Mereka Harus Merayapi Lorong Goa untuk Mendapatkan Air

Sumber:Kompas - 16 Februari 2011
Kategori:Air Minum

Magdalena Baun (46) bersama dua putrinya sedang dalam perjalanan mencari air minum saat ditemui di Kampung Taunesi, Desa Kuanheun, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat, awal Februari lalu.

Selain memikul ember, jeriken, dan bekas botol air mineral, mereka juga membawa dua obor buluh. Obor harus dibawa meski siang hari dan cuaca cerah karena sumber air andalan kampung yang berlokasi dalam kawasan industri Bolok itu berada jauh di dasar Goa Kongka. Kedalamannnya 60-70 meter di bawah tanah.

Perjalanan dari mulut goa hingga sumber air harus melewati lorong berliku, menurun terjal, pekat, dan licin. Siapa pun yang menerobos, selain harus membawa alat bantu penerangan, juga sangat dianjurkan berkaki telanjang agar tidak tergelincir.

Obor-obor itu baru dinyalakan di mulut goa. Bersama sejumlah warga lain, Magdalena dan dua anaknya itu bergantian menunjuk titik-titik lintasan yang seharusnya ditapaki agar tidak terpeleset dan jatuh. Nyala obor membuat dinding goa yang menghitam pekat terlihat agak jelas. Mereka pun berupaya tidak menyentuh dinding goa agar tak terkena jelaga obor yang bertahun-tahun menempel di dinding goa.

Warga Kampung Taunesi semuanya 14 keluarga, dan semua memiliki obor. ”Tanpa obor, warga akan sangat kesulitan menimba air di dasar goa itu,” kata Manase Baineu (49), tetua Kampung Taunesi. Itu karena hanya kolam air di dasar goa itulah satu-satunya sumber air bagi warga kampung ini.

Sulit dipastikan di mana hulu atau hilir kolam air di dasar goa bergaris tengah sekitar 3 meter itu. Airnya bening dan segar, tetapi tidak kedengaran riak sebagai pertanda ada aliran.

Di salah satu sudut goa terdapat sebuah benda tua mirip periuk tanah tertancap di atas karang. Oleh masyarakat setempat, periuk ukuran mini itu diyakini sebagai benda sakral yang mengalirkan air sepanjang tahun.

Sempat gantung obor

Seperti pemandangan umumnnya di Pulau Timor, di kawasan Desa Kuanheun berupa karang. Di musim kemarau, semak belukarnya menjadi layu dan kering. Gundukan karang hitam yang runcing dan tajam mencuat.

Meski jaraknya hanya sekitar 25 kilometer dari Kota Kupang, dinamika kota belum membias hingga Taunesi. Warganya belum menikmati listrik PLN. Kebutuhan air minum pun masih mengandalkan kolam bening di dasar goa itu. Tak sedikit warganya yang kurang gizi.

Manase Baineu, Eduard Baineu, Yosua Baun, dan sejumlah warga mengaku sempat menggantung obor pada 2008 setelah ada proyek air bersih. Mengandalkan dinamo, proyek itu menyedot air dari dasar goa melalui jaringan pipa.

Air dari proyek itu memang sempat mengalirkan air hingga pusat kampung. Saat itu segenap warga menyambutnya dengan penuh sukacita karena dengan demikian mereka tidak lagi harus berlelah-lelah mengambil air di dasar Goa.

”Ternyata air proyek itu mengalir hanya sekitar satu bulan,” keluh Mama Magdalena.

Penyebabnya, jaringan pipa spiral proyek itu jebol. ”Kami sudah beberapa kali melaporkan kerusakan proyek air bersih ini, tetapi belum ada tanda-tanda akan diperbaiki,” keluh Manase Baineu.

Maka, warga pun kembali harus bersusah payah merayapi Goa Kangka untuk mendapatkan air. Goa Kangka oleh warga diyakini sebagai hasil pencarian panjang dan melelahkan oleh para leluhur mereka di waktu silam. (Frans Sarong)



Post Date : 16 Februari 2011