Perburuan Air Gunungkidul

Sumber:National Geographic - 01 April 2010
Kategori:Air Minum

Di suatu pagi yang temaram, sekelompok lelaki tanah kapur berjalan beriringan memasuki sebuah mulut gua. Beberapa memanggul jeriken plastik atau kaleng. Yang lainnya menggenggam erat obor yang menyala. Mereka hendak memburu air. Di dalam kegelapan relung-relung perut Bumi yang lembap, obor adalah pelita, juga menanda cukup tidaknya udara segar. Bila dian telah padam, berarti oksigen telah menipis dalam ruang yang mereka pijak dan itu artinya mereka harus berbalik pulang ke rumah dengan atau tanpa air. Keseharian manusia tanah kapur Gunungkidul memang penuh dengan perjuangan mencari air bagi kehidupan sehari-hari, sejak dulu.

Tanah Gunungkidul selatan yang gamping memaksa warga memeras keringat demi air bersih. Di wilayah tersebut, tanah tak pernah membiarkan air hujan menggenang. Air hanya mengalir di perut Bumi, tetapi bisa ditemukan dalam lorong-lorong gua. “Ada yang cukup ditelusuri dengan jalan kaki melalui gua horizontal dan tidak terlalu dalam. Ada juga yang jauh sekali di dalam. Ada yang terletak di kedalaman 100 meter lebih dari permukaan luweng atau liang vertikal,” papar Sintia WN, ahli Geofisika Universitas Gajah Mada yang juga seorang penelusur gua.

Kawasan selatan tersebut dikenal sebagai perbukitan karst, bagian dari Pegunungan Karst Gunungsewu yang membujur di  selatan Jawa. Menurut Sintia, dahulu Gunungkidul terutama wilayah selatannya adalah dasar laut. Proses teknonik jutaan tahun membuat dasar laut itu terangkat, tenggelam, dan kemudian kembali terangkat ke permukaan seperti sekarang. Alhasil, permukaan kawasan itu disusun oleh karang yang terbatukan menjadi gamping. Nasib sejarah Bumi itulah yang membuat Gunungkidul selatan tidak seelok Gunungkidul utara yang berupa perbukitan tanah vulkanis tua.

Tetangganya di wilayah tengah juga bernasib lebih baik karena berupa cekungan sehingga masih memungkinkan hadirnya aliran air permukaan. Cadangan air tanah di Gunungkidul tengah juga relatif tak terlalu dalam. Di sejumlah tempat, warga bahkan mampu menemukan air melimpah dari sumur berkedalaman tujuh hingga 15 meter. Selain itu, warga juga masih bisa mengalirkan air dari sungai dengan pipa-pipa bambu atau PVC hingga sepanjang 2,5 kilometer seperti di Dusun Ngamplar, Gunungkidul utara.

Di selatan saat musim penghujan, masyarakat berusaha memanen hujan dengan bak-bak penampungan. Saat kemarau mendera, berbagai bentuk perburuan air pun dimulai. Dengan berjalan kaki atau bersepeda motor, warga tanah kapur akan pergi mencari gua-gua tempat mengalirnya sungai-sungai bawah tanah, sumur-sumur dalam yang masih basah, atau kubangan-kubangan yang tetap menyisakan air.

Beruntung, sebagian dari mereka—terutama di permukiman yang teramat jauh dari sumber air—kini dapat mengandalkan truk-truk tangki bantuan pemerintah atau organisasi nirlaba yang berkunjung ke permukiman mereka. Hanya saja, warga tetap harus merogok kantong sebanyak 20 rupiah untuk seliter air, sementara kebutuhan rata-rata satu keluarga sepanjang musim kemarau adalah sekitar 5.000 liter. Itulah masa perjuangan bagi warga yang mayoritas petani dan hanya bisa membuat gaplek ketela seharga 800 rupiah per kilogram di musim kemarau. 

Saat kemarau, sesungguhnya air dapat ditemukan di sejumlah telaga, yaitu cekungan di kawasan karst yang mampu menyimpan air hujan dalam waktu relatif lama. Menurut ahli hidrologi karst UGM Tjahyo Nugroho Adji, dasar telaga di kawasan karst Gunungkidul selalu memiliki ponor (sink hole) atau liang yang terhubung dengan sistem aliran sungai bawah tanah. Telaga-telaga itu selalu menyediakan air karena terdapat lapisan lempung di atas ponor. “Lempung membuat air tetap tertahan di telaga,” tutur Tjahyo.

Kurun 1970-an dan 1980-an, warga sempat menyaksikan beberapa telaga kehidupan mereka terancam kerontang. Para peneliti mengisahkan, saat itu pemerintah berinisiatif mengeruk dasar telaga dan melapis dinding telaga dengan semen dengan harapan, air di dalam akan semakin banyak. Celaka, air di telaga-telaga tersebut justru terus menyusut dan mengering. Rupanya, pengerukan membuat lapisan lempung yang menahan air di permukaan ikut terbuang sehingga, berapapun air hujan yang tertampung akan langsung tersedot ke dalam tanah.

Kini, harapan besar terhadap teknologi terletak pada proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Bribin II yang melibatkan berbagai pihak dari Indonesia dan Jerman.  Proyek yang dimulai oleh Universitas Karlsruhe Jerman itu memanfaatkan aliran sungai bawah Luweng Sindon di Bribin. Di kedalaman 104 meter, sebuah bendungan dibangun untuk menghasilkan energi listrik yang kemudian dimanfaatkan untuk memompa air tanah ke atas permukaan.

Meski harapan besar ditumpukan, teknologi Bribin II ternyata bukanlah solusi tunggal. Pasalnya, satu proyek tak bisa menjawab persoalan distribusi air bagi seluruh warga Gunungkidul yang jumlahnya 685.210 jiwa dan tersebar di wilayah seluas 1.485,36 kilometer persegi. “Bribin II adalah upaya pertama di dunia yang memanfaatkan teknologi mikrohidro di sungai bawah tanah. Sebagai sebuah riset ini sangat bagus,” jelas Tjahyo.

Tjahyo dan Sintia berhitung, sejatinya Gunungkidul memiliki potensi air nan berlimpah di musim hujan dan musim kemarau. “Sumber utama berasal dari hujan dan curah hujan di Gunungkidul tergolong tinggi. Jadi, air sebenarnya sangat memadai,” imbuh Tjahyo. Namun, air berlimpah yang selalu disimpan dalam perut Bumi itu hingga kini terus memaksa warga berpeluh dalam mengambilnya. Zaki Habibi



Post Date : 01 April 2010