Rakyat sampai Ekspatriat Semua Susah

Sumber:Kompas - 17 Januari 2013
Kategori:Banjir di Jakarta

Setelah terjebak banjir dan macet yang terjadi di Jalan Kampung Melayu Besar, Jakarta, dua hari lalu, Yukio Saito (40) memutuskan menyewa sebuah jip yang mampu menerjang genangan.

Rabu (16/1) siang itu, sebuah Jeep Wrangler bewarna hijau lumut tengah menunggu Yukio yang sedang santap siang di sebuah restoran Jepang. Warga negara asal ”Negeri Sakura” itu tidak mau terlambat untuk kedua kalinya ketika harus bertemu klien.

Pebisnis dari Memory-Tech Corporation itu menceritakan kemacetan akibat banjir yang membuatnya terlambat menghadiri pertemuan penting.

Luapan air dan lumpur dari Sungai Ciliwung yang sudah hampir setinggi 60 sentimeter tidak dapat dilalui mobil sedan yang digunakannya.

Dia sudah mencoba melalui jalur alternatif. Kendati tidak terkena banjir, ternyata kemacetan juga terjadi di jalan yang disarankan sopirnya. Alhasil, dia merasa sangat bersalah kepada kliennya karena tidak datang tepat waktu.

Dalam budaya masyarakat Jepang, keterlambatan tidak dapat ditoleransi. Kejadian kurang mengenakkan seperti itu, bagi Yukio Saito, sudah lebih dari cukup untuk diambil sebagai pelajaran agar tidak terulang.

Oleh karena itu, dia segera menyewa mobil dengan ketinggian dek di atas mobil sedan serta memiliki tenaga yang mumpuni untuk menerobos banjir. Yukio tidak mau mengecewakan kepercayaan yang diberikan kliennya.

Ia pun percaya suatu saat masalah ini di Jakarta bisa segera diatasi. ”Meskipun mengganggu dan mengacaukan rencana, ini merupakan konsekuensi yang harus dihadapi para pebisnis di Jakarta. Percayakan saja kepada pemimpinnya,” katanya tanpa bermaksud menyalahkan keadaan Ibu Kota.

Sebagai bagian dari masyarakat metropolitan, para ekspatriat pun ternyata merasakan akibat banjir yang terjadi di sejumlah lokasi di Jakarta.

Kesulitan warga

Apa yang dirasakan warga kebanyakan di Jakarta dan sekitarnya lebih berat dari yang dirasakan Yukio.

Niken (24), warga Pasar Jumat, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, misalnya, bingung memutuskan mau naik kendaraan apa lagi untuk menuju Harmoni, Jakarta Pusat, pagi kemarin. Di Halte Lebak Bulus, ia harus kecewa mendengar perjalanan bus transjakarta menuju Harmoni ternyata dipangkas. ”Sampai di sini baru dikasih tahu petugas bahwa bus hanya sampai Jelambar karena ada banjir di Kedoya,” kata Niken.

Padahal, dia sengaja tidak menggunakan sepeda motornya karena takut menerobos banjir saat menuju tempat kerjanya.

Beberapa orang di Halte Lebak Bulus menyarankan agar dia naik angkutan umum lain. ”Kalau ketemu macet sama banjir, turun saja terus nyambung-nyambung pakai mikrolet dan ojek,” kata seorang kenek metromini.

Dahi Niken makin mengerut. Sesaat kemudian, ia akhirnya memilih naik angkot pulang ke rumahnya.

”Pulang saja ambil sepeda motor. Daripada ruwet pakai angkot. Sudah pasti telat banget sampai kantor nanti, seperti Selasa,” katanya. Sehari sebelumnya, ia sudah terlambat.

Perwakilan humas dari Badan Layanan Umum Transjakarta, Sri Ulina Pinem, mengatakan, ada tiga halte di Koridor VIII Lebak Bulus-Harmoni yang terpaksa ditutup hari Rabu kemarin.

”Parah sekali banjir hari ini. Terpaksa halte di Duri Kepa, Kedoya Assidiqiyah, dan Kedoya Green Garden ditutup karena kawasan itu tergenang cukup dalam,” katanya.

Calon penumpang bus transjakarta dan angkutan umum lain di Jakarta memang didera ketidakpastian dalam dua hari terakhir ini. Tidak ada jalur angkutan umum yang steril dari gangguan genangan, bahkan di jalur bus transjakarta.

”Atasan saya maklum saja saya datang telat. Cuma tidak enak saja, sudah dua hari ini datangnya siang terus. Di jalan capek macet, sampai kantor kerjaan menumpuk,” kata Iqbal (21), petugas kebersihan di salah satu mal di Pondok Indah.

Menyengsarakan

Warga yang rumahnya dilanda banjir lebih sengsara lagi. Tatang Suwanta (70), warga Kapuk Muara, Jakarta Utara, misalnya, harus bersusah payah menembus banjir untuk mengantar bekal makan bagi Maria (14), anaknya.

Siang itu, Maria harus ikut pelajaran tambahan di sekolah. Tangan kanan Tatang menggenggam sebungkus nasi, sementara tangan kiri mengangkat celana. Kaki melangkah pelan agar tak masuk ke lubang jalan.

Warga lain juga hilir mudik di gang-gang yang tergenang. Sejumlah orang menuntun sepeda motor dan menyimpannya di pinggir jalan yang lebih tinggi. Ibu-ibu menggendong bayi ke tempat aman.

Para pedagang di Pasar Cipulir, Jakarta Selatan, juga mengeluh. Selain terjebak macet dalam perjalanan menuju pasar, sampai di Cipulir ternyata mereka tak bisa berdagang karena air masuk hingga ke kios mereka.

Ihin, pedagang pakaian di lantai dasar Pasar Cipulir, pun kesusahan karena dia tidak berhasil menyelamatkan barang dagangannya di kios itu. Sedikitnya, omzet Rp 1 juta dari jual- beli eceran harian dipastikan lolos dari tangan Ihin, kemarin.

Kawasan Cipulir yang terletak tepat di tepi Kali Pesanggrahan menjadi langganan banjir, baik banjir kiriman maupun ketika intensitas hujan lokal tinggi. Seperti sungai lain di Jakarta, Pesanggrahan juga menyempit menjadi kurang dari 10 meter. Di beberapa lokasi bahkan hanya 1-2 meter saja serta dipenuhi sampah.

Kondisi ini juga disayangkan Martin Nurul (72), warga asal Belanda yang telah lebih dari 40 tahun tinggal di Jakarta. Menurut dia, Februari-Maret saat salju di Jerman, Swiss, dan Perancis mencair, alirannya pun masuk ke sungai-sungai yang bermuara di Belanda.

”Akan tetapi, bantaran Sungai Rhein dan Sungai Maas tidak seperti Sungai Ciliwung. Di sisi-sisinya terdapat pematang atau taman sehingga air yang meluap langsung terserap secara alami.” paparnya. Neli Triana/Mukhamad Kurniawan



Post Date : 17 Januari 2013