Biotoilet, Jamban Tanpa Limbah

12 November 2012

Sumber daya alam yang semakin terbatas dan jumlah penduduk bumi yang mencapai 7 miliar pada tahun 2011 mendorong inovasi untuk menekan penggunaan SDA melalui teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat. Salah satunya adalah biotoilet, yang saat ini telah dikembangkan sebagai toilet sistem kering yang mempergunakan serbuk kayu sebagai media penangkap dan pengurai tinja dan urine. Tidak hanya itu, limbah dapur sisa makanan juga dapat diolah di dalamnya.

Menurut Pusat Penelitian Fisika LIPI yang mengembangkan biotoilet ini, keunggulan dari WC kering atau biotoilet ini adalah efisiensi dalam penggunaan air karena tidak diperlukan air untuk menggelontor (flushing); tidak menimbulkan bau, dan tanpa limbah.

Produk ini merupakan alternatif untuk mengurangi limbah domestik yang dibuang tanpa pengolahan ke sungai, badan air, atau mencemari air tanah. Biotoilet ini akan menghemat konsumsi air per orang, karena dari hasil penelitian, 40% penggunaan air bersih adalah untuk buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK).

Penggunaan biotoilet ini juga dapat menekan kasus diare pada daerah dengan kepadatan penduduk tinggi, atau sarana sanitasi yang tidak memadai. Ciri khas dari desainnya adalah tidak menggunakan air untuk menggelontor kotoran. Namun, langsung ditampung dalam tempat pengolah untuk ukuran tabung biotoilet 0,5 m3 dengan kapasitas 30–50 orang per hari. Selang 3-4 bulan, serbuk kayu lama dapat diganti dengan serbuk baru. Berdasarkan penelitian LIPI, biotoilet ini mampu mengurai 60% feses manusia dalam 1 hari. Selain itu, toilet kering ini tidak menebarkan bau layaknya septic tank biasa, serta tidak memerlukan saluran pembuangan khusus.

Sampah serbuk gergaji yang sudah dipakai dapat dimanfaatkan sebagai media kompos tanaman atau material komposit lainnya. Prinsip sanitasi berkelanjutan dan sirkulasi material alami mendasari konsep alat ini.

Bentuk biotoilet ini cukup sederhana dan mudah dikonstruksikan dengan bahan yang mudah didapat. Tabung biotoilet dirancang dari bahan stainless steel yang tahan selama 3 tahun, tidak mudah bocor dan tidak berkarat. Berdasarkan estimasi yang dilakukan LIPI, biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 5 juta– Rp 10 juta jika dibuat secara massal. Dengan berbagai keunggulannya, diharapkan biotoilet ini dapat diaplikasikan di daerah dengan akses air bersih yang sulit.

Share