Perlu Langkah Terpadu Atasi Kekeringan

Sumber:Suara Pembaruan - 06 Agustus 2008
Kategori:Kekeringan

Masalah kekeringan memang merupakan masalah rutin setiap tahun di Provinsi Banten. Setiap kali musim kemarau tiba, masyarakat mengeluh kekurangan air. Per- soalan ini, sejatinya, tidak perlu dialami setiap tahun, jika pemerintah peduli terhadap masyarakat dengan membangun tendon (tempat penampungan air) dan sumur bor, sebagai sumber air alternatif untuk mengairi sawah.

Namun, ironisnya, baik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan pemerintah kabupaten/kota se-Banten belum memiliki niat dan komitmen yang serius guna membuat pemetaan daerah yang dianggap rawan krisis air, sebelum dibuat langkah selanjutnya yang bersifat teknis seperti perbaikan atau pembangunan irigasi dan langkah-langkah lainnya demi membantu kesulitan masyarakat.

Fakta yang terjadi di wilayah Banten saat ini, yakni menurunnya debit air sungai yang menjadi sumber air untuk saluran irigasi pengairan sawah yang cukup drastis mencapai 60 persen. Akibatnya, sawah yang terkena kekeringan meluas mencapai 24.142 hektare (ha) dari sebelumnya yang hanya 11.000 ha.

Menurunnya debit air disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain musim kemarau dan penggundulan hutan di daerah hulu yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Jika dilihat dari berbagai akar persoalan kekeringan, maka pola atau sistem penanganan masalah kekeringan perlu melibatkan banyak sektor dan mengedepankan solusi yang bersifat komprehensif.

Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi Banten Winarjono menjelaskan, penurunan debit air itu secara otomatis berdampak secara langsung terhadap irigasi untuk pengairan sawah.

"Selain pengurukan dan perbaikan saluran irigasi, yang paling utama dilakukan yakni mengamankan dan menjaga kondisi hutan di daerah hulu sungai. Jika hutan lindung sudah gundul, sumber air akan mengering sehingga masyarakat akan semakin menderita," ujarnya.

Solusi lain, dengan mengoptimalkan sumber air bawah tanah (ABT). Memang untuk memberdayakan sumber ABT ini membutuhkan biaya yang sangat besar karena itu dibutuhkan proses yang panjang.

Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Peternakan (Distanak) Provinsi Banten Agus M Tauchid mengungkapkan, akibat kekeringan, areal persawahan yang mengalami puso, seluas 3.922 ha.

Paling Parah

Masalah kekeringan yang paling parah terdapat di Kabupaten Pandeglang mencapai 17.722 ha. Di Kabupaten Serang, sawah yang terkena kekeringan seluas 436 ha, Kabupaten Lebak 5.256 ha, Kabupaten Tangerang 370 ha, dan Kota Serang seluas 358 ha. Sawah yang terkena puso, sebagian besar merupakan sawah tadah hujan, katanya.

Sejumlah langkah telah dilakukan untuk mengatasi kekeringan ini, yakni dengan mobilisasi pompa air, diversifikasi pola tanam pada daerah tadah hujan yang rentan kekeringan, dan bantuan benih. "Jangka panjang kami membuat pemetaan daerah rawan kekeringan untuk diambil langkah terpadu dengan instansi terkait," katanya.

Petani asal Kecamatan Pontang dan Tirtayasa mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang segera membangun sumur bor. Langkah ini harus dilakukan supaya kekeringan yang terjadi setiap tahunnya dapat teratasi.

"Selama ini pemerintah terkesan membiarkan masalah krisis air terus terjadi setiap tahun. Kami sudah sering menyampaikan ke para pejabat ketika berkunjung ke Pontang, supaya membuat sumur bor sebagai salah satu upaya mengatasi krisis air. Sampai saat ini, tidak ada realisasinya," kata Nurman, warga Pontang.

Hal senada diungkapkan Mustofa, petani asal Tirtayasa. Pemkab belum serius menangani masalah krisis air di wilayah Pontang dan Tirtayasa. "Para petani sudah sering menyampaikan ke pemkab terkait masalah krisis air, karena saluran irigasi rusak, pencemaran sungai oleh limbah pabrik dan tidak adanya sumur bor. Namun, belum ada satu pun langkah solusi yang dilakukan pemerintah," katanya.

Bupati Serang Taufik Nuriman berjanji akan segera melakukan pengeboran air dengan mesin di delapan titik di sejumlah kecamatan, yakni di Kecamatan Tanara, Tirtayasa, Pontang, Bojonegara, dan Puloampel. Pengerjaan sumur bor itu akan dimulai Agustus 2008 dengan dana Rp 300 juta per titik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) murni.

Gubernur Banten, Hj Ratu Atut Chosiyah menilai, kerusakan irigasi di Provinsi Banten, adalah kesalahan kabupaten/kota. Pemprov Banten telah meminta kepada bupati dan wali kota untuk menginventarisasi irigasi yang rusak, namun sampai saat ini belum juga dilakukan.

"Saya sudah sampaikan kepada semua bupati dan wali kota untuk menginventarisir jumlah irigasi maupun bendungan di Provinsi Banten, tapi sampai sekarang belum juga dilaporkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui irigasi mana saja yang perlu diperbaiki dan dibangun kembali dan untuk membagi tugas pokok dan fungsi masing-masing," katanya. [SP/Laurens Dami]



Post Date : 06 Agustus 2008