Membangun Kemandirian Lewat Biogas

Sumber:Kompas - 06 November 2008
Kategori:Umum

Sarujo (26) mengambil seember kotoran sapi dari kandang lalu mencampur dengan air. Campuran kotoran itu dimasukkan ke pipa berdiameter 12 inci panjang 6 meter. Pipa ukuran besar tersebut disambungkan ke kantong plastik. Dari kantong itulah, keluar gas yang membuat kompor Sarujo menyala.

Sarujo adalah salah seorang warga di Dusun Banyakan II, Sitimulyo, Piyungan, Bantul. Masih ada 23 keluarga lain yang menggunakan energi biogas untuk kegiatan masak sehari-hari mereka. "Sudah dua bulan ini saya pakai biogas, dan hasilnya memuaskan. Panasnya seperti pada gas elpiji pada umumnya," papar Sarujo, Selasa (4/11).

Sebelumnya, ia menggunakan kompor minyak tanah. Dalam sehari, ia menghabiskan satu liter seharga Rp 4.500. Kini ia tak perlu lagi merogok kantong guna membeli minyak tanah. Sarujo tinggal mengambil kotoran lalu mengolah jadi biogas.

Pada investasi awal, Sarujo harus mengeluarkan dana sekitar Rp 3 juta untuk membeli berbagai peralatan seperti pipa besar, tungku kompor, keran, dan pipa kecil. "Investasi awalnya memang mahal tetapi manfaatnya bisa dirasakan cukup lama karena peralatan tersebut sifatnya tahan lama," ujarnya.

Biogas berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan yang kemudian diolah melalui proses anaerobik atau fermentasi.

Sejak harga minyak mentah dunia terus melambung, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak. Salah satu sumber energi alternatif adalah biogas.

Ketertarikan masyarakat terhadap biogas berawal dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Dalam KKN tersebut, para mahasiswa berusaha memperkenalkan energi alternatif biogas. Saat itu, warga tidak langsung tertarik karena masih menganggap biogas sesuatu yang aneh.

Menurut Kepala Desa Sitimulyo, Kadarisman, setelah melakukan pendekatan tiga kali, konsep biogas baru bisa diterima warga. "Tidak semua warga bisa menerima, sebagian tetap saja tidak peduli. Mereka berpikir ngapain harus repot-repot membuat biogas kalau minyak tanah dan gas elpiji masih mudah didapatkan," tuturnya.

Penolakan warga bukan saja karena suplai bahan bakar masih melimpah melainkan juga kekhawatiran bahwa hasil masakan akan berbau kotoran. Padahal, kekhawatiran tersebut tidak terbukti karena gas yang dihasilkan sama sekali tidak berbau.

Desa Sitimulyo dihuni sekitar 3.500 kepala keluarga (KK). Bila rata-rata setiap KK menggunakan 1 liter minyak tanah per hari, biaya yang bisa dihemat mencapai Rp 15,75 juta per hari. Angka yang cukup fantastis. Bukan saja berhemat, tetapi mereka juga tidak perlu repot dengan kelangkaan minyak tanah dan gas elpiji yang mengancam setiap saat. Sayangnya baru 24 KK yang menggunakannya.

Kadarisman mengemukakan, pihaknya akan terus berupaya agar pemakaian biogas terus meluas. Ia menilai, potensi kotoran ternak di desanya cukup tinggi karena sebagian besar warga memelihara ternak. "Selama ini, ternak hanya dimanfaatkan untuk pupuk saja. Itu pun hanya sebagian warga saja karena petani lebih memilih menggunakan pupuk kimia karena lebih praktis," katanya.

Untuk memasyarakatkan teknologi biogas, memang butuh waktu lama. Tak hanya sekadar sosialisasi, tetapi menyangkut perubahan paradigma masyarakat. Karenanya butuh keterlibatan banyak pihak. Eny Prihtiyani



Post Date : 06 November 2008