Arsono, Tukang Kue "Gila" yang Membersihkan Lautan Sampah di Muara Sunda Kelapa

24 November 2014
Dibaca : 2243 kali


Minggu pagi. Matahari belum tinggi. Sinarnya masih hangat menyapa bumi. Belasan remaja tampak berkubang di muara sungai yang airnya tampak keruh berwarna kelabu. Sungai itu terletak di belakang Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara, tak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa.

Dengan tangan kosong, mereka memunguti aneka sampah yang mengambang di muara sungai yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari bibir Laut Jawa. Mereka memasukkan sampah-sampah ke dalam karung di atas sebuah sampan. 

Aksi turun ke sungai memunguti sampah pada Minggu pagi itu berlangsung sekitar 2,5 jam. Tumpukan sampah yang mengambang di atas sungai terlihat berkurang, berpindah ke dalam dua karung penuh di atas sampan.

"Sampah-sampah ini nanti kita bawa ke posko. Di sana kita pilah-pilah. Ada yang kita jadikan kompos. Kalau ada yang masih bisa kita gunakan, kita pisahkan. Sisanya kita buang ke tempat penampungan sampah RW," kata Arsono, di tepi sungai, Minggu pagi itu.

Arsono, lelaki 35 tahun, adalah sosok di balik kegiatan ini. Sejumlah orang mengatakan, mustahil membersihkan lautan sampah di sungai. Namun, ia tak peduli.

Ia melakukannya sejak tahun 2011, setelah 10 tahun tinggal di sana dan menjadi bagian dari pelaku buang sampah sembarangan ke sungai.

Kebiasaan

Arsono tinggal di RT 01, RW 04, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, sejak 2001. Menjadikan sungai sebagai tempat sampah adalah kebiasaan turun-temurun warga di sana.

"Perilaku masyarakat di sini ya membuang sampah di kali. Jadi, saya pun terbawa dari budaya membuang sampah di kali. Saya termasuk pelaku pembuang sampah di kali juga," tutur Arsono.

Saat kali pertama tinggal di kampungnya ini, menurut dia, tempat sampah adalah barang langka. Tempat sampah terdekat berjarak 300 meter dari tempat tinggalnya, terletak di Pasar Ikan. Tempat-tempat sampah di tiap rumah tidak ada sama sekali.

"Kalaupun kita mau buang sampah, jauh. Perlu waktu, harus naik motor dulu, jauh. Lalu, kalau ke sungai kan tinggal lempar doang, beres, he-he-he," ujar dia sambil terkekeh.

Di muara sungai itu, aneka plastik, kertas, sampah makanan, kayu, dan berbagai barang yang tak jelas bentuknya menumpuk tak keruan. Muara sungai itu serupa tempat pembuangan akhir sampah. Air sungai sampai-sampai tak kelihatan tertutup oleh tumpukan sampah.

Bukan hanya tak sedap dipandang mata, aliran sungai yang terletak persis di sisi perkampungan itu tak pelak menjadi sarang bakteri sumber penyakit. Diare, penyakit yang banyak menyebabkan kematian pada anak-anak, salah satunya bermula dari kondisi lingkungan yang tidak sehat ini.

Di sepanjang sungai itu, ribuan rumah yang berdiri di sana menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir limbah rumah tangga mereka. Jamban dibangun di atas sungai. Kotoran manusia jatuh langsung ke sungai, dan mengendap di Pelabuhan Sunda Kelapa.


Kesadaran

Pada tahun 2011, tiba-tiba ada kesadaran yang menyeruak di hatinya. Saat itu, ia ditunjuk oleh Kelurahan Penjaringan untuk menjadi kader lingkungan. Ia mengikuti penyuluhan tentang perilaku hidup sehat dan bersih. Seusai ikut penyuluhan itu, ia mendadak mendambakan lingkungan tempat tinggal yang bersih dan sehat.

Pada kesempatan lain pada tahun itu, ia juga tiba-tiba tersentuh ketika mengikuti sebuah pengajian.

"Saya ada dengar kata-kata dalam pengajian, begini, 'Telah terjadi kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah tangan manusia'. Dari situ, saya berpikir, ini harus ada perubahan, bagaimanapun caranya," kata Arsono.

Daripada mengutuk kegelapan, Arsono memilih menyalakan lilin. Hal paling mencolok yang ia lihat adalah soal tumpukan sampah yang menutupi air sungai. Niatnya hanya satu. Ia ingin sungai yang terletak sekitar 30 meter dari rumahnya bersih dari tumpukan sampah. Tumpukan sampah di sungai itu harus diangkut.

Bagaimana caranya? Muskil mengharapkan pemerintah setempat turun tangan. Daripada menunggu pemerintah memberi perhatian, ia memilih turun sendiri. Ia menyewa sampan nelayan seharga Rp 30.000.

Ada beberapa anak muda yang bersedia menemaninya turun pertama ke sungai. Sebagai imbalan, ia membelikan gorengan kepada anak-anak muda itu. Semua dari koceknya sendiri. Sehari-hari, Arsono dan istrinya berjualan kue jajanan pasar. Ia menitipkan kue-kuenya di sejumlah warung.

Namun, menyewa sampan itu hanya terjadi sekali. Berikutnya, tak ada nelayan yang mau menyewakan sampannya.

"Tukang sampannya merasa rugi karena perahunya bau. Kita kan ambil sampah rumah tangga yang kadang-kadang ada popok, ada macam-macam, baulah," kata Arsono.

Tak ada sampan bukan berarti niatnya berhenti. Ia turun langsung ke sungai yang kotor, berbasah-basah mengarungi lautan sampah.

Keajaiban

Ketika tak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya, keajaiban datang. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, ia menemukan sebuah sampan fiber berwarna biru sepanjang dua meter teronggok. Di buritannya tertulis "Pemerintah Provinsi DKI Jakarta".

Nelayan di sana tidak tahu sampan itu milik siapa. Pihak kelurahan juga tidak mengakui sampan itu milik mereka. Ada yang mengatakan, sampan teronggok itu berasal dari Kepulauan Seribu.

Jadilah sampan yang "datang tiba-tiba" itu ia gunakan sebagai "kendaraan operasional" untuk membersihkan sampah.

"Akhirnya, saya bisa dapat sampan sendiri. Ukurannya dua meteran. Saya dapat sampan itu dari Kepulauan Seribu, nyasar kayaknya. Enggak ada yang pakai. Jadi, saya saja yang pakai," kata dia.

Kegiatan Arsono jadi "polisi sampah" di muara Sunda Kelapa bukan tanpa cibiran. Sejumlah warga menasihatinya agar tidak menghabiskan waktu percuma. Menurut mereka, membersihkan sampah di muara sungai itu adalah sia-sia.

Dia pun berinisiatif untuk meminta bantuan kepada RW dan Lurah Penjaringan.

"Pak RW kasih respons bagus. Kalau Lurah Penjaringan yang sebelumnya, belum begitu respons," kata dia.

Bantuan pun datang. Pihak kelurahan membangun tempat penampungan sampah dan memberikan gerobak sampah di RW 04.

Kompling

Bersama sejumlah anak muda di kampung itu, Arsono mendirikan Kompling, Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan, pada Oktober 2011. Ada 20 remaja yang bergabung dari 1.200 kepala keluarga di RT itu.

Anggota Kompling kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah menengah atas. Ada yang masih sekolah. Ada pula yang putus sekolah.

Sekitar 20 meter dari rumahnya, Arsono mendirikan posko Kompling. Di posko itu, sampah dikumpulkan, dipilah-pilah, sebelum dibuang ke tempat penampungan sampah RW.

Setiap minggu pagi, anggota Kompling turun ke sungai, memunguti sampah. Tak semua anggota Kompling selalu bisa ikut turun ke sungai. Pernah, Arsono turun hanya dengan satu orang.

Reza Rinaldi (18), salah seorang anggota Kompling, mengaku awalnya jijik memunguti sampah. Namun, lambat laun ia terbiasa.

"Sudah biasa pegang sampah. Buat apa jijik, kita kan demi membersihkan kampung kita supaya bersih. Kalau kotor, tinggal cuci tangan," kata Reza.

Kondisi sungai di RT 01 sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Dulu, air sungai tak terlihat tertutup sampah. Kini, meski sampah tak surut berserakan, air sungai berwarna kelabu mulai terlihat.

Arsono sendiri berharap agar tingkat kesadaran masyarakat akan kebersihan bisa semakin bertambah. Lingkungan yang sehat, kata dia, bermula dari perilaku hidup yang sehat. Lingkungan hidup yang sehat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anggota keluarga yang sehat.

"Warga yang tidak buang sampah di laut sudah 80 persen, dari total 1.200 kepala keluarga," tutur pria yang kini menjabat sebagai Ketua RT 01 itu.

Sumber ; link

Share