Berebut Air di Sendang Senjoyo

Sumber:Kompas - 12 September 2008
Kategori:Kekeringan

Sadi Martono (54), petani Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, masih belum pulih benar dari kekagetannya. Meski beberapa kali kesulitan air saat kemarau, baru tahun ini dia sampai menyaksikan serombongan petani dari desa lain nekat membawa godam dan palu, berniat membobol pintu air. Aliran air dari Sendang Senjoyo sudah dianggap tidak lagi terbagi adil.

Percekcokan berlangsung sengit antarpetani dari Tingkir Lor dan Kalibening (Salatiga) dengan Tingkir Tengah (Salatiga), serta sejumlah desa di Kecamatan Suruh (Kabupaten Semarang). Pasalnya, awal Agustus lalu, petani dari Kalibening berniat menjebol pintu air Aji Awur di Desa Tegalwaton.

Pintu air itu berfungsi mengatur aliran air dari Bendung Senjoyo ke arah timur, yaitu ke Tingkir Tengah dan sejumlah kelurahan di Kecamatan Suruh, serta arah utara menuju Tingkir Lor dan Kalibening.

Kondisi ketika itu sempat memanas. Kedua kubu saling menuding pihak lain mencurangi pembagian air karena merasa aliran air yang menuju lahan mereka terlalu sedikit. Beruntung, konflik berhasil diredam. Mereka berembuk bersama kepala desa setempat dan sepakat pembagian air dilakukan setiap tiga hari.

”Sekarang sudah lebih baik. Setiap petani sudah bergantian mendatangi pintu air setiap pukul 15.00. Tahun-tahun terakhir air memang semakin sulit,” kata Sadi Martono, Senin (8/9).

Aliran air Sendang Senjoyo yang berada di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, mengalir melalui tiga bendungan: Isep-isep, Watukodok, dan Senjoyo. Mata air ini juga dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga, PDAM Kabupaten Semarang, PT Damatex, dan Yonif 411 Salatiga.

Jauh sebelumnya, air Sendang Senjoyo begitu melimpah. Kebutuhan air bagi petani untuk mengairi sawah dan keperluan sehari-hari penduduk sekitar sangat mencukupi.

Namun, persoalan timbul ketika debit airnya terus turun hingga semakin parah 2-3 tahun terakhir. Hal ini memicu konflik horizontal antarpetani karena kebutuhan air mereka tetap, tetapi alirannya semakin sedikit. Terlebih lagi mereka harus berbagi dengan perusahaan-perusahaan yang memasang pipa ke mata air.

”Petani sering mengadu kesulitan air kepada saya. Perebutan air masih terjadi antarpetani karena itu yang paling tampak. Mereka mau marah kepada orang-orang ’atas’ ya enggak berani,” kata Kepala Desa Tegalwaton Agus Suranta.

Data di Ranting Pengairan Kecamatan Tengaran, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Semarang, menunjukkan, pada tahun 1995 debit air Sendang Senjoyo saat kemarau masih mencapai 1.115 liter per detik. Akan tetapi, kini hanya berkisar 838 liter per detik, padahal kebutuhan air petani relatif tetap karena alih fungsi lahan di daerah ini tak terlalu pesat.

Dari debit air yang tersisa rata-rata 838 liter per detik, sebanyak 358 liter per detik harus direlakan petani untuk diambil pengguna besar. PDAM Kota Salatiga menyedot 278,5 liter per setik, PDAM Kabupaten Semarang 11,8 liter per detik, PT Damatex dan Timatex 53 liter per detik, dan Yonif 411 Salatiga 11,8 liter per detik.

Menurut Kepala Ranting Pengairan Kecamatan Tengaran Dalwandi, penurunan debit ini disebabkan oleh pengambilan air dalam skala besar secara terus-menerus oleh sejumlah pemakai besar. Kondisi ini diperparah dengan pengambilan air bawah tanah menggunakan sumur bor oleh sejumlah industri yang berada tak jauh dari Senjoyo.

Ironisnya, pengurasan sumber air itu tidak diimbangi dengan konservasi air, baik di hutan sekitar Sendang Senjoyo maupun Lereng Merbabu yang menjadi daerah tangkapan air. ”Kami pernah mengajak PDAM Salatiga yang menjadi pengguna terbesar ikut berpartisipasi, tetapi kurang mendapat tanggapan. Begitu juga saat kami meminta pengurangan pengambilan air,” kata Dalwandi.

Sekretaris Daerah Kota Salatiga yang juga Badan Pengawas PDAM Kota Salatiga Sri Sejati mengakui bahwa Senjoyo masih menjadi salah satu sumber utama pengambilan air. Namun, PDAM Salatiga juga masih mencoba mencari sumber air selain Senjoyo. ”Kalau untuk konservasi, akan kami coba bahas lebih jauh,” kata Sri Sejati.

Kasus Umbul Wadon

Persoalan serupa dihadapi masyarakat pada empat kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menggantungkan hidup dari keberadaan sumber mata air Umbul Wadon di hulu Sungai Kuning. Jika 20 tahun lampau mereka bisa dengan mudah memperoleh air yang melimpah, kini justru sebaliknya.

Sekarang ketersediaan air sangat terbatas. Air memang masih mengalir dari Umbul Wadon. Namun, sejak beberapa tahun terakhir para petani di Kecamatan Cangkringan, Ngemplak, Ngaglik, dan Pakem kian kesulitan mendapatkan air untuk ”membasahi” sawah-sawah mereka. .

Kebetulan atau tidak, salah satu sumber berkurangnya pasokan air melalui Sungai Kuning tersebut akibat Umbul Wadon juga dimanfaatkan oleh tiga perusahaan air minum untuk masyarakat di Sleman dan sebagian Kota Yogyakarta. Ketiga perusahaan dimaksud adalah Tirta Dharma Sleman, Tirta Marta Kota Yogyakarta, dan Arga Jasa.

Dampaknya memang tidak dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Umbul Wadon atau yang mengonsumsi air setiap hari, tetapi oleh petani di daerah hilir. Mereka merasakan volume air yang masuk ke sawah tidak sebanyak dulu lagi.

Tahun ini, misalnya, puluhan petak sawah kecil-kecil di Dusun Grogolan, Kecamatan Umbulmartani, yang lokasinya lebih rendah (mirip terasering) dan dekat dengan Kali Kuning pun meranggas. Bahkan, ada beberapa petak tanaman padi yang dibiarkan kering begitu saja tanpa dipanen.

”Sawah-sawah itu dulunya selalu basah, termasuk saat kemarau. Bahkan, bisa dikatakan jenis tanahnya gembur, seperti lumpur,” ujar Sudiharjo (60), petani dari Dusun Grogolan.

Notowiharjo (72), petani yang lain, menuturkan bahwa mereka masih harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air. Masyarakat menyebut uang itu bukan sebagai ”bayaran”, melainkan lebih pada istilah ”biaya mengisi administrasi”.

Uang itu diberikan kepada penjaga pintu air atau dam di daerah hulu. Penjaga air itulah yang nantinya mengalirkan air ke saluran atau parit menuju lahan milik petani. Cara seperti ini berlangsung sekali dalam sepekan dan bergantian dengan petani di daerah lain.

Di Kali Kuning terdapat banyak dam. Dari Umbul Wadon hingga Dusun Grogolan, yang berjarak lebih dari 6 kilometer, misalnya, terdapat 18 dam berukuran kecil atau biasa dikenal masyarakat sekitar dengan embung. Menurut petani, embung-embung ini sengaja dibangun untuk mengendalikan aliran air.

”Uang yang harus dibayar mencapai Rp 50.000. Air akan mengalir selama 12 jam, mulai dari petang hingga pagi. Air itu akan dipakai bersama-sama oleh petani yang menempati bulak tertentu,” kata Notowiharjo.

Menyusutnya air saat kemarau jelas berpengaruh terhadap produksi. Lahan milik Sudiharjo, misalnya, saat airnya melimpah bisa menghasilkan 7 kuintal padi kering, sedangkan saat ini hanya 3 kuintal karena sebagian di antaranya terserang hama.

Data dari Dinas Pengairan Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA) Kabupaten Sleman menunjukkan, debit air yang masuk ke PDAM Tirta Dharma saat ini mencapai 81 liter per detik, Tirta Martha 75,8 liter, dan Arga Jasa 15 liter per detik.

Kepala P3BA Sleman Widi Sutikno membenarkan debit air Umbul Wadon memang berkurang, terutama saat kemarau. Dalam pengukuran terakhir, debit air hanya 349,7 liter per detik. Adapun pengukuran satu bulan sebelumnya masih 376 liter per detik.

PDAM Tirta Dharma Sleman membantah tudingan bahwa mereka berusaha memperbesar debit air yang masuk ke wilayahnya. Kepala Pengawas Internal PDAM Tirta Dharma Sleman Dwi Nurwata mengatakan, sejak awal debit air tidak berubah, tetap 80 liter per detik.

Saat ini PDAM Tirta Dharma memperoleh air dari dua mata air, yakni Umbul Wadon dan Tuk Dandang di Pendowoharjo. Selain itu, mereka juga mengandalkan 17 sumur dangkal dan 15 sumur dalam.

Selama ini pemakaian Umbul Wadon secara bersama-sama bukan tidak menimbulkan konflik. Tahun 2004 lalu, misalnya, ratusan warga lereng Merapi berusaha meminta kembali pasokan air minum dan irigasi yang dihentikan pihak tertentu. Mereka juga meminta penghitungan ulang pemanfaatan air yang ada.

Kini, untuk melindungi sumber-sumber air itu, pemerintah daerah tengah mencoba melakukan konservasi di sekitar Merapi. Selain penghijauan, mereka juga berupaya memperbanyak dam. Namun, masyarakat tak bisa lagi menunggu terlalu lama.... ANTONY LEE dan DEFRI WERDIONO



Post Date : 12 September 2008