah pusat sudah membuat undang-undang tentang rencana umum tata ruang nasional. Tapi, PP tentang integrasi dan sinergi tata ruang antara satu provinsi dengan provinsi lainnya masih belum ada," ungkapnya.

Padahal, kata dia, hal ini merupakan salah satu resistensi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Terutama, untuk mewujudkan rencana koordinasi tata ruang antara satu provinsi dengan provinsi lainnya.

Sementara itu, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan mengatakan, ada dua hal yang selama ini tidak pernah bisa dilaksanakan Pemprov DKI dalam mengatasi banjir di Jakarta, yaitu memberikan emergency respons (respon darurat) dan early warning system (sistem peringatan dini).

"Kita jangan bicara soal Banjir Kanal Timur (BKT) dulu, karena itu merupakan program jangka panjang. Seharusnya Pemprov DKI fokus pada masalah early warning system dan emergency respons," tegasnya.

Selama ini, kata dia, ketika banjir terjadi di Jakarta respon darurat datang dari kalangan masyarakat sendiri yang menjadi korban banjir. Sementara, kinerja Pemprov DKI dalam memberikan respon darurat itu dinilai lambat. "Emergensi respon dari Pemprov DKI saat banjir datang tidak pernah terjadi," tudingnya.

Begitu juga dengan sistem peringatan dini, misalnya pembunyian sirine untuk memperingati warga ketika banjir datang. "Padahal sistem peringatan dini itu amat penting untuk menekan jumlah korban akibat banjir. Selain itu, Pemprov DKI juga tidak punya titik-titik, ke mana masyarakat harus dievakuasi," tegasnya.

(Y-6)

Post Date : 26 November 2005