Krisis Air Tanah di Jakarta

Sumber:Kompas - 24 Januari 2001
Kategori:Air Minum
BARU 50 persen warga Jakarta Utara menikmati air dari Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Sisanya, walau sudah menggunakan air ledeng, mereka masih membeli per kaleng. Sejumlah warga di Jakarta Utara malah tidak mungkin menggunakan air sumur karena kawasan mereka telah terintrusi air laut.

Menurut Wali Kotamadya Jakarta Utara, sebenarnya sempat berpikir untuk membuat sumur artesis. Namun, dalam 10 tahun terakhir ini penurunan tanah di wilayah itu sudah mencapai 80 sentimeter. Memaksakan diri membuat sumur artesis malah akan lebih membahayakan lingkungan.

Krisis air bersih di Jakarta Utara dan Jakarta pada umumnya, jelas akan makin mempersulit kehidupan warga masyarakat miskin. Survei dari Bank Dunia yang berlabel Livable Cities for the 21st Century menunjukkan, untuk mendapatkan akses pelayanan air bersih, penduduk miskin di Jakarta harus membayar 20 kali lebih mahal dibandingkan penduduk yang kaya.

Sementara sumber air bersih Jakarta berupa 13 anak sungai, ramai-ramai diracuni warganya sendiri! Pengelola pabrik hingga rumah tangga, semuanya menganggap sungai-anugerah Tuhan yang mahal harganya-itu sebagai "bak sampah raksasa". Alangkah indahnya jika sungai yang mengalir membelah Kota Jakarta itu dijaga kebersihannya, mulai dari unit individu, rumah tangga, hingga pengusaha besar, untuk kemudian sama-sama diminum dan dimanfaatkan untuk peradaban.

Sementara pada sisi lain, air tanah yang menjadi alternatif sumber kehidupan warga kota, tidak dapat diusahakan maksimal akibat penurunan tanah yang sudah di luar ambang batas.

Oleh karenanya, kehidupan warga Ibu Kota penuh ironi. Di satu sisi Departemen Kesehatan rela mengeluarkan dana jutaan dollar untuk menyehatkan masyarakat, misalnya lewat program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), program gizi sekolah, serta program kesehatan masyarakat lainnya. Pada sisi lain, warga Jakarta "dibunuh" pelan-pelan lewat racun yang terdapat di aliran sungai yang notabene menjadi sumber air PAM!

Menurut Sutrisno (1987), pada tahun 1880 komunitas penduduk Batavia (kini Jakarta) hanya ratusan ribu orang. Pada saat itu, kebutuhan air minum cukup disediakan 10 buah sumur artesis. Semua sumur itu mengalirkan sendiri air tanah (free flowing), tanpa dipompa sekalipun. Hal ini terjadi karena muka air tanah berada di atas permukaan tanah sekitar 8-10 meter dari daerah Tanjung Priok.

Sistem cekungan air tanah Jakarta berdasarkan kondisi hidrogeologi dan hidrolika air tanahnya, dibatasi oleh Teluk Jakarta di bagian utara, bagian barat oleh Kali Cisadane, bagian timur oleh Kali Bekasi dan Kali Cikeas. Air tanah dalam sistem cekungan itu tersimpan dalam akuifer (lapisan pembawa air) berlapis banyak, yang dibagi dalam enam zona, yakni kedalaman antara: 0-40 m, 40-100 m, 100-150 m, 150-200 m, 200-250 m, dan seterusnya.

Namun akibat ulah manusia, terutama gencarnya pemompaan air tanah, terjadi perubahan drastis terhadap kondisi air tanah tersebut. Daerah yang terpengaruh akibat pemompaan air berlebihan dan menyebabkan penurunan air tanah, antara lain daerah Cengkareng, Kuningan, Grogol, dan Pulogadung.

Akibat padatnya aktivitas warga Jakarta yang tidak lagi memperhatikan lingkungan, kini muka air tanah makin dalam di bawah muka air tanah dangkal. Hal ini menyebabkan imbuhan air tanah dangkal ke dalam sistem akuifer air tanah dalam, lewat bocoran ke bawah. Wajar pula jika sistem cekungan air tanah dalam di Jakarta, menjadi daerah imbuhan air tanah dangkal. Padahal orang juga paham, kondisi air tanah dangkal di Jakarta sudah amat tercemar berbagai zat kimia berbahaya seperti timbal, seng, amoniak, chloroform, dan sebagainya. Dengan demikian, kondisi air tanah dalam juga terancam pencemaran lewat "bocoran" tersebut, di samping intrusi air laut.

Singkatnya, warga Jakarta secara umum dipaksa minum air yang tercemar racun! Sekitar 20 tahun lalu saja, ketika kondisi lingkungan hidup di Jakarta masih "lumayan", Jakarta telah mengalami "defisit" air tanah sekitar 30 juta m3 per tahun, karena pengambilan air tanah pada waktu itu diperkirakan 47,3 juta m3 per tahun.

Sketsa singkat di atas mengantarkan kepada pemahaman, betapa kritisnya persediaan air bersih yang disediakan oleh alam. Pemerintah daerah mestinya berpikir keras. Sebenarnya, kalau hukum ditegakkan, anugerah Tuhan yang berupa sungai-sungai yang mengalir membelah kota ini dapat dijaga kebersihannya bersama-sama, toh nantinya juga digunakan untuk kehidupan bersama juga.

Repotnya, sadar atau tidak, warga Jakarta sudah "sepakat" untuk menggali kubur bersama-sama dengan jalan meracuni sungai-sungai tersebut secara beramai-ramai!

Di samping itu, jika sungai dapat dijaga kebersihannya, dan dapat digunakan untuk kehidupan bersama, maka penggunaan air tanah dalam dapat ditekan seminimal mungkin, sesuai kebutuhan. Demikian pula rencana tata kota yang berorientasi kepada keseimbangan lingkungan hidup, dibuat untuk ditaati bersama-sama, dan bukan hanya menjadi "macan kertas" belaka.

Sialnya lagi, penentu kebijakan di Jakarta juga sudah "sepakat", bahwa kepentingan jangka pendek lebih diutamakan, terutama jika hal itu menguntungkan kantung pribadinya. Misalnya, tata ruang kota yang sudah direncanakan dengan makan pikiran, tenaga, biaya yang besar, dikhianati para pejabatnya, sebagaimana mudahnya rencana tata kota diganti tanpa keikutsertaan warga masyarakat, ataupun tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pembangunan kota akhirnya terkesan "liar".

Kini fakta sudah terbentang di pelupuk mata, Jakarta sudah mengalami krisis air bersih. Jika hal ini tidak dipikirkan sejak dini, dapat dipastikan kualitas kehidupan warga Ibu Kota tercinta ini bakal terganggu.

Saratri Wilonoyudho MSi, dosen planologi Universitas Negeri Semarang



Post Date : 24 Januari 2001