Mitigasi Banjir Masih Gagap

Sumber:Kompas - 28 Januari 2013
Kategori:Banjir di Jakarta

Jakarta, Kompas - Bencana banjir yang sudah menjadi masalah laten Jakarta tak pernah dijadikan pelajaran yang baik bagi proses mitigasi bencana. Setiap banjir besar di Jakarta terjadi gagap penanganan, manajemen komunikasi yang buruk, bahkan koordinasi tiba-tiba menjadi barang yang mahal dan langka dalam birokrasi.

Kasus itu kembali terulang pada banjir besar yang terjadi selama sepekan lalu. Begitu banjir datang dari hulu dan waduk tak mampu menampung, aparat gagap mengolah informasi. Hal itu mengakibatkan penyaluran bantuan dan penanganan korban tidak tepat sasaran. Bahkan, banjir di 238 lokasi pekan lalu menyebabkan sedikitnya 41 orang tewas.

Banjir di Jakarta pekan lalu, menurut Direktur Operasi Jawa Bali PT PLN Ngurah Adnyana, menyebabkan PT PLN mencatat kerugian hingga Rp 116 miliar. ”Banjir menggenangi Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Muara Karang sehingga unit pembangkit listrik dimatikan. Kerugian teknis di sisi pembangkitan diperkirakan Rp 20 miliar,” ujarnya.

Adapun kerugian di sisi distribusi dan transmisi akibat rusaknya peralatan karena tergenang air masing-masing sekitar Rp 91 miliar dan Rp 5 miliar. ”Jadi, total perkiraan kerugian Rp 116 miliar. PLN juga kehilangan peluang penjualan energi listrik sekitar Rp 45 miliar,” katanya.

Dievaluasi

Tercatat ada 176 lokasi banjir baru di luar 62 rawan banjir. Penambahan lokasi baru disebabkan tanggul Kanal Barat di Jalan Latuharhary jebol, Kamis (17/1) pagi. Data ini hasil pemetaan yang dilakukan relawan Bank Dunia sehari setelah banjir 17 Januari lalu.

Relawan Humanitarian Forum Indonesia, Sherly Leo (32), menilai, selama status darurat banjir di Jakarta, belum ada manajemen informasi yang baik. Padahal, pengolahan informasi menjadi hal mendasar penanganan bencana. Di lapangan, ada kekacauan manajemen informasi sehingga sempat terjadi kisruh saat pemberian bantuan di Penjaringan, Jakarta Utara.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akan mengevaluasi pelaksanaan status tanggap darurat bencana banjir yang berakhir pada 27 Januari. Menurut dia, masih ada kekacauan dan banyak hal yang harus dikoreksi dalam pelaksanaan tanggap darurat. Salah satunya adalah pembagian bantuan bagi korban banjir.

Jokowi turun langsung membagikan bantuan bagi korban karena banyak laporan menyebutkan, banyak korban banjir belum menerima bantuan. Banyak bantuan yang menumpuk di posko dan belum didistribusikan kepada warga yang membutuhkan.

Jokowi menampik bahwa dia dianggap tidak memercayai bawahannya sampai-sampai harus turun sendiri ke lapangan. ”Percaya. Saya hanya mau masuk ke titik-titik masyarakat yang masih mengeluhkan belum mendapatkan bantuan,” katanya.

Sebelumnya, Jokowi mengatakan, setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) memiliki peran masing-masing saat tanggap darurat bencana. Namun, dalam pelaksanaan diakui, ada kelambanan perangkat daerah dalam menangani banjir.

Jokowi menyebutnya sebagai cara lama yang harus dibenahi. ”Kalau diberi tugas, diberi perintah, diberi kegiatan, dan kami nilai memang tidak ada kompetensi atau sebetulnya punya kemampuan tetapi tidak ada niat untuk menyelesaikan, ya maaf saja,” katanya.

Butuh kepemimpinan

Ekonom Faisal Basri menilai, tidak ada mitigasi bencana dan kepemimpinan saat terjadi bencana seperti banjir. Padahal, kedua hal itu penting untuk mencegah korban jiwa dan material. ”Banjir ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan nyata-nyata terjadi. Tetapi, yang namanya penanganan masih terus dikoordinasikan, dirapatkan. Ini, kan, aneh,” kata Faisal.

Saat itu yang dibutuhkan warga bukanlah pidato keprihatinan, ajakan untuk bersabar, atau sekadar kunjungan ke lokasi bencana. Namun, mitigasi bencana, penentuan titik dan jalur evakuasi, dan logistik bagi korban. Persiapan ini bisa dilakukan sebelum banjir tiba.

Kepemimpinan yang dibutuhkan saat bencana terkait dengan kemampuan menggerakkan kewenangan yang dimiliki pemimpin sesuai dengan standar prosedur operasional belum ada. Justru yang terlihat komunitas masyarakat malah lebih siap dan terkoordinasi dengan baik.

”Mereka lebih sigap dan tahu letak perahu karet milik setiap institusi sehingga saat dibutuhkan bisa langsung digerakkan,” ucapnya. Penanganan banjir pekan lalu, menurut Faisal, diperparah dengan belum disahkannya APBD DKI Jakarta 2013.

Gambaran Indonesia

Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, yang juga pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, mengatakan, kesemrawutan penanganan bencana banjir di Jakarta menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. ”Di negara ini, jarang ada yang bekerja dengan rencana. Kalaupun ada rencana, biasanya hanya di atas kertas, tapi tak ada yang menggerakkan.”

Banyak pihak, menurut Rhenald, biasa bicara dan bekerja sendiri-sendiri. ”Padahal, sekarang adalah era berencana, duduk bersama, bagi tugas, dan tentukan arah.”

Namun, era baru itu sulit direalisasikan di Indonesia, termasuk Jakarta, karena kekuatan yang menyebar. Bahkan, di dalam internal pemerintahan pusat pun tidak satu suara. Untuk itu, saat bencana terjadi seperti banjir Jakarta, seharusnya menjadi momentum menyatukan suara. Bukan berebut memamerkan peran dan sorotan media massa.

Momentum bencana menjadi saat tepat bagi pemimpin menunjukkan kepemimpinannya. Jokowi, sebagai Gubernur DKI, menurut Rhenald, memiliki banyak kelebihan dan mampu menjadi pemimpin yang tepat.

Namun, Rhenald melihat Jokowi tidak didukung oleh birokrasi di DKI. Reformasi birokrasi tidak berjalan lancar di Jakarta. Untuk kondisi darurat dibutuhkan orang-orang yang mampu bertindak tepat, masih muda, dan cerdas. Orang-orang seperti itu kini masih berada di rantai terbawah birokrasi dan karena aturan birokrasi yang terganjal syarat administrasi. Kondisi inilah yang seharusnya dirombak.

Ahli tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, juga melihat kata-kata koordinasi hanya mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan di Jakarta. ”Tidak ada pemetaan tanggung jawab dan bidang tugas. Ada badan penanggulangan bencana yang berfungsi sebagai koordinator, tetapi tak punya wewenang. Masalah dana, sumber daya manusia, sampai logistik yang diperlukan petugas di lapangan dan korban di luar jangkauan badan itu,” katanya.

Untuk itu, Yayat melihat dalam penanggulangan bencana perlu sosok kuat yang bisa memimpin dan membuat semua pihak terkait bisa bekerja sama dengan baik menekan ego sektoral masing-masing. (EVY/FRO/NEL/ART/NDY)



Post Date : 28 Januari 2013