Bio Toilet

Sumber:Republika - 16 Mei 2006
Kategori:Sanitasi
Di Pondok Pesantren (Ponpes) Daarut Tauhid, Bandung, buang hajat tak perlu menghambur-hambur air. Lebih dari setahun lalu, pesantren pimpinan Aa Gym ini mendirikan satu unit bio toilet alias WC kering hemat air di sudut ponpes megah itu.

Terpaut jarak beberapa kilometer, yakni di Jl Cisitu, Bandung, WC serupa ditemukan. Ini adalah kompleks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung. Sejatinya, lembaga inilah yang menggagas bio toilet WC kering yang sudah ngetren di Eropa Utara dan Jepang di Indonesia.

Ponpes Daarut Tauhid jadi proyek pencontohan. Sebab, ''Banyak orang ragu, jangan-jangan WC kering kurang memenuhi syarat untuk membersihkan najis,'' tutur Dr Neni Sintawardani, peneliti Pusat Penelitian Fisika LIPI, Senin (15/5).

Terlepas dari perdebatan soal najis, bio toilet masih punya banyak kemiripan dengan toilet konvensional, seperti penggunaan WC (duduk atau jongkok) atau air pembersih. Namun, perbedaannya juga tak kecil: pada bio toilet tak ada saluran pipa guna menggelontorkan kotoran (padat atau cair) ke selokan atau septic tank. Lalu ke mana larinya najis itu?

Di tahun 1980-an, masyarakat desa membuat WC dengan cara menggali tanah seperti membuat sumur. Bagian atas kemudian ditutup dengan kayu, dan diberi lubang tempat nongkrong untuk buang hajat. Setelah penuh, ditimbun dengan tanah, kemudian membuat galian baru.

Pada WC kering ini, terang Neni, kotoran langsung 'ditangkap' oleh serbuk-sebuk kayu yang ditempatkan di bawah lubang (reaktor) WC. Bak mesin penyedot tinja, serbuk selulosa ini langsung menyerap dan mengolah kotoran secara biologis, ''Sekaligus mengabsorsi bau,'' tambah Neni lagi.

Dengan cara ini, flushing water atau air pembersih limbah tak lagi diperlukan. Air yang ada di bio toilet --biasanya lewat selang shower-- hanya dikucurkan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran pada tubuh atau lubang WC. Jika dirata-rata, kebutuhan air bilas pada bio toilet dijatah sekitar 300 mililiter per orang, atau kurang dari sebotol air mineral ukuran sedang. ''Penggunaan air memang diminimalkan,'' terang Neni.

Mengapa perlu bio toilet? Mulanya akses air bersih yang kian sulit. Terutama di daerah padat penduduk atau daerah urban. Di wilayah Jl Kiaracondong, Bandung, misalnya, air bersih cukup sulit dan bukan barang murah. Daerah ini sempat diteliti Neni.

Penduduk miskin tanpa akses PAM, kata dia, harus merogoh kocek sekitar Rp 7.500 per 20 liter. Padahal, menurut hitung-hitungan Neni, konsumsi air per orang tak kurang dari 18 liter air per hari. Belum lagi jika giliran musim kemarau. Kebanyakan daerah kering, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), pasti didera krisis air. Di NTT, setiap kali musim kemarau, penduduknya didera diare. Ini penyakit endemik yang selalu muncul saat pergantian musim.

Pemicunya adalah ketidaktersediaan sistem sanitasi yang memadai. Tinja yang digelontorkan tak terurai dengan sempurna, sementara air kurang. Akibatnya bakteri penyebab diare tumbuh subur. Nah, serbuk selulosa pada bio toilet merupakan media pengurai bakteri yang efektif.

Serbuk kayu

Berbahan dasar selulosa, serbuk-serbuk kayu ini adalah bahan yang sulit diurai oleh bakteri. ''Sebaliknya, serbuk ini amat mudah mengurai bakteri,'' terang Neni. Adalah sifat korosivitas selulosa yang tinggi yang membuatnya mampu mengurai bakteri dalam tempo cepat. Sifat selulosa, kata dia, serupa dengan tanah --tempat terdegradasinya semua jenis bakteri patogen.

Serbuk-serbuk kayu ini dapat diperoleh dari beragam sumber, yang meliputi limbah pertanian atau perkayuan, seperti serbuk gergajian, sekam, jerami kering, atau bonggol jagung. Serbuk-serbuk ini lalu ditempatkan di bawah lubang WC. Neni mencatat, dalam tempo tiga jam sebanyak 40 persen dari bakteri patogen sudah mulai terurai. Adapun proses penguraian sempurna memerlukan waktu sekitar 8-10 jam.

Tak kalah penting, tambah Neni, sifat korosivitas selulosa adalah efektif menyerap bau kotoran, dengan mengubahnya menjadi karbondioksida dan air. ''Sehingga, meski tanpa air, WC ini tak terlalu bau,'' terang dia.

Menurut perhitungannya, diperlukan sekitar seperempat kubik serbuk kayu untuk 25 orang pengguna WC (25 kali buang air kecil dan besar), sehingga serbuk diperkirakan perlu diganti sekitar seminggu sekali. Jika tempat sudah penuh, kotoran dapat dimanfaatkan menjadi pupuk tanaman.

Di samping itu, sifat penampung kotoran juga mudah dipindah (portable). Sehingga dapat dipadukan dengan pembuangan limbah dapur untuk pupuk tanaman. ''Jika dicampur, biasanya bakterinya lebih 'beringas', sehingga lebih bagus untuk tanaman,'' paparnya.

Secara singkat, terangnya, ini adalah penanganan WC 'di tempat' (on site) yang tak memerlukan sistem pembuangan limbah yang rumit. Ini, menurut dia, adalah alternatif terkuat dalam memecahkan masalah sanitasi yang seringkali tak murah.

Studi dari USAID menunjukkan investasi awal untuk sistem penyediaan air yang menghubungkan antarrumah di daerah urban maupun pedesaan sekitar 25 dolar AS per kapita. Biaya per tahun untuk instalasi dan pemeliharaan sistem sanitasi sederhana cukup bervariasi, dari 20 dolar AS per rumah tangga per tahun untuk penggunaan WC siram, hingga 400 dolar AS per rumah tangga per tahun untuk sistem air kotornya. ''Bio toilet adalah solusi ekonomis, terutama untuk penduduk miskin,'' kata Neni.

Teknologi sederhana

Komponen utama bio toilet bukan cuma lubang WC (duduk atau jongkok) atau serbuk gergaji. Tapi juga lubang aerasi udara, pengaduk, dan pemanas (jika diperlukan).

Lubang aerasi udara diperlukan untuk mengalirkan bau akibat proses degradasi. Sementara, pengaduk diperlukan untuk memberi asupan udara ke dalam wadah untuk proses degradasi. Sementara pemanas diperlukan untuk mematikan bakteri-bakteri perut.

Secara teknis, pembuatan bio toilet cukup mudah dan bisa dibuat di bengkel masyarakat yang ada. Bahan yang dipergunakan sebagai badan alat biasanya stainless, bahan serat atau polimer kuat lainnya. Semakin mahal harga bahan, semakin kuat bahan tersebut. ''Yang terpenting, bahan yang dipakai harus tidak mudah berkarat dan sanggup menerima gesekan dengan bahan serbuk kayu dalam jangka yang cukup panjang,'' kata Neni.

Motor pengaduk juga dapat diperoleh mudah di pasar. Motor dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa menggerakkan pengaduk dengan kecepatan rendah. Selain itu, dipergunakan alat pengontrol elektronik untuk mengatur pergerakan pengaduk secara periodik dalam waktu yang tertentu.

Pipa sirkulasi udara bisa dibuat dari pipa plastik PVC atau batang bambu. Pembuatan ruang untuk tempat kotak bio toilet dapat disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat setempat.

Sulitnya Mengubah Paradigma

Tidak mudah, kata Neni, mengubah persepsi masyarakat tentang WC. Ini terkait dengan standar penggunaan jumlah air bersih, kriteria bersih dan cara membersihkan yang beragam.

Penggunaan air yang jauh sangat berkurang meski berdampak positif bagi lingkungan membutuhkan penyesuaian yang sangat besar bagi masyarakat di Indonesia.

Sebagian khawatir najis kurang terbasuh jika air terlampau sedikit. Yang jelas, kata Neni, uji coba penerapan teknologi bio toilet di Pesantren Daarut Tauhid dapat diterima oleh santri pengguna.

Latar

Keuntungan Bio Toilet

- Daur ulang nutrisi limbah langsung kembali ke alam.- Eliminasi mikroba pathogen lebih cepat. - Mengurangi aliran air limbah. - Bisa menjaga konservasi air di lokasi. - Tidak membutuhkan biaya untuk sistem perpipaan. - Timbul sistem sosial yang 'baru', misal: tumbuhnya UKM, pertanian kecil.

( imy )

Post Date : 16 Mei 2006