Hari Air Diwarnai Demo Elemen Masyarakat

Sumber:Suara Merdeka - 23 Maret 2010
Kategori:Hari Air Sedunia 2010

YOGYAKARTA  - Sejumlah elemen masyarakat Yogyakarta, mulai dari Walhi Yogyakarta, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Jateng-DIY dan Sahabat Lingkungan, Senin (22/3) menggelar aksi unjuk rasa untuk mengingatkan pemerintah bahwa akses atas air bersih adalah hak asasi manusia.

Aksi unjuk rasa tersebut digelar damai dan simpatik jalan kaki mulai dari Tugu menuju ke  perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta, dengan melalui Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Malioboro, A Yani dan langsung menuju ke perempatan Kantor Pos Besar.

Mereka menyerukan, pengelolaan sumber mata air milik masyarakat yang dulu dilakukan secara komunal dengan kearifan lokal yang dimiliki, kini hilang akibat terampasnya hak-hak masyarakat setelah adanya privatisasi sumber mata air.

’’ Ada ketimpangan pengelolaaan. Jika dulu komunal, kini haknya dimiliki swasta. Akses masyarakat atas air terhenti. Ada banyak masalah kini hadir dan butuh perhatian,’’ kata Habibullah, Ketua Serikat Tani Merdeka (Setam) Yogyakarta, saat memperingati Hari Air se-Dunia di Yogyakarta .

Hak Dasar Warga Pada kesempatan itu, mereka membawa gentong (tempat air) dan spanduk bernada seruan agar pemerintah memberi keadilan dalam pengelolaan sumber daya air.

Mereka juga berharap pemerintah meninjau kembali perizinan dan pengawasan depot pengisian air isi ulang, serta menolak intervensi asing yang menyebabkan konflik pengelolaan sumber daya air, dan menolak privatisasi air serta komersialisasi air.

’’Pemerintah jangan mengabaikan hak dasar warga negara atas akses air. Air adalah hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara,’’ kata Habibullah sambil menunjukkan kasus sumber mata air di lereng Gunung Merapi  yang kini banyak dieksplorasi untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Sejumlah perusahaan seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), perusahaan air minum kemasan Arbas dan Evita misalnya memanfaatkan sumber mata air di Umbul Wadon.

Mereka memanfaatkan debit air sebanyak 1500 liter per detik untuk memenuhi pelanggan. Dampaknya? Akses masyarakat sekitar hilang. Mereka tak lagi punya hak mengelola kelestarian sumber air di wilayahnya.

Dia menyayangkan praktik eksplorasi air bersih di sumber mata air yang seringkali tidak memerhatikan upaya konservasi lingkungan sekitar. Adanya retribusi atau pajak atas air tidak kembali guna perbaikan kondisi lingkungan.

Dicontohkan, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan nilai retribusi air mencapai Rp 1,3 miliar, dan dana yang kembali ke masyarakat hanya Rp 300 juta.

Di daerah lain, lanjut dia, ada ketimpangan dan perebutan pemanfaatan air antara perusahaan air minum dan petani yang butuh air untuk irigasi pertanian.

’’Sangat tidak seimbang pengembalian dana guna perbaikan lingkungan. Seperti terjadi di Klaten dalam kasus pemanfaatan sumber mata air di Sigedang,’’ katanya.

Sementara itu, sejumlah wartawan Kota Yogyakarta bekerja sama dengan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta juga memeringati Hari Air dengan melakukan pembuatan lubang biopori sepanjang Gang Arimbi RT 29 RW 08 Nitikan, Sorosutan, Umbulharjo, Senin (22/3). Dari kegiatan tersebut setidaknya ada 30 lubang biopori berhasil dibuat.

Wakil  Wali Kota Yogyakarta , Haryadi Suyuti menilai, kegiatan itu menjadi bagian upaya mewujudkan sejuta biopori hingga 2011. Yang diharapkan dapat meresapkan air hujan dan menjaga ketersediaan air.  

Jumlah penduduk Kota Yogyakarta dengan asumsi 500 ribu orang, maka program sejuta biopori bisa segera terwujud.

’’Kami sudah anjurkan agar satu warga Yogyakarta membuat dua lobang biopori. Gerakan massal, kita intensifkan dari tiap rumah milik warga,’’ katanya. (sgt,H50-89)



Post Date : 23 Maret 2010