Article - Berita -
Peran Perempuan dalam Pengadaan Air
Peran Perempuan dalam Pengadaan Air 20 Januari 2015 70% permukaan bumi terdiri dari air, akan tetapi dari
seluruh air yang ada, kurang dari 1%-nya merupakan air tawar bersih yang dapat digunakan untuk memenuhi
kehidupan manusia. Seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, sosial ekonomi dan kemajuan teknologi,
kualitas dan kuantitas air dirasakan semakin menurun di tengah kebutuhan akan
air yang semakin meningkat. Hal ini banyak disebabkan oleh kerusakan lingkungan; pengaruh dari perubahan iklim yang
berdampak pada panjangnya musim kemarau dan tidak menentunya curah hujan; hutan sebagai penangkap air hujan
yang semakin gundul; serta pencemaran
air sungai dan air tanah oleh limbah
industri.
Kendala lain yang dirasakan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan air adalah kendala pendistribusian, debit air dan pendanaan. Yang paling merasakan dampak dari kesulitan memperoleh air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah penduduk miskin terutama perempuan. Perempuan, tidak peduli bagaimana keadaannya, mereka harus tetap berjuang meskipun sulit memperoleh air. Perempuan sering menjadi pihak yang harus memastikan kebutuhan air rumah tangganya terpenuhi. Kondisi ini memposisikan perempuan sebagai pihak yang paling menyadari dampak buruk kualitas dan kuantitas air bagi keluarga. Ini karena peran sebagai caretaker membuat mereka berusaha melindungi keluarga dari penyakit. Seorang ibu di Desa Jada Baring Kabupaten Bangka, mengambil air langsung ke SPAM yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari tempat tinggalnya. Untuk menghemat waktu, dia pergi dengan naik motor dan pulang dengan berjalan kaki sambil memikul 2-3 ember air. Di tempat lain, di Dusun Satu Desa Kecamatan Puding Besar, warga mengambil air di sumur batu dengan berbekal gerobak, jerigen, ember dan botol. Di sumur batu ini sudah tersedia ember dan gayung khusus untuk menjaga agar air dalam sumur tetap bersih. Hal ini memperlihatkan pengaruh akses air bersih terhadap keseharian kaum perempuan. Hak perempuan atas air sebenarnya sudah diatur dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) tepatnya di Artikel 14 bagian H yang menyebutkan bahwa harus ada jaminan akan hak perempuan untuk memperoleh kondisi hidup layak terkait perumahan, sanitasi, listrik, air, transportasi dan komunikasi. Selain itu, Konferensi Tingkat Menteri tahun 2001 di Bonn, Jerman, menyepakati bahwa pengelolaan air seharusnya didasarkan pada pendekatan partisipatif. Baik laki-laki maupun perempuan perlu terlibat, mempunyai kesetaraan dalam pengelolaan penggunaan air berkelanjutan, dan setara dalam memperoleh manfaat. Semua pihak sudah seharusnya menyadari pentingnya keterlibatan perempuan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan air bersih. Aspirasi dan harapan perempuan banyak mengarah kepada kepentingan keluarga. Hal ini berkaitan erat dengan peran perempuan sebagai penyedia, pengelola dan pengguna air di keluarganya. Ketika mendapatkan akses air bersih yang layak, maka perempuan dapat memiliki lebih banyak waktu dan tenaga untuk hal lain yang lebih bermanfaat untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Salah satu daerah di Indonesia yang telah mencantumkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan terkait dengan air adalah Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ini tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat (AMPL-BM), tepatnya berada di Bagian keenam Pasal 10 yang terdiri dari 3 ayat. Menuju tercapainya universal access di sektor air minum, peran dan partisipasi perempuan dalam pembangunan air minum perlu lebih serius ditingkatkan dan diperluas. (Eka)
|