Mengembalikan Hijau Jakarta

Sumber:Majalah Tempo - 22 - 28 Oktober 2007
Kategori:Drainase
Jakarta sedang melakukan bunuh diri ekologi, demikian kata para ahli lingkungan. Kualitas lingkungan di ibu kota Republik Indonesia ini begitu buruk. Badan Kesehatan Dunia, WHO, pada 2006 menempatkan Jakarta sebagai kota ketiga terpolutif di dunia setelah Kota Meksiko dan Bangkok. Dalam setahun hidup di Jakarta, hanya 22 hari kita menikmati udara bersih, 223 hari udara sedang, 95 menghirup udara tak sehat, dan 4 hari sangat tidak sehat. Saat banjir besar Februari lalu, sekitar 60 persen wilayah kota kebanjiran. Di musim kemarau, Jakarta kekeringan. Permukaan tanah turun 2-8 sentimeter per tahun. Intrusi air laut sudah menjangkau kawasan Monas.

Penyebab terbesar dari kemerosotan kualitas lingkungan Jakarta adalah makin menurunnya luas ruang terbuka hijau. Tak hanya menjadi paru-paru kota, ruang hijau adalah buffer dari hantaman kerusakan lingkungan. Ini sungguh disayangkan, karena Jakarta pernah punya rencana tata kota yang sangat pro-lingkungan: Rentjana Induk Djakarta 1965-1985, yang sekaligus masterplan pertama kota ini. Di dalamnya ada konsep greenbelt yang merupakan bagian dari ruang terbuka hijau, seluas 37,2 persen dari luas kota. Kini ruang terbuka hijau tinggal sekitar 10 persen saja.

Di awal masa kerja Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Tempo menurunkan laporan tentang tata kota Jakarta dan ruang terbuka hijau. Inilah saatnya untuk tidak menambah kemerosotan kualitas lingkungan. Contohlah Chaerudin, warga Kali Pesanggrahan, dan Abdul Khodir di Condet yang telah menikmati secuil lahan hijau di Jakarta.

MAU berteduh di Senayan pada siang terik? Tak ada pilihan lain, cepatlah masuk ke salah satu pusat belanja di kawasan Jakarta Pusat itu. Suasananya adem dan nikmatilah sejuknya pendingin ruangan yang digerakkan ribuan watt tenaga listrik. Kawasan Senayan sendiri hampir tidak menawarkan lebih dari itu.

Di sepanjang Jalan Asia Afrika itu berdirilah sejumlah pohon beton de ngan lebatnya: Plaza Senayan, Sena yan City, Senayan Trade Centre, Gedung Panin Bank, Ratu Plaza dan Hotel Mulia. Selain itu, tampak tiang pancang pembangunan proyek monorel yang teronggokGubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyebutnya monu men tak bersejarah. Aneka proyek itu, di tambah dengan setting gelora api yang disangga patung Dwikora di bundaran ujung Jalan Sudirman, menegaskan bahwa Senayan bukan tempat untuk berteduh. Padahal dulu Senayan merupakan perkampungan sejuk, ujar Haji Saman, 65 tahun, warga asli yang masih tersisa di sana. Dia tinggal di Rawa Simprug, Kelurahan Grogol Selatan, seberang rel kereta api yang memisahkan wilayah Senayan.

Irwan Syafiie, 78 tahun, mantan ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, membenarkan perkataan Saman. Wilayah Senayan dulu merupakan perkampung an khas Betawi. Setiap kelompok pemukiman biasanya terdiri dari satu keluarga, dan batas tanahnya dikelilingi pohon nanas, tuturnya. Selain itu, dulu warga Senayan juga menanam buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi, ngadem di Senayan di masa lalu artinya berteduh di bawah rimbunnya pohon buah-buahan, bukan pohon beton.

Riwayat Senayan tak lepas dari penyelenggaraan Asian Games 1962. Presiden Soekarno memerintahkan pembebasan lahan 360 hektare untuk membangun gedung olahraga lengkap pada 1956. Menurut Wastu Pragantha Zhong, 73 tahun, staf perancangan Gelanggang Olahraga Bung Karno, semula fasilitas olahraga direncanakan dibangun di kawasan Sunter. Namun, karena akses jalan sulit, Senayan menjadi pilihan. Warga Betawi Senayan dibedol pindah ke Tebet, Jakarta Selatan.

Kawasan Gelora Senayan yang dibiayai Uni Soviet itu dirancang sebagai sebuah tempat olahraga yang lengkap dan adem. Senayan sekaligus menjadi dasar perencanaan pengembangan greenbelt atau sabuk hijau dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Greenbelt sendi ri dimaksudkan menjadi ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai daerah resap an air dan paru-paru kota, yang bisa berbentuk pohon, situ atau danau, taman kota, hutan kota, dan jalur hijau, yang mengelilingi Jakarta seperti bentuk tapal kuda.

Menurut Nirwono Joga, lulusan Arsitektur Lanskap Universitas Trisakti Jakarta, Kompleks Gelora Bung Karno awalnya, pada 1962, bergabung dengan kompleks gedung DPR, sebagai paru-paru kota. Fungsi utamanya untuk olahraga. Artinya, pembangunan yang dimungkinkan adalah lapangan olahraga seperti sepak bola, sofbol, dan bukan mal. Sekarang, kalau kita perhatikan, ada Ratu Plaza, Plaza Senayan, Sena yan City, Hotel Mulia, dan lain-lain. Itu penyimpangan. Senayan itu sebenarnya diplot untuk greenbelt, ujarnya.

Seperti di Senayan, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, juga bertumbuhan bangunan beton. Sebuah papan bergambar unta dengan tulisan Mal Artha Gading terlihat menyeruak di antara berbagai macam billboard besar yang mengiklankan beragam toko. Mal itu tampak megah bila dilihat dari jalan layang Tanjung Priok. Tidak hanya bangunan, lahan parkir pun terbentang luas. Di sebelah utara mal terlihat tanah kosong dipagari seng bertulisan PT Indo Realty Tata Persada. Lahan itu tinggal tunggu waktu berganti rupa menjadi apartemen, mal, atau perumahan mewah yang banyak terdapat di wilayah tersebut.

Di sebelah timur, tampak kompleks perumahan elite Artha Gading Villa. Setiap rumah merupakan bangunan besar dengan arsitektur bergaya mo dern. Tak jauh dari sana ada Kompleks TNI Angkatan Laut (AL). Rumah hunian terlihat teratur, dengan jalan aspal dan bangunan yang tertata seperti real estate. Kawasan ini parah terendam air ketika banjir menerjang Jakarta, Februari lalu.

Menurut Irwan, sesepuh Betawi, dahulu Kelapa Gading adalah wilayah persawahan dan rawa yang membentang luas hingga Pulo Gadung. Disebut Pulo Gadung karena ada tanah tinggi yang menjulang seperti pulau, di antara persawahan dan rawa. Sawah di Kelapa Gading itu yang punya orang-orang Betawi yang tinggal di Sunter dan Cempaka Putih, katanya.

Irwan menyesalkan pembangunan di daerah Kelapa Gading. Itu kan wilayah resapan air. Gara-gara pembangunan dibuat asal-asalan dan tidak memperhatikan lingkungan, wilayah ini selalu menjadi langganan banjir setiap tahun, ujarnya. Ketika banjir, cacing-cacing pun keluar.

Nirwono sepakat dengan Irwan. Me nurut master lanskap kota lulusan Royal Melbourne Institute of Technology Australia ini, secara struktural daerah se perti Sunter dan Kelapa Gading merupakan wilayah resapan air. Seharusnya tidak ada bangunan. Andai ada, bangun annya pun dengan tiang pancang seperti rumah panggung, ujarnya.

Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta Sarwo Handayani mengakui ada penyimpangan di kawasan Kelapa Gading. Ketika pemerintah memberikan izin untuk daerah perumahan, harusnya dikendalikan juga persyaratannya. Yang saya tahu di Kelapa Gading itu ada kewajiban, developer membangun dam besar di daerah itu, katanya.

Sedangkan Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, Wiriatmoko, tak sepakat ada penyimpangan perencanaan di Kelapa Gading. Menurut arsitek lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu, perencanaan pembangunan di da erah tersebut sudah sesuai dengan peruntukannya. Banyak lahan yang belum dibangun, karena memang belum ada biayanya, bukan berarti lahan hijau lalu dikonversi, ujarnya.

Dalam masterplan DKI Jakarta pertama sejak Indonesia merdeka, yang disebut Rentjana Induk Djakarta 1965-1985, semua masalah krusial Ibu Kota sudah disebut. Pada urutan pertama adalah banjir; kemacetan lalu lintas; perumahan dan fasilitas kota lainnya; kebersihan; dan masalah tanah. Dalam masterplan itu juga sudah disebutkan buruknya tata perairan kota, mulai dari kali yang dangkal dan sistem drainase buruk.

Untuk melindungi alam Jakarta yang rawan banjir itulah, direncanakan konsep sabuk hijau yang berbentuk se perti tapal kuda. Greenbelt itu berupa ruang terbuka hijau 37,2 persen dari luas Jakarta. Sangat ideal. Di situ digambarkan ruang hijau di Jakarta akan me ngontrol pengendalian pembangunan kota. Artinya, masalah lingkungan akan bisa terkendali, ujar Nirwono.

Kawasan Gelora Bung Karno dan Monas adalah bagian dari sabuk hijau. Greenbelt juga berfungsi melin dungi jalan utama, Gatot Subroto, Ahmad Yani, hingga Cawang sampai Grogol, ujar Zhong, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung pada 1960.

Rencana Induk Jakarta 1965-1985 adalah buah karya sarjana perancang kota Indonesia. Ketika itu Piek Mul yadi, 77 tahun, arsitek lulusan ITB dan kawan-kawan, bersaing dengan Menteri Tjipta Karya, David Chang, menawarkan konsep rancangan Kota Jakarta kepada Soekarno. Chang, menteri Indonesia asal Hong Kong, menawarkan konsep kota penuh pencakar langit. Namun Bung Karno memilih rancangan sarjana Indonesia, yang menawarkan masterplan Jakarta hijau dengan Monas sebagai sentralnya.

Sayangnya, rencana awal yang sa ngat pro-lingkungan ini tidak diteruskan dalam masterplan berikutnya. Terbukti dalam Rencana Tata Ruang 1985-2005, target ruang terbuka hijau turun menjadi 25,85 persen. Bahkan dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah 2000-2010 target ruang terbuka hijau tinggal 13,94 persen. Di situ perubahan-perubahan tadi dimanipu lasi, dibenarkan, de ngan alasan pemutihan, kata Nirwono. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), kini ruang terbuka hijau yang benar-benar ada tak sampai 10 persen dari total luas Jakarta.

Memang, pertambahan penduduk kota dan pembangunan sering disebut sebagai alasan berkurangnya RTH. Menurut masterplan 1965-1985, penduduk Jakarta hanya ditargetkan sekitar enam juta jiwa, sedangkan pada 2010 sudah dua kali lipat. Namun pertambahan penduduk dan laju pembangunan sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan penurunan drastis ruang terbuka hijau. Ini karena yang menentukan wajah kota adalah para developer, kata Yori Antar, arsitek yang juga anggota Tim Penasihat Arsitektur Kota.

Seharusnya, menurut Yori, pemerintah Jakarta bisa berperan sebagai pengembang, seperti pemerintah Singapura. Jadi, pemerintahlah yang menentukan sebuah daerah dikembangkan menjadi apa, sesuai dengan perencanaan tata kota. Sehingga pemerintah bisa meminta swasta membangun ruang terbuka hijau bila dia hendak membangun di suatu tempat. Jadi, pembuat peraturan happy, pengusaha happy, kota juga happy, katanya.

Singapura contohnya, yang memulai masterplan pertamanya bersamaan dengan Jakarta, yaitu pada 1965. Untuk rencana tata kota yang sedang berjalan (hingga 2034), luas ruang terbuka hijau Singapura 19 persen dengan cadangan 39 persen. Namun Jakarta berkembang ke arah yang sebaliknya. Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 2006, memperingkatkan Jakarta sebagai kota ketiga paling polutif di dunia setelah Kota Meksiko dan Bangkok. Jadi, jika konsis ten perencanaan ruang terbuka hijau da ri awal, Jakarta tidak akan meng alami kerusakan lingkungan seperti se karang ini, ujar Darrundono, Ketua Ha rian Komite Evaluasi Lingkungan Kota.

Efek ketidakkonsistenan menerapkan masterplan yang pertama memang baru terasa setelah lima sampai 10 tahun. Kemerosotan kualitas lingkungan tidak pernah dihitung sebagai kerugian sosial dan kerugian masyarakat. Yang kita hitung selalu kerugian fisik, kalkulasinya selalu ekonomi, ujar Nirwono. Maksudnya, perkembangan kota tidak hanya dihitung secara fisikgedung, jalan, infrastrukturtapi juga tingkat kesehatan warganya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menetapkan 30 persen ruang kota digunakan sebagai ruang terbuka hijau, tidak hanya sekadar untuk resapan air, tapi juga untuk ruang publik, penghasil oksigen kota. Tentu dimaksudkan agar warga kota menjadi warga yang sehat. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pun menyadari benar soal kesehatan warga nya yang kini terancam. Karena polusi sudah mengepung Jakarta, yang kita butuhkan bukan sekadar hijau, kata nya kepada Tempo.Ahmad Taufik, Bayu Galih Wibisono



Post Date : 22 Oktober 2007