Petugas Lamban, Korban Diare Berjatuhan

Sumber:Kompas - 18 Februari 2005
Kategori:Sanitasi
Kupang, Kompas - Reaksi petugas yang lamban menyebabkan korban diare terus berjatuhan di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, seperti Kabupaten Lembata, Flores Timur, Sikka, dan Kota Kupang.

Korban meninggal secara kumulatif di provinsi itu telah mencapai 42 orang. Sebanyak 2.017 orang dirawat, termasuk 20 penderita dalam observasi ketat dan 70 orang kritis.

Di Bali, peningkatan kasus diare dan demam berdarah telah diantisipasi dengan menyiagakan dokter spesialis anak dan spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit (RS) Sanglah, Denpasar.

Langkah antisipasi juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang memberikan instruksi untuk buka 24 jam kepada seluruh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang memiliki fasilitas perawatan.

Kepala Bagian Kesejahteraan pada Biro Bina Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Siska Palan Bolen, Kamis (17/2) di Kupang, mengakui, petugas kesehatan di daerah lamban mendeteksi dan melaporkan perkembangan kasus diare ke provinsi. Namun, dia memahami kelambanan itu akibat isolasi fisik, seperti kesulitan komunikasi dan transportasi.

"Ada banyak desa hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki sehingga sulit mencapai desa dengan cepat, termasuk pelayanan obat-obatan," katanya.

Padahal, kata Siska, wabah diare sungguh mematikan. Dengan demikian, untuk menyelamatkan jiwa pasien perlu kecekatan petugas dalam mendeteksi dan melakukan tindakan medis.

Korban tewas akibat diare di Lembata kemarin menjadi lima orang. Korban terakhir atas nama Fransiskus Getan (8), warga Lamalera. Sementara, penderita yang dirawat 190 orang, termasuk 70 orang diinfus karena kritis, serta 20 orang diobservasi ketat.

Membantah

Namun, Kepala Dinas Kesehatan Lembata Jhony Laoh menjelaskan, korban yang tewas tetap empat orang. Menurut dia, korban tewas atas nama Fransiskus Getan itu bukan murni diare, tetapi komplikasi diare dan beberapa jenis penyakit lainnya.

Laoh membantah bertambahnya korban diare akibat lambannya kinerja petugas medis karena, menurut dia, mereka selalu siaga di lapangan. Dia mengatakan tidak ada kesulitan komunikasi karena seluruh delapan puskesmas memiliki radio medik, kecuali di 21 puskesmas pembantu tanpa radio medik.

Laoh membenarkan transportasi masih menjadi kendala di Lembata. Ada desa yang sulit dijangkau dengan cepat, sekalipun dengan sepeda motor, kecuali harus jalan kaki.

Sikka, menurut Siska, termasuk kabupaten yang terkena wabah diare akibat kuman (bukan virus) EPEC (Entero Pathogenic Escheria Coli-Red), atau disingkat E Coli. Secara kumulatif telah enam orang tewas di daerah ini.

Penjabat Kepala Dinas Kesehatan Sikka Ignasius Henyo Kerong, yang juga Asisten II Pemerintah Kabupaten Sikka, ketika dihubungi mengakui adanya kasus diare di wilayahnya, tetapi karena sibuk dia belum bisa memberikan datanya.

Diare juga mewabah di Flores Timur meski korban tewas di sini tetap bertahan sebanyak 20 orang (11 dewasa, sembilan anak). Korban rawat menjadi 1.776 orang, delapan orang di antaranya kritis.

Di Kupang, demam berdarah telah menewaskan sembilan warganya, sedangkan diare menewaskan lima orang. Korban tewas akibat diare juga terjadi di Kabupaten Belu dan Manggarai Barat.

Dokter spesialis siaga

Untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah pasien demam berdarah dan diare, RS Sanglah telah menyiagakan dokter spesialis anak dan spesialis penyakit dalam di ruang instalasi rawat darurat di rumah sakit itu.

Dari informasi yang dikumpulkan kemarin, sedikitnya 28 pasien demam berdarah dan 19 pasien diare masih dirawat di RS Sanglah. Sebagian besar pasien diare adalah anak-anak berusia di bawah 12 tahun.

Hingga pertengahan Februari, RS Sanglah menerima 99 pasien demam berdarah. Bulan Januari lalu tiga orang tewas akibat demam berdarah. Sedangkan dua balita dan seorang dewasa meninggal akibat muntaber.

Staf Divisi Pelayanan RS Sanglah dr IGB Ken Wirasandi mengakui, jumlah penderita demam berdarah dan diare yang masuk dan dirawat di RS Sanglah bertambah setiap hari, tetapi belum dapat dinyatakan sebagai kejadian luar biasa.

"Rumah sakit kan sifatnya pasif, hanya menunggu pasien. Namun, sejak dua atau tiga hari lalu kami telah menempatkan dokter-dokter spesialis di unit IRD, yaitu dokter anak dan internis, yang berjaga selama 24 jam. Mereka dibantu residen (dokter muda)," kata Ken.

Dari catatan Kompas, kasus demam berdarah di Bali terbanyak terjadi tahun 2002, mencapai 3.986 orang. Tahun 2000 jumlah penderita demam berdarah tercatat 198 orang. Dari keterangan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga triwulan III tahun 2004 jumlah kasus penyakit demam berdarah ada 885 kasus.

Buka 24 jam

Wakil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jabar Dadang Suhendar mengungkapkan, pihaknya sudah bersiaga dengan meminta puskesmas di daerah itu buka 24 jam.

"Beberapa puskesmas yang memiliki fasilitas perawatan sudah buka 24 jam," kata Dadang. Puskesmas tanpa fasilitas perawatan buka seperti biasa, hanya tenaga medis di wilayah itu harus siap siaga.

Soal pembiayaan pun, Dinas Kesehatan Jabar sudah siap. Sejak 1 Januari hingga sekarang sudah dikucurkan dana lebih dari Rp 800 juta untuk menangani kasus DBD.

Sampai 17 Februari 2004, menurut data Dinas Kesehatan Jabar, korban meninggal akibat demam berdarah menjadi 52 orang dari keseluruhan penderita 1.792 orang.

Untuk menekan angka kematian, Dadang menganjurkan masyarakat aktif memeriksakan diri jika anggota keluarga atau kerabatnya menunjukkan gejala demam. "Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit terdekat," katanya.

Dadang menekankan kembali agar masyarakat sungguh-sungguh menjalankan program pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan melakukan tindakan menutup, mengubur, dan menguras penampungan air bersih yang biasanya menjadi tempat nyamuk Aedes aegypti bersarang. (Y09/COK/CAL)

Post Date : 18 Februari 2005