Meneropong Terowongan Multiguna
Artikel Majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013
19 Februari 2013
Dibaca : 1978 kali
Meneropong Terowongan Multiguna
Artikel Majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2013
Secara teknis dan geologi,
tak ada kendala dengan proyek terowongan multiguna. Masalah justru terletak
pada layak atau tidak secara finansial.
Selama 10 hari di awal tahun, kawasan Pluit dan Penjaringan terendam air
limpasan Waduk Pluit. Kerugian ditaksir triliunan rupiah. Efektivitas waduk di
utara Jakarta ini pun dipertanyakan. Padahal waduk juga akan dijadikan
penampung air deep tunnel reservoir
system atau terowongan multiguna.
Ujung terowongan yang menyalurkan air Sungai Ciliwung dari Cawang berada di
bawah waduk. Air lantas dipompa ke atas. “Kami terus mengkaji plus-minus proyek
ini,” kata Arie Setiadi Moerwanto,
Direktur Bina Penatagunaan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, selaku
ketua tim bentukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
Gagasan pembuatan terowongan muncul sekitar tujuh tahun silam. Adalah Firdaus Ali, dosen Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, yang melontarkan ide tersebut. Ia
mendapat ilham setelah mengunjungi terowongan di Boston, Chicago, Milwaukee,
Singapura dan Hong Kong. “Saya mengembangkannya menjadi multipurpose deep tunnel,” ucap Firdaus, ahli bio-teknologi dalam
bidang air dan air limbah.
Adapun ide mengkombinasikan terowongan dengan jalan tol ia dapati setelah
meninjau proyek stormwater management and
road tunnel di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada terowongan sepanjang 9,7
kilometer itu dibuat jalan tol berjarak 3,1 kilometer. Selain itu, untuk
mengatasi kemacetan lalu lintas, terowongan sebagai pemasukan negara.
Di hadapan Gubernur Jakarta, Sutiyoso dan Wakil Presiden Jusuf Kala,
Firdaus mempresentasikan gagasannya. Keduanya kepincut. Bahkan Sutiyoso
berkunjung ke Kuala Lumpur untuk melihat langsung proyek tersebut. Namun,
ketika masa jabatannya habis, proyek itu terbengkalai. Penerusnya, Fauzi Bowo,
tak memasukkan proyek itu ke Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2011-2030.
Rencana pembangunan terowongan multiguna ini kembali hidup setelah Joko
Widodo terpilih sebagai Gubernur Jakarta tiga bulan lalu. “Ini terobosan untuk
mengatasi banjir, selain cara konvensional,” kata Jokowi setelah memeriksa
gorong-gorong di Jalan Thamrin pada Desember lalu.
Jokowi menyebutkan terowongan multiguna punya banyak manfaat, dari
mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas hingga sebagai akses kabel telepon,
listrik dan saluran gas. Ia mengatakan telah mengantongi nama tiga investor
yang berminat menggarap megaproyek ini.
Tak mau membuang waktu, Jokowi langsung tancap gas dengan melobi Menteri
Pekerjaan Umum. Mereka lantas membentuk tim kaji cepat. Tim yang beranggotakan
ahli dari berbagai disiplin ilmu ini membuat tiga subtim: transportasi dan
kelayakan ekonomi, hidrolika dan hidrologi, serta soal terowongan (tunneling).
Kajian mendalam sangat diperlukan. Sebab, kondisi
geologi Jakarta berbeda dari Kuala Lumpur. Pertama, tanah Jakarta disusun oleh
endapan vulkanik dan sedimen dengan umur geologi relatif muda, 10.000 ribu
tahun. Material daratnya dominan campuran pasir dan lempung.
“Sifat dua material batuan itu loose atau mudah lepas” ujar Robert Delinom, ahli hidrologi dari
Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Akibatnya,
amblesan tanah banyak terjadi di belahan utara Jakarta. Apalagi diiringi dengan
pembangunan yang masif di atas permukaan dan penyedetoan air tanah.
Kedua, Jakarta menyimpan sejarah terjadinya gempa besar beberapa ratus
tahun lalu. Sialnya, tak ada yang tahu kapan gempa serupa bakal kembali
terjadi. Hal ini berbeda dengan Kuala Lumpur, yang tanahnya didominasi batuan
granit keras. Ibu kota Malaysia itu juga relatif stabil dari gempa karena
merupakan baian inti Benua Asia.
Wiratman Wangsadinata, pakar dan praktisi bidang konstruksi
yang turut menggarap proyek terowongan multiguna, tak terlalu khawatir soal
penurunan tanah atau amblesan di Jakarta. “Penurunan tak akan terjadi karena
tidak ada penambahan tekanan pada tanah,” katanya.
Soal tanah yang lunak, Wiratman mengatakan telah ada teknologi untuk
mengatasinya. Begitu juga ancaman gempa. Dia mencontohkan Jepang, yang berhasil
membangun terowongan bawah laut terpanjang di dunia antara Hokkaido dan Honshu.
Padahal gempa sering terjadi di sana.
Wiratman melihat ada tiga masalah yangharus dipecahkan. Pertama, terkait
dengan hidrologi untuk memperhitungkan debit banjir yang benar. Saat ini angka
debit yang ada berkisar 500-700 meter kubik per deti. Angka debit air yang
tepat akan menentukan besar-kecilnya terowongan.
Karena itu, dibutuhkan studi mendalam mengenai debit Sungai Ciliwung dan 13
sungai yang mengalir ke Jakarta. Studi data hidrologi yang ada saat ini tidak
lengkap karena kini berlangsung perubahan iklim. Menurut dia, harus ada ahli
yang bisa membuat model perubahan iklim terhadap perubahan hidrologi.
Soal kedua adalah lintasan air. Rancangan awal, terowongan berada di bawah
Sungai Ciliwung yang melintasi Jalan M.T. Haryono hingga Manggarai lalu ke
Kanal Barat dan berakhir di Pluit. Belakangan muncul desain baru dengan rute
berada di bawah jalan tol M.T. Haryono hingga Gatot Subroto, Slipi, terus ke
Pluit. Rancangan baru ini diusulkan PT Antaredja Mahkota Jaya, calon penggarap
proyek tol itu.
Kedua jalur tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. Di bawah sungai atau
kanal permasalahan yang muncul adalah pembebasan tanah antara Jalan M.T.
Haryono dan Manggarai. Untuk desain kedua, problem bakal muncu ldengan banyak
jalan layang dengan donfasi sedalam 40-50 meter. “Kita harus cari solusi
bagaimana kalau mesin bor menabrak,” ujarnya.
Masalah ketiga terkait dengan pompa. Secara teori, air di kedalaman 50
meter dapat dipompa. Masalahnya ada pada jenis dan jumlah pompa yang
dibutuhkan. Menurut Wiratman, harga pompa sangat mahal dan akan mubazir jika
hanya dipakai selama tiga pekan atau tiga bulan dalam setahun.
Ia menegaskan, secara teknis tak ada kendala dengan proyek terowongan ini.
Masalah justru terletak pada layak atau tidak secara finansial. “Biaya Rp. 16
triliun masih taksiran kasar, bisa lebih atau kurang,” katanya.
Arie Setiadi memperkirakan biaya pembangunan proyek bisa mencapai Rp. 23
triliun. Jumlah itu belum termasuk biaya operasional. Ia menghitung volume air
Sungai Ciliwung yang dimasukkan ke terowongan ini pada puncak musim hujan
sekitar 60 meter kubik per detik.
Untuk menyedot air dari dalam terowongan ke Waduk Pluit dibutuhkan pompa
besar. Satu jam pompa beroperasi membutuhkan tenaga listrik berbiaya setara
dengan Rp. 10 miliar. Pada banjir 2007, mesin pompa di Waduk Pluit bekerja 70
jam untuk menyedot air dan membuangnya ke laut.
Menurut Arie, tim kaji cepat terus menganalisis terowongan multiguna. Ada
sejumlah ukuran atau indikator proyek ini dikatakan layak atau tidak. Pertama,
apakah terowongan terintegrasi dengan sistem pengendalian banjir dan
transportasi yang ada. Kedua, mampukah proyek ini menarik investasi dunia
usaha. Ketiga, apakah terowongan itu bisa mengakomodasi amlesan tanah di utara
Jakarta. Keempat, apakah terowongan multi guna itu solusi jangka pendek atau
jangka panjang.
Arie mencontohkan kondisi Waduk Pluit yang kini semakin sempit dan dangkal.
Belum lagi 10 ribu keluarga berjejalan mendirikan hunian di tepi waduk. Kini
daratan Pluit dua meter di bawah permukaan airlaut. Sedangkan tren amblesan tanahnya
rata-rata 10 sentimeter per tahun. “Apakah warga nyaman tinggal di permukiman
yang nantinya berada lima meter di bawah paras air laut?” ujarnya.
Tahun lalu Kementerian Perekonomian mengkoordinasikan proyek raksasa
Jakarta Coastal Development Strategy (JCDS). Anggota tim berasal dari
Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Lingkungan Hidup, Kehutanan,
Perencanaan Pembangunan Nasional, serta pemerintah Jakarta, Jawa Barat dan
Banten.
Empat indikator yang dipakai untuk menilai terowongan multiguna juga
diterapkan di megaproyek ini. Waduk Pluit, Sunter dan Melati saat ini tidak
mampu menampung air banjir, Menurut Arie, dibutuhkan waduk retensi lain seluas
30 riu hektar. Haya, sangat sulit mencari lahan seluas itu di Jakarta.
Belum lagi butuh biaya besar untuk pemeliharaan dan pengoperasian pompa.
Arie menghitung dibutuhkan pompa berdaya 1000 meter kubik per detik. Padahal
biaya listrik memompa air sebesar 1000 per kilowatt per jam. “Mengapa kita
tidak membuat waduk raksasa di Teluk Jakarta?” katanya.
Waduk itu dibuat dengan membuat tanggul laut sepanjang 37-40 kilometer dari
Bekasi di Jawa Barat hingga Tangerang di Banten. Di atasnya terdapat jalan tol dan jalan layang
transportasi cepat dan massal. Jalan tol ini terintegrasi dengan rencana jalan
tol Jakarta Outer Ring Road III dan jalan tol Surabaya Merak.
Menurut Arie, waduk itu mampu menampung 1,5 miliar meter kubik air untuk
bahan baku air minum. Perusahaan air minum bakal memasok air untuk warga
sehingga mereka tidak lagi menyedot air tanah. Amblesan lahan, kata dia, juga
disebabkan oleh penyedoan air dalam tanah. Biaya megaproyek JCDS sekitar Rp.
200 triliun dengan 80 triliun untuk membangun tanggul laut.
Pemerinta optimisi dana itu bakal tertutupi dengan
menggandeng dunia usaha. Sejumlah perusahaan yang telah mendapat konsensi
reklamasi pesisir Jakarta bakal diajak urunan. “Daripada masing-masing buat
tanggul laut dan membangun fasilitas produksi air baku, mending kita bangun
bersama,” ucap Arie, yang menjadi sekretaris tim JCDS.
Setelah rencana induk selesai, baru dilakukan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis atau analisis mengenai dampak lingkungan secara keseluruhan. Tim JCDS
kini ngebut mematangkan master plan. Maklum, pemerintah ingin sebelum kabinet
berakhir tahun depan telah dilakukan pencanganan fisik megaproyek ini. / Untung
Widyanto, Erwin Zachri.