Ibnu, Perintis Penghijauan Lahan Kritis Bukit Karst

Sumber:Kompas - 30 Mei 2008
Kategori:Umum

Kesan tandus dan gersang selalu melekat dengan Kabupaten Gunung Kidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini tak mengherankan karena mayoritas kawasan itu terdiri dari perbukitan karst. Namun, suasana rimbun, hijau, dan teduhlah yang justru mendominasi beberapa bukit karst di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, itu.

Sungguh tak terbayangkan sebelumnya bahwa bukit dari batuan kapur itu pun ternyata bisa di-”sulap” menjadi hutan yang menyejukkan. Dengan kreasi sendiri, Ibnu Hajar Sholeh Prenolo mulai membuat terasering di lahan kritis perbukitan karst tersebut.

Tidak ingin menikmati keberhasilan penghijauan itu seorang diri, Ibnu, nama panggilannya, kemudian menularkan kreasi terasering karst buatannya kepada warga sekitar. Sebagai pemimpin Masjid Aolia, dia juga getol mengajak jemaah untuk turut peduli lingkungan.

Awalnya, Ibnu hanya mengeduk lapisan tipis tanah di bukit karst. Dia memunguti cuilan batu kapur untuk tanggul terasering. Untuk menambah lapisan tanah, Ibnu mengumpulkan aneka sampah dedaunan maupun sampah rumah tangga yang kemudian ditimbun di antara tanggul.

Dari buah kerja kerasnya itu, pohon jati, pisang, melinjo, hingga talas hutan tumbuh subur. Tanah di bukit karst miliknya pun tidak lagi hanyut dibawa air hujan karena tertahan oleh tanggul. Sampah-sampah yang dia tanam juga berkembang menjadi kompos yang menyuburkan.

”Setiap kali ada pertemuan di masjid, saya pasti menyelipkan ajakan agar jemaah mau turut melakukan penghijauan di lahan kritis,” cerita Ibnu sembari menunjukkan bukit-bukit karst yang menghijau, awal Mei 2008.

Sekarang, menurut Ibnu, sudah terbentuk lima kelompok kerja untuk penghijauan lahan kritis di Pedukuhan Panggang III, Desa Giriharjo, Panggang. Setiap kelompok kerja terdiri dari 15 keluarga yang telah turut merintis pembuatan terasering di lingkungan masing-masing.

Upaya penghijauan lahan kritis tersebut biasanya terlebih dahulu dirembukkan di masjid bersama warga sebelum diimplementasikan di lahan yang kritis.

Ibnu berharap pohon-pohon yang ditanamnya sejak tahun 1990 itu nanti bisa menyerap air sehingga dapat menyediakan mata air.

Bak penampungan

Dia tidak hanya menghijaukan lahan kritis, tetapi juga membuat bak penampungan air hujan di bagian bawah masjid serta kolam besar agar bisa mencukupi kebutuhan air untuk warga sekitarnya.

Bak penampungan air hujan itu dirasakan benar manfaatnya. Apalagi karena 17 telaga yang ada di Kecamatan Panggang itu biasanya mengering ketika memasuki musim kemarau.

Mendirikan Jemaah Aolia di Panggang sejak tahun 1982, setiap ada kesempatan Ibnu selalu berusaha menekankan pentingnya menjaga lingkungan hidup kepada warga sekitar. Baginya, pengajaran agama tidak harus berkutat dalam hal rohani saja. Aplikasi dari keimanan kepada Tuhan itu juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata, yaitu mencintai alam ciptaan-Nya.

”Kehidupan jemaah itu harus bisa menjadi berkah buat orang banyak,” tuturnya.

Penghijauan lahan kritis dia lakukan di atas bukit berbatu yang tidak bisa diolah menjadi lahan pertanian. Sebagian besar bukit karst di Gunung Kidul memang hanya ditanami pohon jati atau rumput, tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga tanah menjadi semakin tipis akibat aliran air hujan. Masalahnya, warga biasanya menanam pohon jati itu tanpa mengolah lahan sehingga tanah mengalami erosi.

Upaya penghijauan dengan cara terasering yang dilakukan Ibnu dan warga setempat itu terbukti dapat mencegah erosi. Penghijauan itu dilakukan dengan penanaman 10.573 pohon jati di enam lokasi bukit karst di Kecamatan Panggang.

Budidaya ikan

Seusai meninggalkan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Ibnu sempat bekerja di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Di tempat itu dia berjumpa dengan Warinah, seorang perawat, yang kemudian menjadi istrinya.

Tahun 1972 ia memutuskan tinggal di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Di tempat ini, selain bekerja sebagai petani, Ibnu juga mendalami agama dan menjadi panutan warga setempat.

Berawal dari keprihatinan karena sulitnya mencari air, terutama saat musim kemarau, Ibnu mulai mengajak warga membangun masjid pada tahun 1984, dengan penampungan air hujan tepat di bawah bangunan masjid. Selain berguna bagi pemenuhan kebutuhan warga, air tersebut ternyata juga menyejukkan suasana di dalam masjid.

Melihat manfaat air di penampungan masjid, Ibnu kembali mengerahkan warga untuk membuat kolam besar dengan daya tampung 3.000 meter kubik, yang kini bisa mencukupi kebutuhan 17 keluarga selama musim kering.

Dari uji laboratorium teknik lingkungan yang dilakukan Universitas Gadjah Mada, air tampungan itu layak minum setelah direbus.

”Pembuatan bak tampungan air hujan secara massal yang ditanam di bawah tanah ini paling tepat untuk daerah kering seperti Gunung Kidul. Bak penampung air hujan milik pribadi biasanya mudah jebol dan mahal,” ujarnya.

Sebagian dari kolam dengan bentuk bersusun itu juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan dan tanaman hias. Ikan dipanen untuk kebutuhan warga sekitar, sedangkan tanaman hias dipasarkan hingga ke pasar swalayan.

Pembuatan bak penampungan air bawah tanah tersebut juga mulai ditiru oleh beberapa kelompok jemaah masjid di beberapa kecamatan di Gunung Kidul, seperti Tepus, Wonosari, dan Paliyan.

Ibnu memang berharap penghijauan lahan karst dan pembuatan bak tampungan hujan itu bisa dan mau ditiru oleh warga di dusun lain. Sebab, manfaatnya memang sangat terasa.

Selain itu, pembuatan terasering dan penanaman pohon jati juga tidak membutuhkan perawatan rumit. Hanya butuh kemauan warga untuk mengubah lahan kritis menjadi lahan produktif. Di samping bermanfaat secara ekonomis, pembuatan terasering juga terbukti bisa mencegah erosi.

Tingginya kepeduliannya terhadap lingkungan mengantar Ibnu meraih juara pertama sebagai perintis lingkungan hidup untuk tingkat Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu, dia juga terpilih sebagai juara pertama perintis lingkungan hidup tingkat Provinsi DI Yogyakarta. MAWAR KUSUMA



Post Date : 30 Mei 2008