Koboi Karbon Membidik REDD

Sumber:Majalah Gatra - 15 Desember 2010
Kategori:Climate

Banyak skema perdagangan karbon yang mandek. Perangkat hukum masih lemah. Indonesia dinilai sangat potensial karena kaya akan hutan. Tapi masih banyak hambatan yang menghadang.

Sambil menyelam minum air, sambil bersih-bersih lingkungan berdagang karbon. Begitulah agaknya tujuan Forum Carbon Asia (FCA) 2010 yang digelar di Singapura, 27-28 Oktober lalu. Forum ini adalah pertemuan rutin para pedagang dan konsultan yang bergerak dalam bidang jual-beli karbon, gas polutan yang selama ini dituding sebagai biang pemanasan global.

Dengan mekanisme tertentu yang direstui Protokol Kyoto, suatu negara atau perusahaan dapat menekan buangan emisi gas-gas polutan dengan cara bertransaksi karbon. Karena itu, pasar karbon pun berkembang. Setidaknya 120 perusahaan swasta dan pemerintah serta 120 pakar industri global ikut serta dalam FCA yang diikuti 1.200 peserta dari 50 negara itu. Jumlah ini meningkat 10% dari pertemuan pada tahun sebelumnya.

''Kami berkumpul untuk melihat dan membuat arah baru perdagangan karbon masa depan. Pertemuan ini juga menawarkan acuan dan mempertajam diskusi tentang masa depan iklim dunia,'' kata Presiden International EmissionsTrading Association (IETA), Henry Derwent, kepada Gatra. Selama ini, asosiasi pedagang karbon itu memang rajin mengasuh para anggotanya.

Bagi Derwent, pertemuan FCA kelima kali ini terasa lebih penting. Soalnya, dari 2.114 proyek mekanisme pembangunan bersih atau clean developmentmechanism (CDM) dunia, sebanyak 75% atau sekitar 1.875 progeny berada di Asia.

Selain itu, inilah untuk pertama kalinya FCA membahas secara detail tentang mekanisme REDD (reducing emissions from deforestation and degradation) alias mengurangi emisi dengan menahan laju deforestasi dan degradasi hutan. ''Walaupun ada perbedaan pendapat tentangbagaimana pasar REDD harus dikelola dan diukur, telah terjadi kesepakatan umum tentang perdagangan karbon melalui hutan,'' kata Derwent.

Nah, pada bagian inilah kawasan Asia akan berperan lebih banyak. Soalnya, kawasan hutan di belahan dunia lain telah menipis, kecuali di wilayah Asia. ''Inilah yang kemudian meningkatkan jumlah proyek REDD di negara-negara seperti Kanada, Indonesia, dan Malaysia,'' kata Derwent lagi.

Perkembangan ini, menurut CEO Sustainable Conservation, Agus P. Sari, memang memberikan peluang sangat besar bagi Indonesia. Sejauh ini, proyek CDM memang banyak dilaksanakan di Indonesia. Jumlahnya mencapai lebih dari 100 proyek. Namun banyak proyek itu ibarat buih-buih di pantai karena tidak terlaksana secara optimal.

''Kita memang banyak menghadapi masalah eksekusi atau tingkat pengawasan,'' tutur Agus. Padahal, dalam skema CDM, dua faktor itu sangat penting. ''Monitoring dan pelaksanaan yang baik itu memang sesuatu yang langka,'' kata Agus.

Selain itu, banyak juga pelaku pasar yang menilai skema CDM terlalu kaku. Tak hanya karena birokrasinya yang panjang, CDM juga tidak bisa memanfaatkan hutan yang ada. Karena itulah, REDD menjadi skema yang paling banyak dilirik pemain pasar karbon. Indonesia telah memiliki beragam proyek percontohan REDD yang boleh dikatakan berhasil, seperti di Taman Nasional Tanjung Putting atau di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (lihat: Alam atau Uang?).

Dalam kalkulasi Agus, Indonesia dapat menangguk untung. ''Bayangkan, kalau hutan kita bisa mengurangi emisi karbon 500 juta ton per tahun saja, dengan asumsi harga karbon US$ 5, ada sekitar US$ 2,5 milyar yang masuk. Dengan dana seperti itu. kita bisa membuat apa saja untuk kelestarian alam,'' ujar Agus.

Walau begitu, ini tak berarti terbentang jalan yang mulus. Menurut Agus, potensi pasar memang besar, tapi Indonesia harus belajar banyak dari negara lain dalam hal mengubah potensi ini menjadi kredit karbon yang layak. ''Jumlah kredit karbon yang kita terbitkan sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia, atau Filipina,'' kata Agus.

Apalagi, kondisi di lapangan berbicara lain. Menurut pantauan KKI-Warsi, sebuah LSM lingkungan, banyak proyek karbon yang masih kacau-balau. Misalnya saja, menurut Direktur KKI-Warsi, Rahmat Hidayat, broker karbon asal Australia, Global Carbon Strategic (GCS), telah berkerja sama dengan sejumlah daerah pada 2008-2009. Antara lain dengan Jambi, Sumatera Barat (Kabupaten Sawahlunto), Lampung, hingga Bengkulu (Kabupaten Rejang Lebong). Begitu juga di Kalimantan Barat (Kabupaten Sambas), Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Lebih detailnya, Rahmat menunjukkan nota kesepahaman (MoU) yang diteken Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin, dengan Ketua Eksekutif dan Direktur Manajemen GCS, Jeffrey Flood, pada 12 November 2008. Kawasan hutan yang diharapkan dapat menyerap karbon mencapai 200.000 hektare. Dalam perjanjian itu juga tertera bahwa hasil penjualan karbon berikut kandungan biodiversitasnya akan menjadi penghasilan negara dan masuk ke rekening Pemda Jambi.

Hanya saja, KKI-Warsi berani memastikan, proyek REDD itu sampai saat ini belum berjalan, karena banyak perangkat hukum yang belum kelar. Misalnya soal metodologi perhitungan jumlah karbon, kelembagaan pengelolaan dana, hingga perhitungan kebocoran yang mungkin terjadi. ''Lagi pula, di tingkat internasional, peraturan baku tentang REDD memang belum ada,'' kata Rahmat.

Walhasil, satu-satunya peraturan yang dapat dipegang adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 69, 30, dan 35, yang mengatur soal REDD. ''Tapi itu baru sebatas pembagian hasil,'' tutur Rahmat. Direktur Eksekutif Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific Institut Pertanian Bogor, Rizaldi Boer, mengakui bahwa kondisi yang ditemukan Warsi itu benar-benar terjadi. Jangankan REDD, proyek CDM saja belum ada satu pun yang berjalan dengan mulus.

Pada saat ini, menurut Rizaldi, banyak dana internasional yang disiapkan untuk membantu REDD. ''Namun proyek-proyek REDD yang dikembangkan sekarang ini sifatnya masih uji coba, dalam tahap persiapan,'' katanya kepada Haris Firdaus dariu Gatra. Faktor utama adalah penetapan perangkat hukum yang berjalan lambat.

Di samping itu, kata Rizaldi, masih banyak pemain pasar yang mengira proyek-proyek tersebut segera menghasilkan duit. ''Padahal, dana itu baru diterima jika proyek-proyek ini sudah kelihatan hasilnya atau dilaksanakan,'' katanya. Misalnya banyak proyek karbon yang mensyaratkan adanya penanam hutan kembali. ''Jadi, kalau kita tanam pohon rambutan, hasil dananya baru dapat diterima setelah rambutan itu berbuah,'' ujar Rizaldi.

Direktur Program Kehutanan The Nature Conservancy untuk Indonesia, Dicky Simorangkir, melihat hal yang sama. ''Saya bertemu banyak organisasi yang berusaha meyakinkan gubernur atau bupati untuk membuat program karbon. Tapi mereka datang tanpa konsep yang jelas dan hanya berpikir bagaimana mendapat untung dari program itu. Istilahnya, mereka ini koboi karbon,'' kata Dicky.

Masalah perangkat hukum yang lemah juga menjadi sorotan Konsultan PT Carbon Strategic Indonesia, Stefano Fan. Menurut Stefano, masalah terbesar pelaksanaan REDD adalah belum adanya institusi yang disebut Designated National Authority atau Badan Registrasi Nasional (BRN).

Lembaga itu bertugas mendaftar semua proyek perdagangan karbon yang menggunakan skema REDD. ''Tanpa lembaga ini di Indonesia, semua proyek karbon yang dicanangkan belum bisa berjalan,'' kata Stefano. Ia mengaku, pihaknya telah melayangkan surat kepada Departemen Kehutanan, menanyakan masalah ini. Jawabannya, pembentukan BRN masih harus menunggu hasil diskusi kalangan eselon I Departemen Kehutanan.

Alam atau Uang?

Hutan ini tak hanya berarti kelestarian alam, melainkan juga bisa disulap menjadi mesin penghasil uang. Bagaimana caranya? Lewat berbagai mekanisme perdagangan karbon. Itulah yang kini menjadi mode. Namun, menurut Direktur Program Kehutanan The Nature Conservancy (TNC) Indonesia, Dicky Simorangkir, banyak yang kebablasan. ''Orang sering lupa bahwa berbagai skema dagang karbon itu bagaimana mengurangi emisi polutan, bukan bagaimana mendapatkan uang semata,'' katanya kepada Gatra.

Dicky menyatakan, komitmen kelestarian alam dan mengurangi emisi harus menjadi hal utama dalam berdagang karbon. Karena itulah, menurut Dicky, TNC berusaha hati-hati melaksanakan proyek karbon. Salah satunya adalah memperhatikan proyek karbon sebagai suatu kesatuan dengan wilayah lainnya.

Jadi, program karbon harus dilaksanakan dalam satu unit hutan, bukan dalam suatu bentangan lahan atau lanskap. Jika itu hanya dalam suatu bentangan lahan, dampaknya kurang terasa. ''Kami tidak bisa mengelola lahan tanpa melihat lingkungan sekitarnya,'' kata Dicky.

Belajar dari pengalaman itu, TNC kemudian membuat program dalam skala distrik atau kabupaten. ''Kami menjalankan Berau Forest Carbon Program (BFCP) di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur,'' ujar Dicky. Kabupaten itu dipilih karena memiliki kawasan hutan yang masih cukup luas, yakni 75% dari total wilayahnya.

BFCP merupakan program karbon kehutanan yang dijalankan dengan skema REDD Plus yang dimulai sejak tiga tahun lalu. Pada 2015, proyek ini ditargetkan mencakup sekitar 800.000 hektare kawasan hutan. Target penurunan emisi program ini adalah 10 juta ton karbon dioksida selama lima tahun.

Dicky mengklaim, BFCP sudah lumayan cukup maju, antara lain karena telah dapat dihitung level acuan emisinya khusus di kawasan Berau. ''Tiga proyek percontohan REDD lainnya belum sampai pada taraf ini,'' kata Dicky.

Meskipun begitu, BFCP sebenarnya belum optimal. Berbagai perangkat hukum yang ada belum sempurna. Selain itu, kerangka keuangan REDD juga belum jelas. ''Artinya, jika proyek REDD ini nantinya bisa menghasilkan uang, belum jelas ke mana uang ini akan mengalir. Belum ada aturan mainnya, kan?'' katanya.

Walau begitu, menurut Dicky, sikap TNC sudah jelas, yakni hanya menjadi fasilitator. Jika warga Berau sudah dapat menjalankan BFCP secara mandiri, TNC akan menarik diri. Itu termasuk masalah duit. ''Katakanlah nanti ada perdagangan karbon, kami tidak akan mengambil satu dolar pun,'' ujarnya.

Henry Derwent: Zero Sum Game Perdagangan Karbon

Setelah Protokol Kyoto, Indonesia punya peluang besar untuk menangguk profit dari perdagangan karbon di sektor kehutanan. Ambisi pengurangan emisi harus ditingkatkan untuk menaikkan penawaran. Berikut wawancara Presiden International Emissions Trading Association, Henry Derwent, mengenai masalah itu dengan wartawan Gatra Mukhlison S. Widodo di sela-sela pertemuan Forum Carbon Asia (FCA) 2010 di Singapura.

Apa yang ingin dicapai pada FCA kali ini?

Acara ini menyatukan semua pihak yang tertarik dalam pengurangan emisi karbon yang diusahakan sektor swasta. Mereka adalah pembeli dan penjual yang selama tiga-empat tahun terakhir berhasil mengembangkan dan menjalankan proyek CDM. Konferensi ini memungkinkan penjual dan pembeli mendengar langsung dari pembuat kebijakan, misalnya pemerintah lokal maupun internasional. Harapannya, ini bisa memberikan definisi baru tentang masa depan pasar karbon.

Indonesia disebut memiliki potensi besar dalam pengurangan emisi karena kekayaan hutannya. Kira-kira apa yang bisa dilakukan dengan potensi ini?

Dalam proyek CDM, peluang soal memanfaatkan hutan ini memang belum diatur secara jelas. Karena itulah, mekanisme REDD menjadi bahan diskusi yang hangat. Diskusi mengenai rancangan mekanisme REDD telah berjalan cukup baik di PBB, meskipun sedikit melambat sejak setahun terakhir. Ini bukan karena kesulitan teknis atau masalah politik tertentu, melainkan karena negosiasi yang rumit dan banyaknya masalah yang harus diatasi. Kami memastikan, semua pihak bisa menerima aturan ini.

Ada anggapan, perdagangan karbon hanya menguntungkan negara maju dan menjadi akal-akalan untuk mengalihkan tanggung jawab dalam pemanasan global. Menurut Anda?

Saya pikir, itu pendapat yang salah. Dunia telah memutuskan bahwa pengurangan emisi harus dalam jumlah tertentu. Bukan lebih besar atau lebih kecil, melainkan dengan besaran tertentu. Besaran itu telah dibagi di antara negara-negara maju, sehingga mereka memiliki sejumlah pengurangan emisi tertentu yang harus dicapai.

Tak ada yang mengharuskan ini dilakukan di negeri sendiri atau di tanah orang lain. Dalam Protokol Kyoto, sebenarnya alasan mengapa hal itu bisa dilakukan karena pengurangan emisi bisa dibuat lebih murah di negara berkembang daripada negara maju melakukannya di dalam negeri.

Indonesia telah banyak melakukan perjanjian karbon, tapi sejauh ini transaksi yang terjadi belum optimal. Pendapat Anda?

Mengapa ada orang berinvestasi? Karena tertarik pada peluang dan pilihan yang ada. Seseorang atau suatu pihak siap melakukan pembelian karena ini cara murah untuk melaksanakan kewajiban mereka daripada melakukan hal lain. Di sisi lain, jika Anda tidak bisa menjamin apa yang Anda jual dan tidak bisa diterima pembeli Anda, maka tidak akan ada transaksi.

Selain itu, investasi yang dibuat untuk kehutanan didorong oleh uang publik, dan ini melahirkan beberapa jenis investasi besar dalam proyek REDD Indonesia, tapi itu tidak komersial. Ada beberapa transaksi komersial dalam bidang kehutanan melalui pasar sukarela, karena ada orang yang tidak berkewajiban membeli pengurangan emisi proyek yang disertifikasi CDM.

Dalam hal ini, bagaimana Anda menilai prospek Indonesia?

Indonesia memiliki catatan cukup baik dalam proyek CDM. Ada sekitar 150 proyek di Indonesia. Menariknya, tidak satu pun terjun di bidang energi terbarukan dan tidak satu pun dari mereka berkiprah di bidang kehutanan, karena memang metodologi CDM di kehutanan sangat sedikit. Tanpa itu pun, terdapat banyak proyek di Indonesia, meski tidak sebanding dengan negara-negara seperti Cina dan India.

Ada beberapa proyek di tingkat daerah seperti biomassa serta pemanfaatan limbah domestik dan industri. Ada juga lima proyek panas bumi di Indonesia, yang saya pikir juga sangat penting untuk masa depan. Jadi, Indonesia punya pontensi besar dalam hal pemanfaatan hutan bila sudah ada mekanismenya dalam CDM. Masalah yang akan dihadapi adalah memastikan adanya permintaan, terutama dari negara-negara maju.

Jadi, kira-kira apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan permintaan?

Sangat sulit bagi Indonesia atau negara lain bertindak sendiri untuk meningkatkan permintaan. Pada saat ini, mekanismenya adalah zero sum game. Anda bisa meningkatkan jumlah permintaan, tapi yang ada di dunia ini adalah bisnis pencitraan yang dinilai dari komitmen pengurangan emisi yang direncanakan. Nur Hidayat, Jogi Sirait (Jambi), dan Mukhlison S. Widodo (Singapura)



Post Date : 15 Desember 2010