Hari Air Sedunia: Jakarta Hadapi Krisis Air Perkotaan

23 Maret 2016
Dibaca : 1591 kali

Memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret, menjaga kelestarian air tentu menjadi tanggung jawab kita semua. Tidak hanya melibatkan peran pemerintah tetapi juga peran masyarakat untuk terus peduli pada keberlangsungan air di masa depan. Menyoroti hal itu, dalam acara yang bertajuk Ngbrol Tempo “Diskusi Hari Air Sedunia 2016: Menghadapi Tantangan Krisis Air Perkotaan” yang digelar pada 22 Maret 2016 di Balai Agung – Balai Kota DKI Jakarta dijelaskan bahwa saat ini hanya sebesar 60% kebutuhan air di Jakarta yang terpenuhi.

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam sambutannya mengatakan saat ini kebutuhan air warga Jakarta baru terpenuhi 60% padahal terdapat 13 sungai di Jakarta. Menurutnya hal tersebut terjadi karena pengolahan serta pemanfaatan air yang belum tepat dan maksimal. Pemerintah provinsi DKI Jakarta pun telah melakukan sejumlah upaya untuk menangani hal itu seperti membangun waduk dan membuat sistem pembagian 13 sungai di Jakarta.

“Jakarta dikaruniai begitu besar. Di barat ada sungai Cisadane, di timur sungai Citarum dan di tengah sungai Ciliwung itu bisa dimanfaatkan. Pengolahan airnya saja yang masih berantakan,” ujar Ahok.

Fakta lain juga diungkapkan oleh Direktur Utama PAM Jaya, Erlan Hidayat bahwa selama ini pasokan air bersih untuk warga disuplai dari Waduk Jatiluhur sebesar 81% dan sisanya diambil dari Sungai Cisadane sebanyak 15% dan sungai lainnya yang ada di Jakarta. Menurutnya kebutuhan air di Jakarta diperkirakan 27.443 liter per detik pada 2019 dan yang tersedia hanya 18.000 liter per detik.

“Jika tidak berbuat apa-apa, defisit air di depan mata sementara penduduknya terus bertambah. Hanya 60% warga yang bisa mengakses air bersih perpipaan dan sisanya terpaksa mengonsumsi air tanah yang tidak memenuhi kualitas kesehatan,” jelas Erlan.

Sementara itu, Praktisi Bidang Bioteknologi Lingkungan, Firdaus Ali mengatakan sebanyak 97% air disuplai dari luar dan rentan terhadap gangguan pasokan. Jika kebutuhan air bersih sulit akibatnya masyarakat terpaksa mengonsumsi air tanah dangkal yang saat ini sudah tercemar. Sementara air taah dalam sudah dalam kondisi kritis dan memicu permukaan tanah turun. “Jakarta, kota dengan permukaan air tanah turun tertinggi di dunia. Bukan tidak mungkin jika terus dibiarkan, Jakarta akan tenggelam,” ujar Firdaus.

Dengan kondisi tersebut sudah seharusnya semua pihak harus turun tangan dan peduli pada keberlangsungan air di masa depan. Tidak hanya mengandalkan pemerintah, masyarakat juga harus melakukan berbagai upaya seperti hemat air, simpan air dan jaga air mulai sekarang demi kelestarian air yang tetap terjaga di masa depan. (Rini Harumi)

Share