Agenda Setting dan Pengorganisasian Pelaku Media untuk STBM

15 Januari 2013
Dibaca : 1306 kali

 

Pada tanggal 13 Desember 2012, High Five Kota Medan menyelenggarakan Media Gathering untuk Pengarusutamaan STBM Dalam Karya Jurnalistik  Dengan tema “Talkshow dan Bedah Kasus Hasil Peliputan Media Terkait Sanitasi & Higiene Di Kota Medan”, kegiatan ini bertujuan untuk membangun pemahaman peran media sebagai alat advokasi pencapaian tujuan strategi nasional. Adapun yang menjadi nara sumber adalah dari Bappenas, Kementerian Kesehatan, serta beberapa wartawan senior media nasional.

Betulkah sanitasi bukan isu yang seksi dan tidak menarik menjadi sumber berita? Pengalaman kami (High Five), ternyata sebaliknya. Di Medan, satu minggu setelah pelatihan  STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) diselenggarakan untuk para jurnalis, Koran “Analisa Medan”, 14 Oktober 2012 menerbitkan pemberitaan tentang sanitasi dan higiene sebanyak dua halaman penuh berisi 6 artikel dan 4 foto. Demikian dengan “Sumut Pos”, pada tanggal 21 Oktober 2012 menulis tentang pengelolaan air minum vs depot air isi ulang, juga sebanyak 2 halaman penuh berikut foto ilustrasi pendukung.

            Dukungan media untuk STBM dalam bentuk realese cukup sering, tidak hanya setelah pelatihan STBM. Release muncul secara konsisten dan rutin, teman-teman menyebutnya dengan ‘agenda setting’. Melalui forum (komunitas) peduli sanitasi, atau organisasi sejenis yang ada di wilayah, ‘agenda setting’ STBM untuk media terjadi dikalangan jurnalis.

            Ketika pertama kali meyelenggarakan pelatihan STBM, keraguan sempat muncul apakah mungkin ‘mengikat’ para jurnalis untuk betah duduk mengikuti pelatihan selama tiga hari ?. Teman-teman High Five di Makasar, Medan dan Surabaya berhasil melakukan itu melalui beberapa kiat, antara lain: Pertama, peserta pelatihan merupakan hasil seleksi berdasarkan artikel sanitasi dan higiene yang dibuat dan dikirim calon peserta ke panitia;  Kedua, penyertaan surat ijin (rekomendasi) dari pimpinan media untuk mengikuti pelatihan selama tiga hari penuh; Ketiga, ada nara sumber pelatihan yang kredibel dari tingkat nasional.  Tiga syarat tersebut cukup menjadi dasar untuk mengikat jurnalis mengikuti pelatihan secara penuh.

            Dalam implementasinya, tentu saja peserta tetap diberi ruang untuk dapat menjalankan tugas hariannya antara lain. Berdasarkan kontrak belajar yang para jurnalis buat dan sepakati, mereka tetap diperbolehkan untuk izin melakukan liputan di tempat lain. Hanya saja dibatasi 1 kali saja dan tidak boleh melebihi 3 sesi materi. Jika melanggar, mereka mendapat sanksi untuk membuat review materi hari berikutnya. Selama mengikuti pelatihan, peserta juga diperbolehkan sambil menulis dan mengirimkan berita ke media tempat mereka kerja.

            Faktor pertemanan dengan para jurnalis, sekalipun bukan faktor utama memang tidak bisa di lepaskan. Di Makasar, distrik koordinator kami memiliki hubungan pertemanan yang cukup baik dengan para pelaku media, teman ngrobrol akrab dan “kongkow-kongkow”. Demikian juga di Medan, Warkop Ramses bisa dikatakan ‘basecamp’ dimana kongkow dan kumpul-kumpul dengan para jurnalis biasa dilakukan. Namun pertemanan hanyalah sebuah pintu masuk, kunci utamanya adalah pada bagaimana jejaring dan kerja-kerja pengorganisasian bersama para jurnalis dilakukan. Harus diyakini bahwa wartawan, siapapun mereka, sangat butuh dengan sumber berita. Sanitasi sebenarnya merupakan sumber berita yang tak kalah menarik dengan isu-isu lainnya.

            Agenda Setting dalam proses lebih lanjut juga cukup menentukan, bukan hanya membantu menjaga ritme jejaring, lebih dari itu adalah membangun kepedulian. Di Medan ada Komunitas Jurnalis Peduli Sanitasi (KJPS). Ketika kepedulian telah terbentuk, anggota KJPS secara beramai-ramai bisa berangkat menghadap pimpinan daerah untuk program sanitasi (saat itu program STBM). Kekuatan jurnalis yang mengatasnamakan STBM tersebut, ternyata cukup ampuh untuk membantu proses advokasi.  (Asep M. Mulyana - High Five)

Share