Mungkinkah Warga Bersiap-siap Menghadapi Banjir

Sumber:Kompas - 06 Januari 2004
Kategori:Banjir di Jakarta
JAUH-jauh hari, banjir sebenarnya sudah "permisi" mau lewat, dan pemerintah mempunyai waktu untuk menolaknya. Kini, banjir benar-benar telah menyapa Jakarta.

"Gila ya. Hujan sebentar saja, sekarang jalan langsung banjir. Mobil pun terendam dan mogok, ck ck ck," keluh Tubagus, warga sebuah perumahan di Pondok Bambu Jakarta Timur.

Beberapa hari terakhir, hujan deras disertai angin memang turun malam hingga dini hari, saat warga tertidur lelap. "Begitu bangun, kaget sekali karena air telah masuk rumah hingga setinggi betis," ujar Tadi, warga Senen Jakarta Pusat.

Warga di Kelurahan Pluit Jakarta Utara bahkan mengaku lelah karena tiap musim hujan mereka harus menaikkan barang dan perabotan rumah tangga ke tempat yang lebih tinggi. Warga kebanyakan meninggikan rumahnya menjadi dua atau tiga tingkat.

Untuk menghindari banjir, warga yang rumahnya terletak di daerah yang rendah kemudian menguruk jalan. Akibatnya, daerah genangan berpindah ke wilayah lain. Uruk-menguruk tanah yang dilakukan warga tanpa ada pengawasan dari aparat membuat daerah genangan berganti-ganti dan bertambah banyak.

Meski demikian, paling tidak, ada upaya dari warga untuk mengantisipasi datangnya banjir, seperti membangun rumah bertingkat, menguruk jalan, atau membersihkan sampah. Lalu apa upaya pemerintah?

KEPALA Suku Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Air Jakarta Pusat beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya tengah membuat turap di Kali Item untuk mencegah meluapnya air dari sungai tersebut. Wilayah yang terlindungi meliputi Cempaka Putih dan Senen.

Penertiban ratusan bangunan liar di bantaran Kali Cipinang, menurut Asisten Keuangan Pemkot Jakarta Timur Paimin Napitupulu juga dimaksudkan untuk menormalisasi dan meningkatkan kapasitas sungai. Begitu juga dengan penertiban bantaran Kali Angke dan permukiman nelayan di Kali Adem, dimaksudkan untuk menormalisasi banjir kanal barat agar kapasitasnya meningkat.

Sejauh ini, banjir besar belum datang dan meluapkan air sungai seperti terjadi pada awal tahun 2002 lalu. Namun, sangat penting mempunyai warning sistem atau peringatan dini banjir agar masyarakat dan aparat bisa bersiap-siap.

Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (PIPWSCC) Depkimpraswil sebenarnya telah mempunyai sistem peringatan dini terhadap datangnya banjir. Sistem yang masih dikembangkan itu bertajuk telemetri dan telah di-launching beberapa waktu lalu. Telemetri dari waktu ke waktu terus disempurnakan.

Menurut pimpinan pekerjaan telemetri PIPWSCC Djaya Sukarno, pihaknya dapat memprediksi berapa jam lagi air akan mencapai pintu-pintu air yang tersebar di sungai-sungai besar seperti Ciliwung dan Cisadane.

Alat remote terminal unit berupa automatic water level recorder dan automatic rainfall recorder telah dipasang di 17 stasiun pengukuran di empat sungai besar di satuan wilayah sungai (SWS) Ciliwung-Cisadane (Cilcis), yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, Sungai Pesanggrahan, dan Sungai Bekasi.

Ke-17 RTM itu terbilang masih sedikit mengingat SWS Cilcis meliputi wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi seluas 6.150 kilometerpersegi. Beberapa waktu lalu, pihaknya telah menambah sebuah alat lagi.

Menurut Djaya, alat tersebut dapat memprediksi berapa lama limpahan air akan datang ke tia-tiap pintu air. Alat itu juga dapat memprediksi tinggi muka air di pintu air empat sungai besar itu. Dengan demikian, warga Jakarta terutama yang dilalui sungai-sungai tersebut dapat besiap-siap jika banjir diprediksi akan datang.

Memang, perkiraan itu bisa meleset, namun kata Djaya, angka melesetnya tidak terlalu besar. Misalnya, saat tinggi muka air di Katulampa Kabupaten Bogor mencapai 1,559 meter, limpahan air sakan sampai di Ratujaya dalam waktu 2,36 dan di Sugutamu dalam waktu 4,3 jam. Hingga sampai pintu air Manggarai, dibutuhkan waktu 14,54 jam.

Beberapa waktu lalu, prediksi itu memang meleset. Limpahan air sampai di Ratujaya ternyata 4 jam kemudian, di Sugutamu 7,45 jam kemudian, dan di Manggarai 15,15 jam kemudian.

Tinggi muka air juga dapat diprediksi. Saat di Katulampa mencapai 1,559 meter, di Ratujaya diprediksi 2,867 meter dan di Manggarai diprediksi 10,73 meter. Ternyata, ketinggian air di Ratujaya waktu itu lebih tinggi yaitu 2,947 meter namun di Manggarai justru lebih rendah yaitu 7,298 meter.

"Prediksi itu memang bisa meleset. Namun, paling tidak, hitungannya tidak akan jauh berbeda," ujar Djaya.

Saat ini, petugas piket di posko banjir terus berjaga selama 24 jam untuk memantau perkembangan sungai. "Kami bergantian memantau. Jangan sampai lengah. Kalau sungai mengamuk dan tiba-tiba banjir besar sementara warga belum bersiap, kami menjadi tidak ada gunanya," kata Danang, petugas posko.

Bagaimana cara petugas memberitahukan hasil pantauan dan perhitungan kepada masyarakat? Menurut Danang, pertama-tama dia akan memberitahu kepada petugas radio panggil yang memantau di posko-posko banjir dan pintu air. Dia juga akan langsung memasukkan ke dalam situs khusus yang saat ini masih dalam proses pembuatan. Dengan begitu, warga dapat meng-klik situs tersebut.

Petugas radio panggil setelah diberitahu akan langsung menghubungi stasiun radio dan televisi agar menyebarluaskan kepada masyarakat.

Peringatan dini telemetri tersebut memang canggih dan sebuah lompatan maju. Namun, tidak mungkin warga akan terus duduk di depan komputer dan mengakses internet. Atau, tidak mungkin juga warga terus-menerus mendengarkan radio dan melihat televisi. Banyak kasus, banjir datang saat warga sedang tidur lelap. Banjir juga datang jauh lebih cepat dari perkiraan.

Yang paling tepat, sebenarnya adalah mencegah jangan sampai banjir datang. Hanya saja, Jakarta ini seperti sudah ditakdirkan banjir. Data dari tahun 1978-1989 saja, penurunan muka tanah di Jakarta terus terjadi. Apalagi kalau dihitung sampai saat ini.

Penyedotan air bawah tanah yang besar-besaran membuat muka tanah makin menurun. "Hotel dan industri tidak semuanya lho yang memakai air PAM. Banyak yang masih terus mengambi air bawah tanah," ujar sumber di Depkimpraswil yang enggan disebut namanya.

Jika waduk-waduk terus disulap menjadi pusat perbelanjaan, daerah resapan air dibeton, rawa-rawa diurug, kapan Jakarta akan terbebas dari banjir? Meski sungai diturap demikian tinggi, atau dibangun banjir kanal sekali pun, Jakarta akan terus diancam banjir. (Susi IVVaty)

Post Date : 06 Januari 2004