Kegigihan Pengais Rezeki di Tumpukan Sampah Tsunami

Sumber:Aceh Kita.Com - 06 Mei 2005
Kategori:Aceh
Puluhan orang tampak tekun memilih kayu, batu, plastik dan besi. Lalu, barang itu dipisahkan dari tumpukan sampah yang menggunung. Rabu (4/5) siang. Terik mentari yang membakar badan, tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus mengumpulkan barang bekas peninggalan tsunami itu. Sepelemparan batu dari mereka, beberapa buldoser dan eksafator tampak mengais sampah yang baru saja diturunkan dari truk. Dengan tangan besinya, alat berat itu seakan mengarahkan pekerja. Satu per satu puing tsunami yang masih bisa digunakan dipisahkan oleh pekerja sesuai instruksi yang mereka dapatkan sebelumnya.

Pemandangan itu terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA) Kampung Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. United Nations Development Programme (UNDP) di Aceh yang bekerjasama dengan Dinas Kebersihan Aceh menyulap TPA Kampung Jawa, sebagai tempat daur ulang sampah tsunami.

Kita lakukan pengumpulan dan daur ulang di sini, sebut Imogen Wall, staf pers dan informasi UNDP kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Menurutnya, sampah yang didaur ulang itu nantinya bisa digunakan kembali dalam rekonstruksi Aceh. Imogen menyebutkan, mereka mempekerjakan sekitar 250 tenaga kerja korban tsunami untuk mengumpulkan sampah tsunami. Selain daur ulang, UNDP juga punya program pembersihan lahan yang mempekerjakan kaum kecil. Setidaknya, lembaga PBB ini mempunyai target akan merekrut sekitar 3.000 tenaga kerja untuk membersihkan sawah, sungai dan permukiman.

Tak ada kaum profesional, semisal insinyur dan dokter, di sana. Karena, memang pekerjaan ini bukan untuk mereka yang berbaju dan berpenampilan necis. Pekerja di sana adalah kaum kecil, yang dulunya nelayan, petani, penarik becak, pedagang asongan dan bahkan mahasiswa yang kehilangan orangtuanya.

***

Di atas tumpukan sampah menggunung, seorang pemuda tampak tekun memilih kayu-kayu bekas tsunami. Tubuhnya kekar. Tak jelas guratan wajahnya, karena terhalang sebo yang hanya menampakkan hidung dan sepasang matanya.

Anton, begitu nama pemuda berusia 22 tahun itu. Nada bicaranya, sopan dan teratur. Saya ambil non-aktif satu tahun untuk mencari uang, kata Anton, saat berbincang dengan acehkita, Rabu (4/5).

Ternyata, Anton adalah mahasiswa semester lima di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Dia terpaksa meninggalkan bangku kuliah karena keterbatasan biaya. Apalagi, bisa dibilang kini dia hanya sebatang kara.

Humbalang tsunami yang menggada Aceh telah merenggut nyawa kedua orangtuanya. Rumahnya di Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, hanya tersisa lantai. Kendati IAIN membebaskan biaya SPP bagi mahasiswanya korban tsunami, tapi Anton memilih meninggalkan tempatnya menggantung asa untuk meraih masa depan.

Kan kuliah bukan hanya SPP. Kalau saya tidak bekerja, dari mana saya dapat uang untuk makan, katanya. Sebelum tsunami, Anton sering melaut bersama orangtuanya.

Sebelum bergabung dalam proyek UNDP, Anton telah lebih dulu menekuni profesi memulung besi bekas. Itu pun kadang-kadang saja, sambilan untuk makan. Kalau tidak ya, menunggu bantuan, akunya.

Di proyek daur ulang sampah tsunami, Anton bekerja dari pukul 08.30 hingga 17.00 WIB dengan bayaran Rp 35.000 per hari, yang diterima setiap setelah selesai bekerja pada sore harinya.

Pekerjaannya memang tak sulit, tapi membutuhkan tenaga fisik yang kuat. Mereka hanya memilah sampah tsunami dan mengumpulkan berdasarkan jenisnya. Pekerjaan ini sangat membantu Anton dan korban tsunami lainnya. Lumayanlah, bisa saya tabung untuk kuliah lagi nanti, sebutnya.

Anton tidak sendiri. Setidaknya ada 249 orang yang senasib dengannya. Rusdi (25) juga mengaku demikian. Warga Desa Keudah, Banda Aceh, itu juga jauh-jauh hari telah kehilangan pekerjaannya sebagai penjual asongan di sebuah kios. Kios dan rumah orangtua saya hancur, sebutnya.

Pemuda yang hanya sempat menamatkan pendidikan hingga jenjang sekolah menengah umum (SMU) itu, mengaku sulit mendapatkan lapangan pekerjaan. Apalagi, dia tidak punya keahlian khusus. Karenanya, begitu mendengar UNDP buka program daur ulang sampah tsunami, Rusdi langsung mendaftarkan diri. Untuk mencari modal biar bisa membuka kios kembali kalau sudah normal nanti, katanya.

Saat bekerja mengais tumpukan sampah itu, Rusdi mengaku sering mendapatkan uang dan emas dari dompet maupun tas yang tertimbun. Bahkan, nominalnya hingga jutaan. Jika mendapatkan rezeki nomplok ini, Rusdi mengaku membagi-bagikan sesama pekerja. Setelah sebagian kami sedekahkan, kata dia.

Tak hanya uang dan emas yang sering mereka dapatkan. Rusdi juga mengaku sering mendapati rangka korban tsunami yang ikut tertimbun sampah. Jika sudah demikian, mereka langsung menguburkan rangka-rangka itu secara Islami.

Sulitnya lahan pekerjaan bagi orang kecil memang sangat terasa pascatsunami. Sedikit beruntung beberapa lembaga punya program yang bisa membuat mereka bekerja kembali, sehingga warga tidak hanya bergantung pada bantuan.

Tidak hanya program daur ulang sampah tsunami yang bisa dikerjakan kaum kecil ini. Beberapa waktu lalu Ismail, warga Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, terlihat jungkir balik menaman pohon bakau di pinggir pantai. Penanaman 20 ribu batang bakau itu disponsori Oxfam Great Britanian Inggris. Ismail bekerja bersama 20 rekannya. Penghasilan yang bisa diraih, tigapuluh ribu sehari, kata Ismail kepada acehkita.

Tentu, penghasilan ini tidak mencukupi untuk membiayai makan istri dan satu anaknya. Namun, ia bersyukur bisa mendapat sedikitnya rezeki. Kalau kita ma uterus berusaha, pasti ada rezeki, katanya.

Ismail mengakui pekerjaan itu baru saja didapatnya beberapa hari yang lalu, setelah tsunami dia kehilangan pekerjaannya sebagai nelayan. Ini pun hanya lima hari, setelah habis menanam ini, saya akan kehilangan pekerjaan lagi dan terpaksa mengharap bantuan lagi, sebutnya. [dzie]

Post Date : 06 Mei 2005