Tarif Naik, Layanan Turun

Sumber:Kompas - 08 Juli 2011
Kategori:Air Minum

Kerja sama pengelolaan air bersih bagi warga Jakarta telah sampai di titik terendah sepanjang 13 tahun terakhir ini. PAM Jaya merugi terus, sementara operator air bersih menuntut kenaikan tarif. Di sisi lain, pelanggan tak merasa ada perbaikan layanan.

Lihat saja keluhan pelanggan di berbagai surat kabar. Ada yang tetap membayar abonemen, tetapi tidak bisa menikmati layanan air karena kecilnya air yang mengalir. Yang lain—terutama di Jakarta Utara dan Jakarta Barat—mengeluhkan warna air yang kuning, berbau, bahkan ada cacingnya.

”Setiap hari, air hanya mengalir pada siang dan malam hari. Itu pun setiap minggu pasti ada yang warnanya kuning,” kata Misran, (63), warga Tambora, Jakarta Barat.

Padahal, Jakarta sering disebut sebagai megapolitan dan ingin menjadi kota metropolis abad ke-21. Di pihak lain, dua operator swasta—yang memproduksi air bersih Jakarta—dihadirkan untuk meningkatkan efisiensi dan layanan pelanggan.

Kehadiran PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) merupakan jawaban atas saran Bank Dunia. PAM Jaya melalui Kementerian Keuangan meminjam uang dari Bank Dunia untuk membangun instalasi pengolahan air (IPA) di Buaran dan Pulo Gadung karena sebelumnya PAM Jaya hanya mempunyai IPA di Pejompongan.

Setelah kerja sama ditandatangani, instalasi-instalasi itu pun diserahkan kepada swasta yang ditunjuk sebagai operator. Namun, operator juga memiliki tanggung jawab untuk membayar utang PAM Jaya kepada Kementerian Keuangan. Tahun 1998, pada awal kerja sama itu, utang PAM Jaya kepada Kemkeu sebesar Rp 1,5 triliun dan sudah dicicil Rp 652 miliar. Pembayaran utang dilakukan dengan uang yang berasal dari pelanggan.

Selain utang, yang menjadi beban tarif adalah imbalan bagi operator, biaya operasional PAM Jaya, pendapatan asli daerah untuk DKI Jakarta, dan biaya operasional untuk Badan Regulator.

Besarnya beban yang ditanggung dari tarif ini menuntut adanya penyesuaian tarif terus-menerus karena biaya operasional meningkat akibat inflasi dan sebagainya. Penyesuaian tarif yang berulang kali ini tentu saja membuat pelanggan berang mengingat layanan air tidak kunjung membaik. Akibatnya, sejak tahun 2007, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memutuskan untuk tidak menaikkan tarif sampai ada perbaikan signifikan dari kinerja PAM Jaya dan kedua operator.

Saling curiga

Keputusan Fauzi itu juga seperti bumerang. Akibat tarif tidak naik, sementara biaya operasional—termasuk imbalan operator—terus meningkat, PAM Jaya harus mengalami defisit (shortfall) yang cukup besar. Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA) mencatat, setidaknya shortfall mencapai Rp 580 miliar. Adapun Palyja mencatat shortfall PAM Jaya mencapai Rp 354 miliar.

Tingginya shortfall ini membuat gerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PAM Jaya, Badan Regulator, pemerhati air, dan pemerhati layanan publik. Mereka merasa, perjanjian kerja sama yang dibuat selama ini hanya menguntungkan operator swasta. Denda atas target yang tidak tercapai, misalnya, sangat ringan.

Untuk target mengurangi kebocoran air, operator hanya didenda Rp 80 juta untuk setiap persen yang tidak tercapai. Jadi, jika target yang tidak tercapai (selisih antara target dan realisasi) sebesar 5 persen, dendanya hanya Rp 400 juta. Sementara pihak-pihak lain di luar operator tidak bisa mengetahui apakah benar target itu tidak terealisasi.

Ada kecurigaan, sebenarnya kebocoran itu sudah bisa ditangani dan terjual, dan operator mendapat miliaran rupiah dari penjualan 5 persen air bocor itu. Menurut catatan Tim Non-Revenue Water PAM Jaya, nilai dari setiap persen air yang hilang mencapai Rp 17 miliar. Bisa dibayangkan kalau jumlahnya sampai 5 persen.

Kecurigaan itu dibantah Wakil Direktur Palyja Herawati Prasetyo. Menurut dia, Palyja selalu mencapai target pengurangan kebocoran yang ditetapkan bersama, bahkan sering kali melewati. ”Lagi pula, semua uang yang dibayarkan pelanggan dimasukkan ke dalam rekening bersama Palyja dan PAM Jaya. Dengan begitu, PAM Jaya bisa mengetahui jumlah air yang terjual,” kata Herawati.

Direktur Utama PAM Jaya Maurits Napitupulu mengakui, mereka memang mempunyai rekening bersama, di mana semua uang yang masuk dan keluar harus diketahui keduanya. Namun, Maurits mengatakan tidak mengetahui apakah uang yang disetorkan agen penagih itu benar-benar uang yang dibayarkan pelanggan seluruhnya atau sudah diubah oleh Palyja.

”Pasalnya, saya tidak ikut melihat dan menandatangani laporan dari agen penagih. Yang kami terima hanya master data dari operator,” ujar Maurits.

Melihat kondisi yang tidak menguntungkan bagi semua pihak ini, banyak pihak menyarankan agar kerja sama diakhiri. Namun, agaknya terminasi akan mendatangkan konsekuensi yang mahal bagi kedua belah pihak. PAM Jaya dan Pemprov DKI harus membayar ganti untung kepada operator yang tahun ini diperkirakan Rp 2 triliun-Rp 3 triliun. Jumlah yang sangat fantastis mengingat APBD DKI Jakarta 2011 sebesar Rp 27 triliun untuk semua kebutuhan.

Baik Palyja maupun Aetra juga menolak terminasi karena akan mendatangkan citra buruk bagi mereka. Mereka bisa kehilangan prospek bisnis yang sangat besar.

”Mengingat kontrak Jakarta berat sebelah, seharusnya Gubernur tidak perlu khawatir untuk maju ke pengadilan mana pun. Para hakim atau arbiter pasti akan melihat klausul kontrak, serta sepanjang logika dan hati nurani digunakan, pasti tidak akan ada hakim atau arbiter yang akan memenangkan kontrak konyol yang dipunyai DKI saat ini,” kata Nila Ardhianie, Direktur Amrta Institute for Water Literacy.

Kini, Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan DKI Jakarta berniat mengaudit semua pihak yang terkait dalam layanan air ini. Tahun 2009, BPK hanya mengaudit PAM Jaya. Kini, selain PAM Jaya, BPK juga akan mengaudit kedua operator dan Badan Regulator. Kita tunggu saja apa hasil laporan BPK ini. Semoga audit ini bisa mengurai benang kusut dari tata kelola air bersih ini dan semua pihak tahu langkah apa yang harus mereka ambil. M Clara Wresti



Post Date : 08 Juli 2011