MCK Plus Kampung Bustaman

Sumber:Suara Merdeka - 07 Juli 2006
Kategori:Sanitasi
PENYEDIAAN fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) yang representatif bukanlah persoalan sederhana bagi kota sebesar Semarang. Penduduk yang padat, lahan yang semakin sempit, dan ketersediaan air bersih merupakan hal-hal yang bisa menjadi kendala untuk pengadaannya.

Persoalan itu pula yang selama ini menimpa warga Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah. Kampung padat penduduk itu terletak tak jauh dari Pasar Johar.

Bayangkan, kampung seluas sekitar 5 hektare itu dihuni 330 keluarga dengan jumlah jiwa hampir 1.000 orang. Dari jumlah itu, hanya 55% yang memiliki jamban sendiri.

Ketua RW 3 Kampung Bustaman Wahyono mengungkapkan, MCK umum di kampung leluhur Raden Saleh itu merupakan renovasi dari peninggalan Belanda. Bangunan itu memiliki delapan ruang, terdiri atas empat WC dan empat kamar mandi. Semula ketika kampung belum begitu padat, tidak banyak persoalan yang dihadapi. Namun seiring dengan perkembangan waktu, kampung itu semakin padat dan jumlah penduduk yang buang air besar (BAB) pun semakin banyak.

''Akibatnya, kalau pagi sering terjadi antrean,'' ujar pria berusia 57 tahun itu.

Karena tak sabar mengantre, tak jarang warga memilih BAB di MCK umum kampung lain atau ke sungai. Aktivitas yang disebut belakangan itu membuat sungai tercemar.

Sanimas

Untuk mengatasi itu, Pemkot bekerja sama Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan Decentralized Wastewater Treatment System (LPTP-Dewats) dan Bremen Overseas and Development Association (Borda) -LSM asal Jerman- membangun MCK plus. Pembangunan dengan konsep Sanitasi oleh Masyarakat (Sanimas) itu dilakukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sanimas Pangrukti Luhur.

Belum lama ini, Wakil Wali Kota Mahfudz Ali meresmikan MCK plus yang memiliki fasilitas toilet dengan 6 WC, 4 kamar mandi, dan 1 tempat cuci. Selain itu juga dilengkapi instalasi pengolahan air limbah (IPAL) serta kolam ikan.

''Saya berpikir, bagaimana MCK dapat didayagunakan. Ternyata setelah melalui proses kimia dengan teknologi canggih dapat menghasilkan biogas untuk memasak makanan,'' ujar Mahfudz.

Di tempat itu tersedia nilai plus. Limbah organik yang dibuang warga langsung diproses menjadi biogas. MCK itu menggunakan sistem pengolahan anaerobik yang terdiri atas bioregister sebagai bak penampung, septictank sebagai bak sedimentasi, reaktor baffle untuk menurunkan Chemical Oxygen Demand (COD) hingga 80%, serta unaerobic filter sebagai tempat tinggal dan berkembangnya bakteri anaerob.

''Hasil biogas itu kini sudah dimanfaatkan untuk memasak namun masih terbatas di lingkungan MCK. Ke depan, rencananya kami salurkan dengan selang-selang ke rumah-rumah warga,'' ungkap Wahyono yang menerima tugas sebagai pengelola MCK plus itu. (Achiar M Permana-62j)

Post Date : 07 Juli 2006