Menunggu Tenggelamnya Desa Dadap

Sumber:Suara Pembaruan - 06 Maret 2005
Kategori:Drainase
WARGA Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, mempersilakan jika ada investor membangun kawasan ini. Namun, warga berharap hendaknya kepentingan mereka, terutama masyarakat nelayan yang merupakan mayoritas warga Dadap, dapat dikedepankan.

"Silakan kalau mau membangun desa kami, namun hendaknya kepentingan masyarakat terutama nelayan tidak diabaikan," ujar Sutarno, warga RT 02/03 yang juga sesepuh Kampung Baru Gili, Desa Dadap, ketika ditemui Pembaruan, Rabu (23/2), di Desa Dadap, Kosambi.

Menurut Sutarno, kepentingan masyarakat nelayan yang utama adalah agar Kali Prancis Dadap, yang bermuara ke pantai utara dapat dikeruk dan disisi kanan kiri dapat pula dibangun tanggul. Karena lumpurnya sudah sangat meninggi.

Hal ini mengganggu nelayan untuk dapat keluar masuk Kali Prancis.

Pembangunan tanggul atau dam juga sangat diperlukan untuk mencegah abrasi yang terus melanda kawasan pantai utara Tangerang. "Kalau tidak segera di dam, hanya menunggu waktu tenggelamnya kampung kami," tegas Sutarno.

Tuntutan lainnya warga minta agar pemerintah ataupun pengusaha untuk ikut menata pemukiman warga perkampungan yang berada dipinggir kali. Karena selain menyulitkan kapal nelayan untuk bersandar juga menjadikan Kampung Gili menjadi kumuh. Nelayan juga minta agar pemerintah membangun tempat pelelangan ikan (TPI) di barat Dadap. "Tidak perlu luas yang penting cukup untuk nelayan disini," ujar Sutarno.

Usulan warga Dadap ini sebenarnya sudah lama disampaikan, tetapi tidak mendapat respon baik dari pemerintah maupun pengusaha. Persoalannya sebenarnya tidak rumit, asalkan kepentingan nelayan dikedepankan.

Dia menyayangkan sikap anggota Komisi VII DPR ketika bertemu dengan Bupati Ismet Iskandar di gedung DPR, yang terus mendesak agar bupati menghentikan reklamasi.

Sesepuh masyarakat Dadap lainnya, Mbing yang juga ketua HNSI Dadap mengaku bingung dengan maraknya pemberitaan di media massa yang selalu mengatasnamakan warga setempat yang menolak reklamasi.

Menurut Mbing, mereka tidak menolak pembangunan. "Sekarang, banyak yang mengatasnamakan kami warga sini. Sementara kami sendiri tidak tahu siapa mereka. Kalau orang sini pasti tidak akan bicara seperti di koran-koran yang menyebut menolak reklamasi," ujarnya mempertanyakan pemberitaan media massa yang memuat pernyataan sejumlah LSM dengan mengatasnamakan warga masyarakat Dadap.

Mbing, salah seorang dari 70 nelayan yang pertama kali mendiami wilayah Dadap mengaku mengetahui persis perkembangan Dadap dan abrasi yang terjadi di wilayah itu. Pada waktu itu, tahun 1975, dia bersama 70 nelayan lainnya tergusur dari kawasan Kali Muara Angke yang kini menjadi Perumahan Pluit. Mereka kemudian pindah ke Kali Ceng In di Dadap yang diambil dari nama penjaga pintu airnya waktu itu.

Kali Ceng In sendiri berada di bagian barat kawasan yang direklamasi. Namun, Kali Ceng In sekarang sudah menjadi daratan termasuk menjadi lahan Kantor Kepala Desa Dadap.

Masih menurut Mbing, pada tahun 1979 proyek Jakarta International Airport Cengkareng (JIAC) melakukan pembebasan lahan, termasuk lahan di tempat pemukiman mereka di alur Kali Ceng In untuk dijadikan tempat saluran pembuangan air pencegah banjir Bandara Soekarno-Hatta.

Para nelayan waktu itu menolak pindah dan minta bantuan HNSI untuk memperjuangkan nasib nelayan. Pihak JIAC kemudian menyetujui.

Sebagai gantinya, dibuat sodetan yang kemudian berubah menjadi Kali Dadap yang dikenal pula dengan Kali Prancis Dadap.

Dengan bertambahnya penduduk dan tidak adanya perawatan, Kali Ceng In kemudian ikut dangkal sehingga menjadi daratan seluas 3,5 ha. Lagi-lagi

Sementara sodetan Dadap yang juga disebut Kali Dadap juga mengalami hal yang sama karena pembangunannya tidak sempurna. Akibatnya pendangkalan makin cepat terjadi, termasuk pula ketika ada pengusaha yang melakukan pengurukan. Karena lumpurnya terdesak dan kembali masuk ke laut termasuk menghilangkan pohon api-api dan bakau di sekitar pantai.

Sementara itu, Amir Machmud, ketua RT 01/ 02 yang wilayahnya paling parah mengalami pendangkalan mengungkapkan, sejauh ini masyarakatnya tidak pernah melakukan upaya penghentian reklamasi. Sebaliknya, banyak warga berharap proyek pembangunan tetap berjalan namun melibatkan masyarakat.

Kepala Desa Dadap, Dames Taufik mengaku, sejauh ini belum ada masyarakat yang mengadu karena lingkungannya tercemar. "Saya tidak mengada-ada tetapi kenyataan seperti itu. Warga disini ok-ok saja kok," katanya.

Gonjang-ganjing soal reklamasi Pantai Dadap memunculkan berbagai pertanyaan dan pendapat di kalangan masyarakat Dadap. Ada yang merasa heran mengapa persoalan ini terlalu dibesar-besarkan.

Tetapi, ada juga yang bertanya mengapa Dadap tidak boleh dijadikan kawasan wisata. (132)

Post Date : 06 Maret 2005