Penakar Air Bawah Tanah LIPI

Sumber:Kompas - 27 Agustus 2010
Kategori:Air Minum

Tanah semakin ambles. Penyebabnya, penyedotan air bawah tanah terjadi terus-menerus ditambah beban tinggi akibat pembangunan gedung. Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia telah berhasil mengembangkan metode pengukuran eksploitasi air bawah tanah ini secara jarak jauh.

Aspek pengukuran debit air bawah tanah secara jarak jauh sangat memudahkan pemantauan dalam skala luas,” kata periset bidang lingkungan dan desain instrumen pada Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (Puslit KIM) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sensus Wijonarko, Kamis (26/8) di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang.

Sensus didampingi beberapa rekan peneliti dari instansi itu, Dedi Pendi, Joko Ismoyo, serta Budhy Basuki, menangani pelayanan informasi di Puslit KIM. Menurut Sensus, inovasi teknologi sistem pengukuran yang diberi nama Sistem Telemetri Air Bawah Tanah itu sudah diterapkan di wilayah Jawa tengah pada 2004/2005.

”Wilayah seperti DKI Jakarta juga menerapkan teknologi yang sama. Namun, setahu saya, teknologi itu dari luar negeri, seperti Perancis atau negara lain,” ujar Sensus.

Sistem Telemetri Air Bawah Tanah karya LIPI ini digunakan untuk memantau sedikitnya 450 sumur bor bawah tanah sampai kedalaman 60 meter- 100 meter. Lokasinya tersebar mencakup tiga kota, yaitu Semarang, Solo, dan Pekalongan.

Pemantauan bertingkat


Dedi Pendi menjelaskan, sistem tersebut memiliki metode pemantauan bertingkat. Pertama kali, mendapat data pemantauan debit air dari meteran.

”Meterannya sama seperti meteran air PDAM biasa, tapi perlu dimodifikasi,” kata Dedi. Modifikasinya dengan menempatkan perlengkapan sensor magnetik guna mengubah putaran meteran menjadi pulsa elektronik. Pulsa elektronik dari sensor debit air bawah tanah itu lalu disalurkan ke remote terminal unit (RTU).

Ketika data pulsa masuk RTU, data itu dikonversikan lagi ke satuan debit air, yaitu meter kubik per detik. Alat RTU sudah dipasang di Kota Semarang, Solo, dan Pekalongan, sebanyak 50 unit.

”Data pulsa setiap sensor disalurkan ke RTU dengan kabel bawah tanah,” kata Dedi.

Berikutnya, data masing-masing RTU diakumulasikan ke master terminal unit (MTU). Hanya ada satu MTU yang ditempatkan di Semarang. Di Kota Solo dan Pekalongan dibuat sub-MTU. Dengan sistem tersebut, akumulasi eksploitasi air bawah tanah di ketiga kota besar di Jawa Tengah itu bisa diketahui.

”Cara mendistribusikan data dari RTU ke sub-MTU dan MTU menggunakan komunikasi radio jika masih berada dalam satu wilayah kota. Untuk mendistribusikan data melintasi kota lain, misalkan dari Sub-MTU Solo atau Pekalongan ke MTU Semarang menggunakan pesan singkat melalui telepon seluler (SMS),” ujarnya.

Menurut Sensus, metode tersebut bukan suatu sistem yang harus terhenti dan berdiri sendiri. Sistem telemetri ini masih menyimpan banyak peluang pengembangannya untuk pemanfaatan lain.

Duga muka air


Sensus mengatakan, sistem lain yang menunjang optimalisasi sistem telemetri sekarang adalah pemanfaatan sistem duga muka air bawah tanah. Teknologi ini sepatutnya dikembangkan di setiap kota untuk mengendalikan komposisi air bawah tanah.

”Sistem duga muka air bawah tanah untuk menjamin nilai kelestarian atau kelangsungan ketersediaan air bawah tanah. Sekali terjadi amblesan tanah akibat eksploitasi air bawah tanah, tidak mungkin lagi dipulihkan,” kata Sensus.

Sistem duga muka air bawah tanah ini bisa dikembangkan dengan menempatkan sistem kontrol lapisan air bawah tanah. ”Kita seperti menaruh pelampung pada lapisan air bawah tanah. Ketinggian pelampung itu bisa kita pantau,” kata Sensus.

Ketika posisi pelampung menunjukkan batas minimum, menurut Sensus, itu menandakan harus ada penghentian pengambilan air bawah tanah. Metode ini belum banyak dikembangkan. ”Awas, tanah akan terus ambles selama pengambilan air bawah tanah belum bisa dihentikan,” kata Sensus.

Sistem Telemetri Air Bawah Tanah yang dibuat Puslit KIM LIPI cukup berarti untuk memantau dan mengendalikan eksploitasi air bawah tanah supaya tidak berlebihan. Hal itu juga bisa menunjang metode penghitungan beban pajaknya. Namun, menurut Sensus, pola pemanfaatan air bawah tanah semestinya diubah dengan pemanfaatan air permukaan.

”Fenomena yang terjadi sekarang, pengolahan air permukaan sudah dilakukan dan menghadapi masalah kuantitas ataupun kualitasnya,” kata Sensus. Kondisi ini jelas terkait dengan bagaimana cara kita menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan. Nawa Tunggal



Post Date : 27 Agustus 2010