Indonesia Siap Dorong Kelanjutan Protokol Kyoto

Sumber:Kompas - 14 November 2012
Kategori:Climate
Jakarta, Kompas - Konferensi Perubahan Iklim PBB COP-18 di Doha, Qatar, akan menjadi ajang negosiasi alot untuk memastikan kelanjutan Protokol Kyoto. Indonesia bersama Putaran Kartagena siap menjadi penengah pada negosiasi yang sering kali berlarut itu.
 
Pada Konferensi Pertemuan Para Pihak ke-18 (COP-18) diharapkan muncul komitmen negara-negara maju melanjutkan rezim perubahan iklim Protokol Kyoto periode kedua. Protokol Kyoto berisi komitmen negara-negara maju untuk menurunkan gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Periode pertama Protokol Kyoto selesai akhir 2012.
 
Pertemuan di Doha juga akan membahas pendanaan sesuai janji negara-negara maju yang ditetapkan di COP-15 di Kopenhagen, Denmark, 2010. Negara maju berjanji mengumpulkan dana perubahan iklim hingga 100 miliar dollar AS (Rp 950 triliun, kurs Rp 9.500 per 1 dollar AS) per tahun hingga tahun 2020.

Semua belum jelas
 
Kepada wartawan, Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim sekaligus Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Rachmat Witoelar mengatakan, semua hal yang bakal dibahas belum jelas hasilnya.
 
Sementara tentang Protokol Kyoto periode kedua, ”Indonesia bersama negara-negara yang tergabung dalam Cartagena Round akan mencari jalan tengah dari proses perundingan. Kami akan membujuk negara-negara maju agar memenuhi janji mereka mengurangi emisi melalui rezim Protokol Kyoto,” ujar Rachmat, Selasa (13/11).
 
Untuk periode kedua Protokol Kyoto, kelompok negara maju meminta seluruh negara, maju maupun berkembang, terlibat menurunkan emisi. Ini menjadi perdebatan bertahun-tahun.
 
Perdebatan lainnya ialah kapan protokol kedua berakhir. Sebagian menyatakan 8 tahun hingga tahun 2020, sedangkan yang lain meminta hanya 5 tahun. Tahun 2020 sudah disepakati dalam Durban Platform, akan dibuat rezim baru menanggulangi perubahan iklim.
 
”Kalau hanya lima tahun akan ada gap selama tiga tahun sebelum tahun 2020,” ujar Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Moekti Soejachmoen. Indonesia memandang 8 tahun lebih realistis.
 
Koordinator negosiator Taswin Hanif mengatakan, jika penurunan emisi GRK hanya oleh negara maju, tidak akan cukup untuk menahan laju perubahan iklim yang membutuhkan penurunan 25-40 persen GRK dibandingkan level emisi tahun 1990.
 
”Penurunan total hanya 17 persen dari negara-negara maju tersebut,” kata Taswin. Negara-negara maju yang enggan berkomitmen masih negara-negara yang sama sejak Protokol Kyoto periode satu antara lain AS, Jepang, Rusia, dan Selandia Baru. Tanpa negara-negara maju itu, penurunannya tak berarti.
 
Sementara itu, pembahasan dalam bidang mitigasi mencakup penetapan pelaporan dua tahunan dari negara maju dan inventarisasi GRK. Di bidang adaptasi, negara berkembang diwajibkan membuat Rencana Aksi Nasional Adaptasi. Untuk adaptasi, negara berkembang butuh bantuan dana, penguatan kapasitas, dan transfer teknologi. (ISW)


Post Date : 14 November 2012