Tugas Ringan yang Tidak Dijalankan

Sumber:Kompas - 19 September 2011
Kategori:Air Minum

Dalam sehari, kolam tampung air hujan hasil penelitian Edi Prasetyo Utomo dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mampu menginjeksikan air hujan ke tanah sebanyak 700 kali tangki berkapasitas 5.000 liter. Pekerjaan ini sebetulnya ringan, tetapi tak dijalankan pemerintah.

Saya mempunyai grup diskusi ilmiah dari beberapa negara dan sudah mengunjungi aplikasi injeksi air hujan di sejumlah negara, seperti Thailand, Vietnam, Taiwan, dan Jepang. Pekerjaan ini sebetulnya mudah dan murah untuk mengatasi persoalan kekeringan, tetapi tidak dijalankan di Indonesia,” kata Edi, peneliti senior bidang konservasi kebumian ini.

Musim kemarau tahun 2011 relatif singkat. Namun, musim kemarau yang berlangsung sekitar tiga bulan berdampak luas.

Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, Jumat pekan lalu, melaporkan, musim kemarau saat ini menyebabkan kekeringan. Sebanyak 20 waduk dalam status Waspada, tujuh waduk dinyatakan Kering. Selain itu 43 waduk Normal.

Waduk besar dalam status Waspada, antara lain Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, di Jawa Barat, Bili-bili di Sumatera Selatan, Sermo di Yogyakarta. Di Jawa Tengah ada Waduk Song Putri, Nawangan, Sudirman, dan Rawapening.

Waduk dengan status Kering di Jawa Tengah adalah Plumbon, Kedungguling, Ngancar, Lalung, Delingan, Botok, dan Brambang.

Sutopo menyatakan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, defisit air sejak tahun 1995. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, pada periode 2010-2020 rata-rata hujan akan berkurang dibandingkan periode 1978-2007. Periode 2016-2020 diproyeksikan jauh berkurang dibandingkan periode 2010-2015.

”Pengelolaan air pada masa depan menghadapi tantangan lebih berat,” kata Sutopo.

Edi mengupayakan salah satu jawaban atas tantangan itu, yaitu, memanen air hujan kemudian menyimpan ke dalam tanah dan menggunakan air di musim kemarau meski secara teori tetap memprioritaskan pemanfaatan air permukaan.

Tahun 2009, Edi membuat kolam tampung air hujan 13 meter x 21 meter dengan kedalaman 3 meter di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Hingga tahun 2010 dibuat tiga sumur injeksi dengan pipa berdiameter 10 sentimeter sampai kedalaman 16 meter, 32 meter, dan 63 meter.

Catatan volume air hujan maksimal yang berhasil diinjeksikan ke lapisan akuifer tanah pada 19 Januari 2011 mencapai 3.448 meter kubik dalam sehari. Jumlah itu setara 700 tangki berkapasitas 5.000 liter.

”Dibandingkan dengan biaya dan kerepotan pemerintah mendistribusikan 700 tangki air bersih setiap hari untuk mengatasi kekeringan di suatu daerah, sumur injeksi bisa membantu,” kata Edi.

Tak pernah dikontrol


Dari hasil survei di sejumlah negara, Edi menjumpai aplikasi sumur injeksi di pemukiman, perkebunan, sawah, ataupun area tambak udang yang membutuhkan pasokan air tawar.

Pemerintah sebetulnya sudah membuat kebijakan, seperti kewajiban pembuatan sumur resapan di setiap pemukiman. Tetapi, tidak pernah dikontrol pelaksanaannya.

Pemerintah juga tidak pernah mengidentifikasi volume air tanah yang diambil dari setiap lapisan akuifer. Di pemukiman biasanya diambil air tanah pada lapisan akuifer dangkal, misalnya 20 meter. Semestinya, volume pengambilan tanah diperhitungkan.

Tugas sepele lain, misalnya pengambilan air tanah dalam di kawasan industri. Semestinya, pengambilan air tanah diimbangi pemasukan air hujan melalui sumur injeksi.

”Perkebunan Thailand tidak pernah kekeringan di musim kemarau, karena di musim hujan memasukkan air hujan melalui sumur injeksi,” kata Edi.

Di Taiwan, sumur injeksi diterapkan di tambak udang dan mampu meningkatkan produksi udang. Di daerah industri di Vietnam, aplikasi sumur injeksi dipantau akuntabilitasnya.

Menurut Edi, Jepang merupakan negara yang paling sadar memanen air hujan. Di Indonesia sebetulnya cukup banyak aplikasi sumur injeksi dilengkapi sumur pantau, tetapi akuntabilitasnya masih lemah. Sebarannya tidak sampai ke desa-desa maupun daerah yang berpotensi kekeringan di musim kemarau, tetapi kebanjiran di musim hujan.

Untuk menekan biaya operasional, Edi menyarankan, pembuatan sumur injeksi menggunakan daya gravitasi untuk memasukkan air hujan ke dalam tanah. Untuk menjaga kebersihan, air harus disaring ketika masuk ke sumur injeksi.

Lapisan ijuk dan kerikil merupakan bahan termurah untuk menyaring air. Kedalaman sumur injeksi diperhitungkan dengan tingkat pengambilan air tanah.

Jumlah seimbang

Hal yang perlu dilakukan adalah mengukur pemakaian air tanah di setiap lapisan akuifer. Di pemukiman harus bisa diketahui jumlah pengambilan air tanah dangkal sehingga penyuntikan volume air ke dalam lapisan itu dapat disesuaikan. Begitu pula untuk area industri ataupun perkebunan.

Edi mengingatkan, metode injeksi air hujan sebaiknya digunakan untuk dataran rendah. Di dataran tinggi hal ini berpotensi meningkatkan kejenuhan air di lapisan tanah yang bisa mendatangkan longsor.

Sumur injeksi dinilai lebih efisien daripada embung. Embung berukuran relatif kecil tidak mampu menahan air dalam waktu lama selama musim kemarau karena terjadi evaporasi atau penguapan yang cukup banyak.

Lagipula, pemasukan air ke dalam tanah melalui embung hanya sebatas pada lapisan dangkal. Padahal, pengambilan air tanah untuk berbagai keperluan di bidang industri, sawah, atau perkebunan bisa mencapai sumur dalam hingga 100 meter atau lebih.

Memanen hujan tampak sederhana. Ini didengungkan setiap kali ada musibah kekeringan. Tetapi, pemerintah masih saja berjalan di tempat. Nawa Tunggal



Post Date : 19 September 2011