Melihat Kembali Modal Daerah Dalam Mencapai AKSES UNIVERSAL

02 Februari 2015
Dibaca : 1647 kali

Apakah kita punya modal dasar untuk mencapai akses 100 persen air minum dan sanitasi? Untuk mencapai target akses 100 persen maka komitmen Pemerintah Daerah dan pusat harus ada sejak awal. Jika melihat proses penetapan target ini, jelas bahwa Pemerintah Pusat sudah berkomitmen untuk mendukung pencapaian akses universal.

Lalu apa indikator utama Pemerintah Kabupaten/kota mendukung dan berkomitmen mencapai target 100 persen? Jawabannya sederhana. Sama seperti di pusat, indikatornya adalah pencantuman target 100 persen pada RPJMD masing-masing kabupaten/kota.

Apakah semudah itu bagi seorang kepala daerah untuk mencantumkan target yang cukup ambisius tersebut? Cukup relevan jika kita memposisikan diri sebagai seorang kepala daerah dan membayangkan apa yang harus dipertimbangkan sebelum percaya diri menyatakan: "Ya, kita mampu dan akan memenuhi target 100 persen akses AMPL...!" 

Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah daerah punya modal cukup dan strategi untuk mencapai 100 persen? Jika tidak, sangat riskan untuk dicantumkan sebagai salah satu target RPJMD.

Jadi masalahnya disini adalah modalitas, confidence, dan strategi. Modalitas yang tinggi tanpa didukung oleh strategi yang baik tidak akan membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan. Untuk kesempatan kali ini, mari kita fokus pada modalitas dahulu.

Modalitas adalah modal yang dimiliki daerah untuk melaksanakan suatu misi tertentu. Dalam pembangunan AMPL, masalah modalitas sebenarnya sudah secara sporadis disinggung di sana-sini. Namun, belum dilakukan pendekatan secara sistematis untuk mengukur modalitas suatu daerah untuk pembangunan AMPL. Nawasis, melalui tim kreatifnya, mencoba mengembangkan metode untuk memetakan modalitas daerah dalam mencapai akses universal.

Saat ini, modul modality mapping yang dikembangkan di www.Nawasis.info baru sebatas untuk Sub sektor air minum. Modul untuk sub sektor air limbah dan persampahan diperkirakan awal tahun 2015 sudah bisa tersedia.

Ukuran tinggi rendahnya modalitas suatu daerah dalam pembangunan air minum dapat ditentukan ke dalam beberapa parameter, yaitu (i) ketersediaan air baku untuk air minum; (ii) ketersediaan perencanaan Sub sektor air minum; (iii) ketersediaan peraturan yang mendukung; (iv) kesehatan lembaga pengelola air minum; dan (v) ketersediaan pendanaan.

Daerah perlu menilai kondisi masing-masing untuk setiap parameter. Untuk melakukan penilaian ini digunakan sistem scoring. Demi kemudahan pengisian, tim Nawasis membuat modul ini bisa diisi dan digunakan semudah mungkin oleh pemerintah daerah. Kemudahan tersebut didesain tanpa mengabaikan prinsip dasar sebuah pemetaan modalitas. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat langkah demi langkah penggunaan modul ini.

Langkah 1. Menghitung kebutuhan air minum di wilayah anda dan perkiraan biaya sambungan rumah (SR)

Untuk menghitung kebutuhan air, rumusnya adalah:

Jumlah penduduk yang belum mendapatkan akses air minum + jumlah pertambahan penduduk 5 tahun ke depan x asumsi kebutuhan air minum per orang/hari.

Asumsi kebutuhan air minum yang minimum harus disediakan adalah 60 liter/orang/hari. Sementara untuk biaya sambungan rumah dapat disesuaikan dengan standar biaya di daerah masing-masing.

Angka kebutuhan air minum tersebut dimasukan ke dalam modul modality mapping seperti pada gambar berikut.

Gambar 1.

Pengisian Data Umum pada Modul Modality Mapping Nawasis

Langkah 2. Menghitung kapasitas air terolah yang belum dimanfaatkan dan potensi penurunan kebocoran.

Informasi mengenai kapasitas air terolah (idle capacity) yang belum dimanfaatkan dan potensi penurunan kebocoran air dapat didapatkan di PDAM atau Dinas Pekerjaan Umum. Angka tersebut dimasukkan pada modul, seperti pada gambar berikut.

Gambar 2.

Pengisian Data Ketersediaan Air Terolah pada Modul Modality Mapping Nawasis

Langkah 3. Menghitung potensi air baku yang belum termanfaatkan

Informasi ini bisa didapatkan melalui Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan dan Dinas Pertambangan dan Energi. Sekiranya data ini sulit didapatkan, untuk sementara dapat dilakukan estimasi. Angka estimasi tersebut dimasukkan pada modul, seperti pada gambar berikut.

Gambar 3.

Pengisian Data Ketersediaan Air Baku Belum Termanfaatkan

Langkah 4. Menentukan ketersediaan peraturan yang mendasari pelaksanaan pembangunan air minum di daerah

Untuk kemudahan pengisian, sementara ini disediakan pilihan sederhana, yaitu (i) Ketersediaan peraturan payung setingkat Peraturan Daerah, Peraturan kepala daerah ataupun Keputusan kepala daerah; dan (ii) Ketersediaan peraturan teknis setingkat dengan peraturan kepala dinas dan/atau peraturan menteri yang menjadi standar baku dalam pembangunan air minum di daerah.

Gambar 4.

Pengisian Data Ketersediaan Air Baku Belum Termanfaatkan

Langkah 5. Menentukan ketersediaan dokumen perencanaan yang dirujuk sebagai dasar pembangunan air minum di daerah

Pengisian disini ditampilkan dalam bentuk pilihan sederhana yang menunjukkan ketersediaan dokumen Rencana Induk, Renstra, Rencana Aksi Daerah atau Rencana Kerja Daerah untuk sub sektor air minum. Berikut ini contoh pilihan yang disediakan.

 

Gambar 5.

Pengisian Data Terkait Keterserdiaan Dokumen Perencanaan

Langkah 6. Menentukan tingkat kesehatan pengelola/operator air minum di daerah

Pada tahap ini, ditentukan tingkat kesehatan pengelola air minum dengan memilih pilihan yang tersedia.


Gambar 6.

Pengisian Data Terkait Kesehatan Pengelola Air Minum

Langkah 7. Menyimpan dan melihat hasil analisis

Dengan melakukan langkah terakhir ini, maka sudah dapat dilihat hasil analisis expert system Nawasis dan usulan rekomendasi untuk pembangunan air minum. Berikut ini contoh hasil analisis dan rekomendasi.

Gambar 7.

Hasil Analisis dan Rekomendasi

Dari contoh hasil analisis dan rekomendasi di atas, dapat dilihat beberapa hal, yaitu:

  1. Secara umum, index modalitas pemerintah daerah yang bersangkutan adalah moderat atau cukup tinggi. Namun, parameter yang cukup lemah adalah parameter perencanaan, kesehatan pengelola dan pendanaan. Oleh karena itu, strategi yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kapasitas perencanaan dan penyusunan dolumen perencanaan; peningkatan kesehatan pengelola air minum melalui berbagai program pengembangan kapasitas; dan peningkatan alokasi pendanaan untuk air minum melalui sumber non-APBD.
  2. Hasil rekomendasi strategi secara umum adalah Optimalisasi Kapasitas Air Terolah. Hasil analisis yang dihasilkan expert system ini menunjukkan bahwa dari sisi suplai daerah masih dapat mencukupi kebutuhan air minum tanpa harus membangun suplai baru. Untuk itu rekomendasi yang diberikan adalah optimalisasi kapasitas air terolah. Berdasarkan hasil ini, maka Pemerintah Daerah bersangkutan dapat mengambil keputusan untuk mengembangkan program optimasi jaringan distribusi PDAM atau program pengurangan tingkat kebocoran air.

Dari hasil ilustrasi ini, terdapat beberapa manfaat yang dapat diterima oleh pemerintah. Beberapa manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Adanya informasi tingkat modalitas daerah dalam mencapai target universal access dapat mendukung pemerintah daerah untuk secara tegas menyatakan daerahnya mampu mencapai target 100 persen atau tidak. Hal ini dapat menjadi bahan advokasi berbasis data kepada kepala daerah dan pimpinan legislatif untuk mencantumkan target 100 persen pada RPJMD;
  2. Pemerintah Daerah dapat melihat parameter yang perlu dukungan dari pusat maupun provinsi. Dengan demikian, kebutuhan daerah terkait penguatan kapasitas dan advokasi peningkatan modalitasnya pada parameter dimaksud menjadi lebih jelas;
  3. Adanya indeks tingkat modalitas daerah untuk mencapai universal access memberi kemudahan bagi Pemerintah Provinsi untuk memetakan daerah mana yang membutuhkan dukungan lebih dan mana yang hanya membutuhkan sedikit dorongan untuk mencapai target 100 persen. Perencanaan program seperti pembangunan SPAM Regional akan sangat terbantu dengan adanya informasi modalitas ini, khususnya yang terkait dengan parameter ketersediaan air baku;
  4. Pemerintah Provinsi akan sangat terbantu dalam menentukan kesiapan provinsi mencapai universal access;

Perlu diakui, modul modality mapping ini masih sangat sederhana dan masih dapat dikembangkan lagi. Modul ini dibuat sederhana berdasarkan ketersediaan data serta agar pem

erintah daerah mudah dan mau memanfaatkan modul modality mapping.

Terlepas dari berbagai kelemahan yang ada, harus kita akui saat ini sudah tersedia perangkat untuk mengukur kesiapan daerah dalam mencapai universal access. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hasil pemanfaatan modul ini diterjemahkan ke dalam pengembangan strategi pembangunan AMPL. Ini adalah tantangan Nawasis berikutnya, yaitu pengembangan expert system untuk pengembangan strategi berbasis data. (Fany)

 

Share