Desalinasi: Menguapkan Air Laut Menjadi Air Bersih

Sumber:Republika - 23 Juni 2002
Kategori:Air Minum
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Memiliki luas wilayah 5.193.252 km2 dua per tiga luas wilayahnya merupakan lautan, yaitu sekitar 3.288.683 km2. Sehingga Indonesia juga memiliki julukan sebagai benua maritim.

Ironinya--di tengah kepungan air laut itu--ternyata masih ada beberapa tempat yang mengalami kekurangan air, terutama mengenai ketersedian air bersih. Akibatnya, di tempat seperti itu air menjadi barang eksklusif. Masyarakatnya harus membeli untuk mendapatkan air bersih.

Ironi inilah yang menimpa masyarakat Kepulauan Seribu. Di kepulauan yang berada di utara kota Jakarta itu air bersih menjadi barang langka. Bupati Kepulauan Seribu, Kamil Abdul Kadir beberapa waktu yang lalu menuturkan bahwa ketersediaan air bersih adalah masalah utama bagi daerahnya. Setidaknya, untuk mendapatkan satu liter air bersih, masyarakat harus membayar Rp 50 sampai Rp 75.

''Air bersih memang masih menjadi masalah. Selama ini, untuk memperoleh air bersih tersebut kita mendapatkannya dari 5 instalasi Reverse Osmosis (RO) yang terdapat di lima pulau berpenghuni,'' ujarnya. Sementara pulau berpenghuni itu jumlahnya sebanyak 11 pulau dengan jumlah penduduk 18 ribu jiwa.

Melihat kondisi itulah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tertarik mengembangkan teknologi untuk mengatasi krisis air. Setelah melakukan serangkaian kajian, BPPT mengembangkan teknologi desalinisasi di kabupaten yang masuk wilayah propinsi DKI Jakarta ini.

Menurut Rohmadi Ridlo dari tim desalinasi BPPT memaparkan bahwa desalinasi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan proses destilasi dan Reverse Osmosis. Secara prinsip, menurut Ridlo, proses destilasi merupakan perubahan fase cair menjadi fase uap. Dimana pada tahap akhir, air laut akan mengalami kondensasi menjadi air murni.

Sementara, pada proses RO--air yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat Kepulauan Seribu--dalam prosesnya tidak ada perubahan fase. ''Pada proses RO yang terjadi hanya fase cair saja. Dimana untuk memisahkan air tawar dengan air laut di dapat dari adanya perbedaan tekanan yang menggunakan membran semi permeablenya saja.''

Namun, Ridlo mengakui bahwa masing-masing teknologi pemisahan air tawar dengan air laut itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kelemahan pada proses desalinasi yang menggunakan teknologi RO diantaranya adalah adanya kemungkinan penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri, kerak kapur atau fosfat dari air laut.

Selain itu, pemanfaatan teknologi RO untuk menghasilkan air tawar di Indonesia pun masih menghadapi beberapa kendala. Diantaranya, mengenai bahan baku air laut yang sudah relatif kotor. Sehingga, jika penggunaaan bahan baku semacam ini dipaksakan tentu akan berpotensi untuk menyumbat membran.

Menurut Ridlo ada beberapa peralatan yang mendukung proses destilasi ini. Ia menyebutkan antara lain adalah heater, kondensor, ejektor air, pompa ejektor, pompa kondensat, indikator salinitas, dan peralatan kontrol.

Proses kerja destilasi ini mulanya air laut dihisap oleh pompa ejektor yang terdapat dipantai. Kemudian, air laut tersebut dimasukan ke dalam alat penukar gas (heat exchanger). Pada tahap ini, air laut dipanasi oleh air panas dari panas buang diesel atau boiler limbah biomassa pada suhu 80 derajat C. Selanjutnya, air tersebut divakumkan pada tekanan udara kurang dari 1 atm.

Pada kondisi hampa udara (vakum) yang tinggi dan suhu rendah itulah, jelasnya lagi, sebagian dari air laut menguap. Dimana, uap bertekanan rendah dari tempat lain mendapat pendinginan dari air laut yang dimasukkan dari cerobong terpisah. Pada saat itulah, uap berkondensasi menjadi air tawar.

Lebih lanjut Ridlo menjelaskan, air laut yang sudah hangat akan mengalir dari saluran keluar pendingin. Dan selanjutnya akan masuk ke dalam heat exchanger sebagai air umpan. Uap tekanan rendah yang timbul di dalam heat exchanger mengalir masuk ke dalam evaporator. Begitu pula dengan air sisa buangan yang kental.

Selanjutnya, uap air itu didinginkan oleh air laut dan berkondensasi menjadi air tawar. Hasil air tawar di kondensor itu kemudian dipompa keluar oleh condensate pump. Kemudian, air tersebut dialirkan ke tangki persedian air tawar. Sementara sisa air buangan dikeluarkan secara teratur oleh water ejector.

Sedangkan mengenai kadar garam dari air destilat (air yang dihasilkan dari proses destilasi ini--red) secara terus menerus dipantau oleh salinity indicator. Sebuah solenoid valve dipasang pada saluran keluar pompa air destilasi.

''Nah untuk menentukan kadar garam air destilatnya kita bisa mensetnya,'' kata Ridlo. Diungkapkan pula umumnya kadar garam yang dimiliki oleh air destilat ini maksimal sebesar 10 ppm. Artinya, kualitas air yang dihasilkan dari proses ini sangat bagus.

Menurut Ketua Pelaksana Program Desalinasi-BBPT Bambang Gambiro air tawar yang dihasilkan dari mesin diesel bertenaga 2x250 Kw dan 2x500 Kw mampu menghasilkan 5.000 liter air dalam 24 jam. ''Tetapi sebenarnya kita masih bisa memaksimalkannya lagi hingga 15 ribu liter,'' ujarnya dengan nada yakin.

Mengenai kualitas air tawar yang dihasilkan dari proses destilasi ini, Bambang mengatakan,''Kualitasnya sudah terjamin.'' Jadi, katanya, setelah proses destilasi usai, air tawar yang dihasilkan telah siap untuk diminum. Ini disebabkan karena air tawar ini sudah memenuhi standar air bersih yang ditetapkan oleh Lembaga Kesehatan Dunia (WHO).

Berdasarkan hasil penelitian, air destilasi ini memiliki pH 8,5 pada suhu 25 derajat. Selain itu, tingkat alkalinitasnya sekitar 3 CaCO3 miligram per liter. Kemampuan daya hantar listriknya sebesar 4,1 mg/l. Kandungan ion klorida, ion besi masing-masing sebanyak kurang dari 2 mg/l Cl- dan kurang dari 0,05 mg/l Fe.

Sementara itu kualitas air yang ditetapkan WHO, pH yang baik berkisar antara 5,8-8,6. Kemampuan daya hantar listriknya sebesar kurang dari 700 mg/l. Kandungan ion klorida kurang dari 200 mg/l Cl-. Dan kandungan ion besinya adalah kurang dari 0,3 mg/l Fe. ''Jadi jelas air ini memang berkualitas,'' tandasnya optimis.

Selama ini, kata Bambang, pemanfaatan teknologi desalinasi ini banyak digunakan pada kapal-kapal tanker. Keberadaan desalinasi disana, untuk menyuplai air bersih bagi awak kapalnya. ''Namun, hingga saat ini di Indonesia pemanfaatan desalinasi untuk keperluan di darat masih belum ada,'' tukasnya.

Ia berharap desalinasi di Kepulauan Seribu itu nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Bambang mengungkapkan pula pilot project yang akan dilakukan di Pulau Pramuka yang memiliki kepadatan penduduk sekitar 1.500 jiwa ini akan dilakukan selama dua tahun. Sedangkan dana yang dianggarkan untuk pilot project ini jumlahnya sebesar Rp 260 juta yang didapat dari Daftar Isian Proyek Anggaran Pendapatan Belanja Negara (DIK-APBN) 2002.

Selain itu Bambang juga mengatakan bahwa pihak BPPT dalam melaksanakan pilot porjectnya di Kepulauan Seribu ini menggandeng pihak produsen desalinasi dari PT Sasakura, Jepang. ''Dan saat ini Italia dan Korea juga tertarik untuk ikut serta mengembangkan teknologi desalinasi ini.'' tandas Bambang. C10

Post Date : 23 Juni 2002