Persoalan Ada di Hulu

Sumber:Kompas - 08 Juli 2011
Kategori:Air Minum

Perserikatan Bangsa-Bangsa, setahun lalu, mendeklarasikan, akses terhadap air bersih dan sanitasi adalah hak asasi manusia mendasar. Pemenuhan hak dasar tersebut esensial untuk penikmatan hidup secara utuh.

Indonesia termasuk salah satu negara yang menyetujui deklarasi tersebut. Meski begitu, pemenuhan hak dasar atas air bersih, apalagi air minum, masih jauh dari terpenuhi, bahkan di Jakarta, ibu kota negara. Dengan populasi penduduk menurut Sensus Penduduk 2010 sebanyak 9,6 juta jiwa (2,2 juta keluarga), sementara jumlah total penduduk harian Jakarta yang membutuhkan layanan air minum mencapai 12,5 juta jiwa, pertumbuhan Jakarta sudah melewati daya dukungnya.

”Pelayanan air bersih memakai pipa baru mampu melayani 44 persen total populasi,” papar Firdaus Ali, PhD dari Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Itu pun dengan tingkat kebocoran tinggi, mencapai 50,6 persen,

Di luar itu, Jakarta juga kesulitan air baku sebagai bahan dasar air minum. Meski dialiri 13 sungai atau kali dan ada 43 situ, semua dalam kondisi rusak dan tercemar sehingga, menurut Firdaus yang juga anggota Dewan Sumber Daya Air DKI Jakarta, tidak layak digunakan sebagai air baku air minum di Jakarta.

Akibatnya, air yang dialirkan perusahaan air minum di Jakarta juga tidak berkualitas air minum meski menyebut diri perusahaan air minum. Meski begitu, harga rata-rata air olahan yang dipasarkan perusahaan air minum di Jakarta relatif tinggi, Rp 7.224 per meter kubik.

Karena layanan tak memadai itu, penggunaan air tanah menjadi praktik yang banyak dilakukan rumah tangga serta tempat bisnis dan industri. Industri biasanya mengambil air tanah dalam, 100-200 meter di bawah permukaan tanah. Sementara rumah tangga biasanya mengambil air tanah paling dalam hingga 40 meter. Dampaknya adalah penurunan tanah yang berakibat memperburuk banjir Jakarta pada musim hujan. ”Di utara, kenaikan air laut akibat pemanasan global jadi ancaman nyata,” ungkap Firdaus.

Pokok persoalan penyediaan air minum Jakarta terletak pada rendahnya komitmen pemerintah pusat memenuhi hak dasar warga. Hal itu tecermin dari tidak adanya pengelolaan yang sungguh-sungguh dan terpadu atas sumber air baku, yaitu sungai.”Pemerintah bisa menyubsidi komoditas yang bukan kebutuhan dasar, seperti BBM, tetapi tidak punya komitmen pada penyediaan air bersih,” kata Firdaus. Hampir semua daerah aliran sungai di hulu hingga hilir rusak sehingga potensi tangkapan air rendah. Saat musim hujan banjir dan saat musim kemarau debit air turun. Situasi itu diperburuk perilaku warga dan lemahnya pengawasan sehingga rumah tangga dan industri leluasa membuang limbah ke sungai. Akibatnya, kualitas air baku terus turun.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo mengatakan, air minum selalu masuk lima besar jumlah keluhan yang masuk ke YLKI. Kebanyakan tentang kualitas air, seperti keruh, air tidak mengalir pada waktu diperlukan, dan yang sekarang banyak dikeluhkan adalah pengubahan golongan tarif. Golongan rumah tinggal yang digunakan usaha langsung diubah menjadi tempat usaha, begitu juga rumah bertingkat. Padahal, usaha yang dijalankan di rumah bisa berupa warung kecil, sementara tidak semua rumah tingkat mewah.

”Inti persoalan air minum bukan pada kualitas layanan, melainkan di hulu. Banyak persoalannya, dari jeratan utang ke Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia hingga ketidakmampuan pemda bernegosiasi dalam kontrak dengan investor, terutama yang asing,” papar Sudaryatmo.

Firdaus juga menyebut, pinjaman yang diberikan Bank Dunia dalam kerangka memprivatisasi perusahaan milik negara/daerah menyebabkan banyak perusahaan air minum daerah terjerat utang. ”Banyak pemda datang berkonsultasi ke YLKI saat akan menaikkan tarif. Ketika kami membahas lebih dalam, ternyata kenaikan tarif itu tidak untuk memperbaiki layanan, tetapi membayar utang,” kata Sudaryatmo. Namun, di Malang, pemerintah kota menghitung, investasi air minum lebih murah jika dibiayai bank lokal karena bunganya lebih murah. ”Bank Dunia menetapkan bunga 3 persen, tetapi karena pemerintah pusat tidak mau menjamin, risiko dibebankan ke perusahaan air minum daerah sehingga bunga jadi 11 persen,” paparnya.

Dalam kasus PDAM Jaya, Sudaryatmo mencontohkan kontrak dengan operator. Operator meminta jaminan penerimaan (water charge) berupa kenaikan tarif otomatis. Di sisi lain, PDAM Jaya tidak memasukkan klausul syarat tingkat mutu pelayanan dan sanksi jika operator tidak bisa menekan tingkat kebocoran air.(Ninuk MP)



Post Date : 08 Juli 2011