Rinjani, Jantung Kehidupan Penduduk Lombok

Sumber:Kompas - 15 Juni 2004
Kategori:Umum
"LAMUN ite si toak ndek arak peduli laik gawah, ape yak ne dait isik anak-jarin ta erak. Lamun gawah uah sede, ia sang si teparan bahle atawe roga-rema".

("Jika kita para orangtua sudah tidak peduli lagi pada hutan, apa yang akan diwarisi oleh anak-cucu kita kelak. Bila hutan rusak, maka itulah mungkin yang dinamakan balabencana atau prahara".)

Kalimat Sasak Lombok itu diucapkan Darmanep, Nyaka Rangga atau Ketua Majelis Peradilan Adat dalam Lembaga Adat Desa Salut, Kecamatan Kayangan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Ucapan penjaga hutan milik masyarakat adat itu jadi bermakna setiap terjadi musim hujan, terutama di 80 desa lingkar kawasan Hutan Rinjani (125.000 ha) yang tersebar di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Misalnya, di kawasan Pusuk, Kecamatan Pemenang, tercatat 11 titik longsor.

Jalan tanah yang menganga, atau munculnya selokan baru di tengah jalan tanah di seputar Desa Gondang, Kecamatan Gangga, adalah pemandangan rutin tiap tahun.

Semua itu mengindikasikan parahnya degradasi kawasan hulu karena penebangan kayu dan berubahnya fungsi hutan jadi lahan bercocok tanam.

Hal serupa terlihat di kawasan Salut, Lotim, di mana jalan berkelok disertai jurang terjal ditimbun oleh tanah longsor perbukitan sekitarnya. Arah selatan tempat itu, sekitar Desa Suwela, kawasan hutan justru dijadikan ajang bercocok tanam, padahal secara teknis kemiringan lahannya tidak cocok untuk usaha tani.

"Coba Bapak masuk kawasan hutan Sesaot, Bapak bisa main bola, sambil dihibur suara chainsaw (gergaji mesin)," ujar Muhtar, warga Dusun Pembuwun Desa Sesaot, Lobar, berkelakar.

Sebagian besar kawasan itu gundul, apalagi setelah adanya kebijakan swakelola atas kayu yang tumbang alami. Pasalnya, pohon kayu yang masih utuh pun ikut ditumbangkan.

EKSES kerusakan hutan dan lingkungan sekitar kawasan Rinjani sudah mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir. Katakanlah berkurangnya sumber mata air, yang kini tinggal 85 titik. Air itu antara lain mengisi empat daerah aliran sungai (DAS) di antaranya sungai/Kokoq Menanga, DAS Kokoq Putik, dan Kokoq Dodokan bagi keperluan rumah tangga dan irigasi.

Hasil pemantauan WWF Indonesia Nusa Tenggara Programs bekerja sama dengan instansi terkait dua tahun lalu menyebutkan, debit air Sungai Aiknyet, Desa Sesaot, yang 27,3 meter kubik per detik tahun 1998, menurun jadi 10,37 meter kubir per detik (2002).

Kemudian dengan periode sama, di Sungai Babak, debit airnya semula 8,436 meter kubik per detik melorot jadi 5,68 meter kubik per detik, di samping Sungai Sesaot dengan debit airnya menurun jadi 9,096 meter kubik per detik dari 16,08 meter kubik per detik. Sumber debit antara lain menjadi sumber usaha Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM Mataram untuk kebutuhan warga tiga kabupaten di pulau itu.

Terganggunya kawasan Hutan Rinjani, agaknya mempengaruhi perubahan suhu di Mataram. Data Stasiun Meteorologi Bandara Selaparang Mataram menyebutkan, sepanjang tahun 2003 terjadi peningkatan suhu udara harian 1,5 derajat Celsius. Idealnya, karena pengaruh situasi global, peningkatan suhu udara itu terjadi sekitar seratus tahun.

Konsekuensi yang harus dibayar oleh desakan Hutan Rinjani adalah nilai sumber daya alam/SDA Rinjani tinggal Rp 5,178 triliun tahun 2002. Nilai SDA Rinjani itu akan melorot mengingat estimasi kerusakan Rp 5 miliar tiap tahun, kata Ridho Hakim, dari WWF Indonesia Nusa Tenggara Programs di Mataram.

SIAPA yang menjadi biang kerusakan hutan, agaknya sulit dijawab secara pasti, bahkan di sinilah lingkaran setannya. Yang banyak dituding adalah para peramok (penebang kayu), yang mendapat aktivitasnya dibiayai oknum pengusaha yang sekaligus menampung hasil tebangan.

Kebijakan pemerintah kabupaten pun melihat hutan dari aspek ekonomis seperti untuk mengejar pendapatan asli daerah (PAD). Misalnya, pengeluaran kayu eks tebangan pemegang hak penguasaan hutan (HPH) sebanyak 4.000 meter kubik, tersebar hutan Desa Bentek, Desa Genggelang, dan Desa Rempek, Lombok Barat.

"Kalau memang petugas bertindak tegas terhadap peramok (pencuri kayu), saya kira perampok tidak berani main tebang. Yang terjadi selama ini, tindakan tegas cuma di mulut, nyatannya penebangan jalan terus," kata Ibrahim, tokoh masyarakat Dusun Pembuwun, Desa Sesaot.

Soal pengawasan menjadi salah satu kendala instansi teknis. Menurut sumber, saat Polisi Khusus Kehutanan Dinas Kehutanan Lobar berjumlah 28 orang. Namun, yang menjalankan tugasnya secara efektif 24 orang yang usianya rata-rata di atas 40 tahun.

Tiap petugas tadi mengawasi 2.500 ha kawasan, atau terlalu luas dibandingkan dengan seorang petugas mengawasi 200 ha hutan di Pulau Jawa.

Soal pengawasan agaknya tidak bisa mengandalkan dinas teknis, melainkan semua pihak seperti masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi teknis yang mendapat manfaat dari kawasan hulu.

"Dinas Kimpraswil maupun PDAM (perusahaan daerah air minum) tidak bisa beralasan bahwa urusan hulu menjadi wewenang Dinas Kehutanan. Tetapi mereka mesti peduli bagi kelestarian daerah hulu, misalnya sekian persen dari dana operasional dan biaya pemeliharaan sarana dan prasarana irigasi, maupun rekening pembayaran konsumen dianggarkan dan disisihkan bagi konservasi kawasan hulu," ujar Ridho Hakim.

Lembaga tradisional seperti Subak beserta Pekasih (petugas pembagi air irigasi di saluran sekunder) di Lombok harus difungsikan secara maksimal. Kalaupun ada lembaga baru bentukan instansi teknis seperti P3A (Perhimpunan Petani Pemakai Air), mestinya berada di bawah Subak, bukan terpisah seperti saat ini.

Walhasil Rinjani adalah jantung kehidupan penduduk Pulau Lombok. Berbagai persoalan sosial dan lingkungan akan gampang tersulut bila Rinjani luluh-lantak. (KHAERUL ANWAR)

Post Date : 15 Juni 2004