Sampan di Antara Limbah dan Sampah

Sumber:Republika - 02 Juli 2012
Kategori:Sampah Jakarta
Sungai-sungai di Jakarta biasa nya bukan terkenal karena keindahannya. Lebih banyak yang bi cara soal bagaimana limbah dan sam pah memepaki kali-kali Ibu Kota.
 
Di tengah limbah dan sampah su ngai itulah, seorang pria yang hanya ber sedia disapa Ali (30 tahun) menyandarkan hidup. Hampir setiap hari, ke dua ta ngan Ali harus beradu dengan besi peng gerek sejenis sampan untuk me nye berangi Sungai Rawabadak. Limbah dan sampah yang menghalangi jalannya sam pan membuat kerja jadi semakin berat.
 
Menarik perahu dan menyeberang kan penumpang melewati Sungai Ra wabadak sudah menjadi pekerjaan Ali sehari-hari. Perahu tersebut menjadi alat transportasi alternatif bagi warga Rawabadak, Koja, Jakarta Utara.
 
Ali mengabaikan bau limbah dan sampah demi mendapatkan uang se besar Rp 500 per penumpang. Menurut Ali, tak jarang para penumpang tidak membayar sehingga untung yang dida pat sedikit. Belum lagi setoran senilai Rp 1000 setiap jalan kepada preman setempat.
 
“Keamanannya di sini kadang rawan, jadi harus lebih hati-hati,“ kata Ali. Ali menambahkan, ia sudah terbiasa dengan bau limbah dan sampah di Sungai Rawabadak. Bahkan, ia harus tidur di perahu karena tidak memiliki kontrakan atau kos.
 
Sudah setahun Ali melakoni pekerjaan ini. “Dari pada nganggur, ya lebih baik begini,“ ungkapnya. Dalam sehari, Ali mendapatkan untung Rp 50 ribu. Perahu yang ia gunakan bukanlah perahu miliknya sehingga ia harus menyetor Rp 35 ribu setiap harinya.
 
Laki-laki yang berasal dari Brebes ini menarik perahu mulai pukul setengah lima pagi hingga 10 malam. Bagian telapak tangannya terlihat mengeras menyusul kerapnya menarik sampan. “Kerjaannya berat, harus pakai tenaga,“ ceritanya. Bahkan, ia sering masuk angin.
 
Pekerjaan ini bukan menjadi pekerjaan tetap Ali karena ia hanya dapat bekerja selama 15 hari. Ia menyebutnya aplusan karena temannya yang akan bekerja bergantian menarik perahu tersebut selama 15 hari berikutnya.
 
Ali menceritakan, menarik perahu tetap ia lakoni ketika banjir datang. “Tapi, ya lebih hati-hati,“ ungkapnya. Namun, jika hujan disertai angin, ia lebih memilih berhenti menarik perahunya. Selama Ali tidak bekerja sebagai penarik perahu, ia harus mencari pekerjaan lainnya. Terkadang buruh bangunan pun ia lakoni. “Yang penting dapat uang buat makan,“ katanya.
 
Menurut salah seorang penumpang, Yani, perahu menjadi alat transportasinya sehari-hari karena lebih ekonomis, praktis, dan cepat. Ia tidak perlu berjalan kaki lebih jauh untuk mencapai tujuannya. “Dari pada muter lewat jembatan, lebih baik naik perahu,“ ungkap Yani.
 
Di Sungai Rawabadak ini hanya terdapat satu jembatan penyeberangan yang berjarak sekitar 500 meter dari penyeberangan terdekat. Sehingga, warga yang berjalan kaki memilih menggunakan perahu untuk menyebezrang. fitriyan zamzami


Post Date : 02 Juli 2012