Banjir dan Kepastian Investasi

Sumber:Kompas - 28 Januari 2013
Kategori:Banjir di Jakarta

Banjir yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu menjadi musibah bagi semua pihak, termasuk pelaku usaha. Kerugian diperkirakan Rp 15 triliun-Rp 20 triliun, belum termasuk klaim asuransi. Musibah memang bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Karena itu, kuncinya ada pada kemampuan mengantisipasi dan kecepatan memitigasi. Bencana yang bersifat alamiah mestinya bisa ”ditundukkan” dengan rasionalitas manusia.

Dalam laporan Global Risk 2013 terbitan Forum Ekonomi Dunia digambarkan lanskap persoalan 10 tahun mendatang dilihat dari dua sisi: tingkat kemungkinannya terjadi dan besar kecilnya dampak. Di bidang ekologi, ada dua masalah yang cukup serius: kegagalan adaptasi perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang akan terus terjadi.

Risiko banjir besar di Jakarta sudah ada sejak lama. Ke depan, dengan meningkatnya dampak perubahan iklim, risikonya membesar. Namun, kita tidak sendirian. Banyak negara lain menghadapi persoalan yang sama. Thailand, misalnya, pernah dilanda banjir besar sehingga investor berpikir merelokasi industrinya ke tempat lain.

Benarkah banjir di Jakarta akan membuat banyak pabrik direlokasi? Sebelumnya, isu perburuhan seiring dengan kenaikan upah minimum provinsi DKI Jakarta sebesar 44 persen juga memicu polemik tentang relokasi tersebut.

Meski semua bangsa menghadapi tantangan yang sama terkait isu perubahan iklim, responsnya berbeda-beda. Jepang, misalnya, dikenal sebagai bangsa yang sering mengalami bencana sehingga punya kemampuan mengelola bencana dengan baik. Setiap kali tertimpa, mitigasinya begitu cepat hingga ke tahap rekonstruksi dan bahkan bangkit dengan tatanan lebih baik. Sama halnya dengan krisis, bencana membuat semua pihak melakukan perbaikan dan inovasi.

Bencana tsunami di Jepang tahun 2011 membutuhkan biaya rekonstruksi tak kurang dari 180 miliar dollar AS atau setara 3 persen produk domestik bruto (PDB) mereka. Demikian juga ketika menghadapi gempa Kobe 1995, Jepang cepat bangkit kembali. Tsunami Jepang sempat merontokkan pasar saham hingga 10 persen atau setara dengan 20 persen PDB. Tentu saja magnitude persoalan banjir Jakarta jauh lebih kecil dibandingkan gempa Kobe, tsunami Jepang, atau banjir yang melanda Bangkok.

Bursa Efek Indonesia (BEI) dibuka menguat 8,91 poin pada hari Jumat sehari setelah Jakarta terendam. Pergerakan bursa regional yang cenderung positif lebih memengaruhi indeks. BEI justru menguat 0,20 persen ke posisi 4.407,29 di tengah-tengah situasi banjir. Meski begitu, bukan berarti persoalan banjir di Jakarta bisa diabaikan begitu saja.

Akankah banjir memengaruhi persepsi dan kemudian keputusan para investor, khususnya investasi asing? Bukan pada bencananya itu sendiri, melainkan lebih pada bagaimana pemerintah merespons situasi tersebut serta konsep antisipasi jangka panjangnya. Jika tidak ada konsensus penyelesaian persoalan utama banjir, risiko kejadian yang sama akan terus berulang, dan karena itu sangat mungkin investor berpikir ulang.

Masalah luar biasa, seperti banjir yang merendam Jakarta, tidak bisa dipecahkan dengan cara biasa. Diperlukan pemikiran inovatif dan progresif ke depan. Dan karena itu butuh pemimpin yang tidak biasa-biasa juga.

Majalah terkemuka The Economist (edisi 26 Januari 2013) menurunkan artikel mengenai Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang disebutnya sebagai ”Mr Fix-it”. Reportase itu dibuat sebelum terjadi banjir, tetapi reputasinya yang sudah diakui secara internasional diharapkan bisa memupuk harapan pembaruan Jakarta.

Dengan dukungan dari pemerintah pusat yang juga menaruh komitmen besar membenahi Jakarta, diharapkan ada terobosan mengatasi banjir dan masalah lainnya, seperti kemacetan.

Total investasi langsung tahun 2012 mencapai Rp 313,2 triliun atau 110,5 persen di atas target. Dari total investasi langsung tersebut, penanaman modal asing (PMA) masih mendominasi sebesar 70,6 persen, sisanya penanaman modal dalam negeri (PMDN). Sebesar 56,1 persen investasi masih berada di Jawa dan 43,9 persen di luar Jawa. Ada lima sektor unggulan yang menjadi primadona PMA, yaitu sektor pertambangan, transportasi dan telekomunikasi, industri kimia dasar, industri logam dasar, dan industri alat angkutan. Investasi pada sektor pertambangan masih menjadi tujuan utama.

Melihat komposisi tersebut, banjir Jakarta tidak akan menghalangi pencapaian target investasi tahun 2013 sebesar Rp 390 triliun. Meskipun demikian, urgensinya bukan hanya terhadap PMA, melainkan juga investor domestik. Justru dengan ancaman banjir di Jakarta ini, ada kesempatan mendorong tumbuhnya investasi domestik di daerah.

Jakarta sudah melebihi kapasitasnya sehingga perlu upaya memecah pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta. Program Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) semestinya bisa menjadi lokomotif memecah sumber pertumbuhan pada enam koridor, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.

Terhadap pemerataan sumber pertumbuhan ekonomi dibutuhkan pembangunan infrastruktur secara masif. Pertanyaannya, modalnya dari mana? Dan jika modalnya ada, sejauh mana pemerintah mampu membelanjakan untuk percepatan pembangunan infrastruktur?

Untuk masalah Jakarta saja, kemampuan pemerintah provinsi melakukan pembenahan terbentur oleh Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang belum disahkan. Ada begitu banyak belitan persoalan birokrasi yang ujung-ujungnya bernuansa politik. Menjelang Pemilihan Umum 2014, terlalu berlebihan berharap pemerintah pusat dan daerah berpikir progresif.

Belum lagi berhadapan dengan para pemburu rente yang menggerogoti keuangan negara sehingga kualitas pembangunan infrastruktur diragukan. Menghadapi bencana seperti banjir yang menimpa Jakarta memang dibutuhkan pemimpin yang berani bertindak cepat dan tidak bersikap business as usual. Kita berharap perubahan bisa segera dilakukan mulai dari Jakarta dan menjalar ke daerah lain dengan cepat. Sebagai bangsa, kita memang tengah membutuhkan perubahan mendasar.

A Prasetyantoko Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta



Post Date : 28 Januari 2013