Repotnya Tinggal di Barak Pengungsi

Sumber:Kompas - 26 April 2005
Kategori:Aceh
JANGANKAN buat mandi, air untuk masak saja susah nyari-nya," keluh Saridah (29), pengungsi asal Sigli, Minggu (24/4), ketika ditanya tentang ketersediaan air bersih di kompleks hunian sementara alias barak pengungsi korban bencana gempa dan gelombang tsunami di Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Ketidaksiapan pemerintah dalam menangani para pengungsi pascatsunami bisa dilihat dari minimnya fasilitas publik yang tersedia bagi para korban bencana yang tinggal di tenda maupun barak, terutama ketersediaan air bersih. Hingga kini ribuan pengungsi kesulitan memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan belum mendapat akses jaringan listrik.

Padahal, jumlah pengungsi yang pindah ke tempat hunian sementara itu terus bertambah. Sebelumnya mereka tinggal di dalam tenda darurat pada beberapa bulan pertama setelah bencana. Barak-barak itu terbuat dari papan kayu. Setiap bilik tanpa sekat, yang masing-masing berukuran empat kali enam meter, itu ditempati maksimal enam orang sehingga ada sebagian bilik yang dihuni lebih dari satu keluarga.

Di barak pengungsian Lhongraya Stadion I Banda Aceh, misalnya, terdapat 445 jiwa pengungsi yang kesulitan memperoleh air bersih. Sementara di barak pengungsi Lhongraya Stadion II, jumlah pengungsi yang tidak mendapatkan layanan air bersih dengan optimal dari pemerintah mencapai 1.900 jiwa. Sebagian besar korban tsunami itu telah tinggal di barak sejak tiga bulan lalu.

Beberapa kamp pengungsian di Ruyung, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, juga minim fasilitas air bersih. Menurut penuturan sejumlah pengungsi, air yang ada di tempat penampungan air di barak pengungsi itu terasa asin sehingga tidak bisa dipakai untuk memasak dan mencuci. "Kalau dipakai mencuci, pakaiannya jadi rusak," ungkap Nuraeni (37), pengungsi asal Desa Ruyung, Aceh Besar.

Andi Mansur (50), pengungsi asal Kelurahan Mulya, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, menambahkan, tersendatnya pasokan air bersih berdampak buruk pada sanitasi di kamp pengungsian. Padahal tingkat kebutuhan air bersih sangat tinggi karena banyaknya jumlah pengungsi. "Ini membuat sanitasi ja- di buruk. Kurangnya air membuat sarana MCK (mandi-cuci-kakus) jadi kotor," ungkapnya.

Selain kurangnya pasokan air bersih, sebagian barak pengungsi juga belum mendapat aliran listrik. Jika malam tiba, suasana di kompleks barak pun jadi gelap gulita. Hanya ada cahaya api dari lampu tempel dan lilin yang dipasang di dalam bilik-bilik itu.

Di samping itu, para pengungsi yang menghuni di barak Neuhen, Aceh Besar, mengeluh soal rawannya dinding penyekat kamar tempat hunian mereka. Setiap kamar di barak ternyata menyisakan kekosongan penyekat sepanjang 35 sentimeter. Adanya kekosongan penyekat itu membuat penghuni tidak tenang kalau pergi lama meninggalkan kamar.

Anggota Tim Identifikasi Fasilitas Barak Dinas Perkotaan dan Permukiman Kota Provinsi NAD Junaedi mengakui masih banyak fasilitas barak yang belum memadai. Oleh karena itu, pihaknya terus mendata mengenai kondisi fasilitas barak yang ada di berbagai tempat di wilayah Banda Aceh maupun daerah lain yang dilanda tsunami.

EMPAT bulan sudah bencana gempa dan gelombang tsunami berlalu. Masa darurat kemanusiaan di Provinsi NAD juga sudah usai dan kini penanganan para pengungsi telah memasuki tahap rehabilitasi. Namun, ternyata berbagai masalah berkaitan dengan keberadaan para korban belum juga beres.

Selain masalah jatah hidup yang tersendat, pemulihan ekonomi di daerah yang terkena tsunami itu juga belum mendapat perhatian serius. Di sektor perikanan, misalnya, para petani udang di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, mengalami kerugian hampir Rp 1 miliar akibat bencana tsunami. Hingga kini mereka belum dapat membudidayakan udang kembali lantaran tambak mereka penuh lumpur.

"Jangankan untuk kegiatan usaha, penyediaan fasilitas umum, seperti listrik dan air, saja belum sepenuhnya terpenuhi," ujar Sofyan, warga Aceh Besar. Akibatnya, banyak pengungsi memilih tetap bertahan di dalam tenda dan enggan pindah ke tempat hunian sementara.

Hidup bersama dalam satu barak juga menimbulkan permasalahan sosial antarpenghuninya yang berasal dari berbagai daerah. Pasalnya, kondisi tempat hunian sementara tersebut dinilai kurang memberikan ruang privasi bagi masing-masing anggota ke- luarga karena tidak ada sekatnya, dan berfungsi sebagai kamar tidur, dapur, hingga ruang tamu.

Di dalam bilik yang dihuni Ny Nuraeni (37) dan suaminya, misalnya, terdapat berbagai peralatan rumah tangga, mulai dari kasur, peralatan memasak, seperangkat peralatan elektronik, dan tumpukan pakaian. "Karena luas kamar terbatas, dua anak kami yang sudah besar masih tinggal di tenda," tuturnya, saat ditemui di barak di Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.

"Tanpa ada sekat, kami harus tinggal bersama keluarga lain selama berbulan-bulan. Ini kan butuh penyesuaian dengan penghuni lainnya," ujar Zulkifli, pengungsi di Banda Aceh. Untuk itu, sebagian pengungsi memutuskan menyekat sendiri bilik mereka sehingga ada satu kamar tertutup dan sisanya difungsikan sebagai dapur, ruang tamu, sekaligus ruang tidur.

Kendati kurang nyaman untuk ditinggali, tempat hunian sementara tersebut memberikan harapan bagi para pengungsi untuk kembali menata hidup mereka. Sederet masalah, seperti kurangnya ketersediaan air bersih, listrik, sampai perselisihan antarpenghuni barak, tidak membuat mereka kehilangan senyum. Kini, tinggal bagaimana pemerintah membenahi pelayanan publik di tempat hunian itu. (EVY/WHO)

Post Date : 26 April 2005