Putuskan Mata Rantai Penularan Polio

Sumber:Kompas - 15 Juni 2005
Kategori:Sanitasi
Jakarta, Kompas - Kendati imunisasi telah dilakukan serentak, virus polio liar terus mengancam berbagai daerah di Tanah Air. Untuk mencegah munculnya serangan virus tersebut, mata rantai penularannya harus diputus melalui pelayanan kesehatan yang dibarengi upaya penyehatan lingkungan.

Namun, sejauh ini pemutusan mata rantai polio terhambat oleh sulitnya pemantauan keberadaan orang dewasa yang membawa virus penyakit menular tersebut. Ini karena mereka biasanya dalam kondisi sehat dan tidak menunjukkan gejala fisik seperti lumpuh layuh.

"Mata rantai polio harus segera diputuskan agar serangan virus tidak terus meluas ke daerah lain," kata Ketua Tim Peduli Polio dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Nury Handikin SpRM M Epid, di Jakarta, Selasa (14/6).

Ia menuturkan, virus polio bisa menular ke anak-anak usia di bawah lima tahun dalam kurun waktu seratus hari terhitung sejak masuk ke dalam tubuh penderita polio, terutama pada dua pekan pertama. Hal serupa juga terjadi pada virus yang dibawa oleh orang usia dewasa.

Virus penyakit yang berada di dalam kotoran penderita polio kemudian masuk ke dalam tubuh anak-anak usia balita lainnya melalui mulut. "Jadi, daerah yang sanitasi lingkungannya buruk rentan terhadap serangan polio," ujar Nury.

Untuk mencegah meluasnya serangan virus polio liar, perlu dipikirkan cara yang efektif dan efisien. Saat ini salah satu cara yang sudah tepat dilakukan adalah dengan imunisasi polio secara serentak di berbagai daerah di Tanah Air, terutama di lokasi tempat ditemukan kasus serangan virus polio liar. "Imunisasi dapat memberi kekebalan tubuh anak balita," kata Nury.

Perbaikan sanitasi

Namun, mengingat penularannya terkait dengan buruknya sanitasi, upaya vaksinasi harus disertai dengan pembuatan jamban keluarga dan membantu masyarakat mengakses air bersih. Jamban keluarga mencegah warga membuang air besar di sungai, sehingga tak ada virus yang menyebar.

Selain itu, pemantauan terhadap lalu lintas tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri perlu ditingkatkan. "Memang sulit mendeteksi apakah seseorang membawa virus polio liar atau tidak, karena itu hanya bisa diketahui lewat pemeriksaan sampel kotorannya di laboratorium, " kata Kepala Divisi Anak Rehabilitasi Medik FKUI Dr Amendi Nasution SpRM.

Namun, dengan mengisi semacam kuesioner seperti saat merebaknya SARS dulu, mereka yang berisiko bisa dipantau.

Menurut konsultan saraf anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr Irawan Mangunatmadja SpA, imunisasi merupakan hal terpenting untuk menangkal serangan virus. "Jika sudah menyerang, virus terus hidup di dalam tubuh penderita meski tidak lagi dapat menular ke orang lain," ungkapnya.

Meskipun sudah pernah diimunisasi, anak-anak tetap perlu vaksinasi polio tambahan. "Karena itu tidak cukup karena ada serangan virus polio liar. Kita mesti tambah agar punya kekebalan usus yang lebih tinggi," ujarnya menambahkan.

Menanggapi adanya sejumlah kasus balita yang lumpuh layuh setelah diimunisasi, Irawan menuturkan, kemungkinan saat itu terjadi masa inkubasi virus polio di dalam tubuh balita bersangkutan. "Kalau sedang sakit, sebaiknya pemberian vaksin itu ditunda hingga sembuh," tuturnya.

Ia mengakui, ada satu dari tiga juta dosis vaksin polio yang bisa berdampak samping berupa kelumpuhan pada anak usia balita yang diimunisasi. "Kelumpuhan yang diderita itu bersifat sementara dan bisa kembali pulih seperti semula," tegasnya.

Namun, ia tidak dapat memastikan berapa lama kelumpuhan akibat cairan imunisasi itu terjadi, karena sangat tergantung pada daya tahan tubuh anak balita yang diberi vaksin polio. "Meski demikian, vaksin hidup ini tetap layak diberikan kepada para balita," tambahnya. (EVY)

Post Date : 15 Juni 2005