Traktor Juga Digunakan Menjajakan Air

Sumber:Kompas - 16 Agustus 2011
Kategori:Air Minum

Traktor tangan lazimnya dimanfaatkan untuk mengolah sawah, seperti membajak, meluku, dan menyisir petak sawah. Di Desa Ria, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, alat pertanian berharga sekitar Rp 22 juta itu juga dimanfaatkan untuk menjajakan air bersih.

Manfaat gandanya mengikuti musim. Selama musim hujan traktor sepenuhnya dimanfaatkan mengolah lahan pertanian. Kebetulan sawah milik warga di Desa Ria rata-rata adalah sawah tadah hujan sehingga hanya diolah sekali setahun. Pada saat itu, traktor bergandengan dengan mata bajak.

Sebaliknya, selama kemarau, traktor digunakan menjajakan air. Saat itu gandengan mata bajak dilepas dan diganti dengan gerobak khusus bermuatan jeriken untuk menjajakan air. Gerobak itu dipesan dari sejumlah bengkel di Soa (kecamatan tetangga) atau Bajawa, kota Kabupaten Ngada. Harganya Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per buah.

Terobosan menggandakan manfaat traktor adalah inisiatif menangkap peluang usaha atas kesulitan air bersih di Desa Ria, sekitar 85 kilometer sebelah utara Bajawa. Desa Ria sendiri yang kini berpenduduk 1.028 jiwa didukung empat anak kampung, yakni Tengkel Wuntung, Nawang, Nggiring Ling, dan Wate. Sejauh ini kesulitan air bersih menimpa secara merata, namun paling parah mendera warga Tengkel Wuntung yang berpenduduk 48 keluarga atau sekitar 300 jiwa.

Di wilayah desa itu terdapat tiga alur sungai, yakni Waesangan, Waebari, dan Alolain. Dua sungai pertama di sekitar kaki bukit kampung, debitnya terus merosot menyusul kemarau. Hingga Sabtu (16/7) atau sekitar dua bulan menyusul kemarau, kedua sungai menyisakan air yang nyaris tidak mengalir di dasar alur. Airnya keruh karena sekaligus menjadi sumber air minum hewan atau tempat kerbau berkubang. Penduduk membangun ceruk atau sumur mini seadanya untuk menampung rembesan air yang relatif bersih di tepi alur.

”Selama kemarau seperti sekarang ini, kami, warga Desa Ria, mengonsumsi air dari sumber yang juga menjadi tempat kerbau berkubang atau hewan minum,” keluh Paulus Pantar, tokoh masyarakat Ria yang pensiunan guru SD Inpres Wate di Ria, Sabtu siang.

Sumber air lainnya, Sungai Alolain, debitnya lumayan besar dan terus mengalir sepanjang tahun. Sayang, jaraknya jauh, yakni 1,5 km-2 km dari perkampungan. Bentangan alurnya pun di kedalaman sekitar 100 meter-150 meter dari permukaan Tengkel Wuntung, kampung terdekat dan tertinggi di Desa Ria. Sungai itu selalu menjadi pilihan terakhir ketika dua sumber lainnya di sekitar kampung mengering pada puncak kemarau. ”Selama kemarau, waktu kerja kami habis hanya untuk kebutuhan air,” tutur Kepala DusunTengkel Wuntung Siprianus Siling,

Rp 50.000 per 300 liter

Di Kabupaten Ngada, Desa Ria, tidak hanya masih terbelenggu kesulitan air bersih, tapi juga terisolasi. Jaringan jalan dari Bajawa hingga Riung—termasuk Desa Ria—berstatus jalan provinsi, namun kondisinya terabaikan. Dari keseluruhan sekitar 85 km itu, hanya sebagian jalan beraspal mulus. Selebihnya, jalan berlubang-lubang dalam dan berlumpur selama musim hujan.

”Jaringan jalan itu memang parah. Dengan persetujuan DPRD Ngada, saya terpaksa harus menyisihkan dana khusus untuk memperbaikinya secara darurat sekadar bisa dilalui kendaraan. Padahal, perbaikan jalan itu kewajiban provinsi sesuai statusnya,” ungkap Bupati Ngada Marianus Sae, Jumat (15/7).

Kepala Desa Ria Alex Songkares mengakui, masyarakat di desa itu, menyusul kemarau lebih dari sebulan lalu, sudah mengeluh bahkan menjerit kesulitan air. Pada saat yang sama, air bersih yang dijajakan dengan traktor laku keras. Harganya lumayan mahal, satu gerobak berisi air sekitar 300 liter dan dijual Rp 50.000. Sekadar pembandingnya, di Kota Kupang dan sekitarnya, satu tangki air berisi 5.000 liter dipasarkan seharga Rp 60.000. Di Desa Ria setidaknya ada delapan keluarga petani pemilik traktor, lima di antaranya bermanfaat ganda karena dilengkapi gerobak khusus menjajakan air. Salah satunya adalah milik Ansel Bajo.

”Traktor kami selama musim hujan mengolah sawah, dan selama kemarau menjajakan air,” tutur Maxi Lay (13), ketika sedang mengoperasikan traktornya untuk menjajakan air di Tengkel Wuntung. Siswa kelas VI SD itu mengaku sudah terbiasa mengoperasikan traktornya, namun hanya untuk menjajakan air selama kemarau. Kegiatan itu biasanya ia lakoni selepas sekolah atau hari libur. ”Jika beruntung, saya selama kemarau bisa melayani 200 pesanan (setara Rp 10 juta),” tutur bungsu dari empat bersaudara anak pasangan Ansel Bajo dan Rosaliana Ene tersebut.

Maximus No (48), warga Kampung Tengkel Wuntung, menuturkan, dia membeli air yang dijajakan gerobak traktor, terutama saat keluarga membangun rumah tembok atau pesta di rumah. ”Saya saat ini sedang membangun rumah tembok. Hanya untuk fondasinya saja butuh enam gerobak air, yang berarti harus mengeluarkan biaya khusus Rp 300.000,” keluh No yang juga Ketua RT Lobor di Tengkel Wuntung.

NTT adalah provinsi kering dan gersang karena hujannya hanya sekitar tiga bulan dalam setahun. Rata-rata sungai atau sumber air lainnya mengering pada puncak kemarau.

Di Flores, misalnya, keluhan kesulitan air bersih tidak hanya di Desa Ria. Masalah serupa terjadi hampir merata di seluruh wilayah. Masyarakat Tuwa (sekitar 750 jiwa) di Desa Golo Ronggot, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat, sejak sebulan lalu harus mengambil air sejauh lebih kurang 3 km dari kampung mereka.

Persoalan sama menimpa warga Dusun Lada (berpenduduk 1.100 jiwa atau 254 keluarga) di Desa Pong Ruan, Kecamatan Kota Komba (Manggarai Timur), Desa Rakateda 2 (1.407 jiwa) di Kecamatan Golewa (Ngada), atau warga Wolomunde di Desa Teka Ike, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka. Kesulitan air bersih di NTT dipastikan sulit teratasi jika hanya mengandalkan alokasi dana APBD.

”Kesulitan air bersih adalah beban yang tidak ringan karena kasusnya hampir merata di seluruh wilayah, sementara APBD sangat terbatas. Kami sangat mengharapkan dan berterima kasih jika ada lembaga swasta atau pihak lain yang ikut membantu mengatasi kesulitan air bersih di daerah ini,” tutur Bupati Manggarai Timur Yosep Tote di Borong (kota kabupaten), Senin (18/7) pagi. FRANS SARONG



Post Date : 16 Agustus 2011