"Curhat" Para Petugas Sanitarian

Sumber:Kompas - 23 Desember 2004
Kategori:Sanitasi
SEDIH, geregetan, dan kecewa meliputi batin drg Juanita. Betapa tidak, Kepala Puskesmas Labuapi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, ini mendapati seorang bayi yang mulai membaik dari kondisi kurang gizi justru diketahuinya meninggal. Bayi berusia kurang dari satu tahun itu diasuh oleh neneknya karena ibunya menjadi tenaga kerja di Arab Saudi dan bercerai dari suaminya.

Karena itu, pihak pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) memberikan bantuan makanan, susu, dan suplemen lain sekaligus memantau perkembangan kesehatan bayi itu.

Suatu ketika seorang bayi dibawa ke puskesmas itu karena menderita diare. Bayi itu ternyata selama ini jadi perhatiannya. Belakangan bayi tersebut, karena dehidrasi, tidak bisa tertolong dan meninggal. Selidik punya selidik, rupanya sang nenek kurang telaten membersihkan botol dan bagian dotnya dibiarkan kotor.

"Saya tanya staf, bagaimana reaksi sang nenek? Katanya, biasa-biasa saja, seakan merasa tidak bersalah," tutur Juanita dengan nada menyimpan rasa dongkol.

Kedongkolan Juanita mungkin karena nalurinya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai curahan hati (curhat) seorang tenaga kesehatan yang menghadapi persoalan di lapangan. Selain menangani teknis-medis, mereka juga disodorkan pada persoalan nonmedis, seperti perilaku warga masyarakat yang merugikan hidup sehat. Ini dominan bisa dilihat secara kasatmata di wilayah kerjanya.

Dusun Jogot, Desa Bagek Polak, Lombok Barat, asal bayi yang tidak bisa merayakan hari ulang tahunnya yang pertama itu, amatlah kumuh. Jarak antarrumah penduduk 0,5-1 meter, bahkan tidak sedikit sumur dan tempat membuang segala jenis limbah cair perut pun amat berdekatan. Akibatnya, tetangga di kanan-kiri merasa terganggu bau kurang sedap menusuk hidung.

"Saya sering mendapat pengaduan: Bu Dokter, tolong bagaimana caranya diberi tahu," Juanita mengutip seorang warga yang indekos dekat lokasi pembuangan limbah itu.

Persoalan semacam itu juga dialami Muhid, petugas sanitarian Desa Bengkel, Lombok Barat. Menurut sanitarian yang bertugas sejak 1997 itu, kondisi permukiman penduduk di wilayah kerjanya nyaris serupa dengan Dusun Jogot. Atap antarrumah penduduk berdempetan, lalu satu rumah bisa dihuni tiga-empat kepala keluarga (KK). Tiap KK memiliki tiga-empat anak, berjejal hidup dalam rumah berdinding bedek, beratap jerami, dan berlantai tanah.

Kondisi tempat tinggal penduduk itu terkadang juga berdekatan dengan kandang ternak, di mana penghuninya sangat "terbiasa" mencium bau kotoran maupun limbah cair hewan ternak itu. Karena keterbatasan lahan, program subsidi jamban keluarga jarang bisa terlaksana.

Namun, ada juga warga yang diberi bantuan pipa, semen, dan sejenisnya, tetapi tidak digunakan sesuai peruntukan seperti membangun jamban, melainkan dipakai memperbaiki rumahnya. Sedangkan aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) dilakukan di sungai....

Wajar bila ada pendapat bahwa NTB kebagian hampir segala bentuk program kesehatan kendati hasilnya selalu di bawah target. Apalagi ada oknum pelaksananya yang lebih berorientasi pada sasaran kuantitatif ketimbang target kualitatif yang jadi hajat program kesehatan itu.

"SEBETULNYA masyarakat mau mendengar anjuran dan nasihat petugas, seperti melengkapi rumahnya dengan ventilasi agar sirkulasi udara keluar-masuk rumah menjadi lancar. Tetapi, keadaan sosial ekonomi yang membuat mereka tidak bisa mewujudkan apa yang dianjurkan," ucap Heldiauzni, sanitarian di Puskesmas Karang Taliwang, Kota Mataram.

Sanitarian warga Lingkungan Rembiga Barat RT 02, Kelurahan Rembiga, Kota Mataram, ini acap merasa pekerjaannya sia-sia. Misalnya, tentang "klien"-nya, seorang ibu penderita TBC yang mendapat pengobatan gratis dari puskesmas.

Perempuan itu sembuh dari penyakitnya, tetapi kambuh lagi karena rumahnya di Cakranegara, pusat bisnis di Mataram, tidak sehat; berlantai tanah, berdinding bedek, tinggi pintu masuk sekitar satu meter, tanpa jendela, dengan luas bangunan sekitar empat meter persegi, tinggal bersama suami dan dua anaknya.

Heldiauzni pernah mengusulkan agar dana Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) dipakai merehabilitasi rumah itu, kendati usulan itu tidak dibenarkan. Dana JPS-BK bukan untuk itu, melainkan guna membantu pasien miskin berobat pada fasilitas layanan puskesmas dan rumah sakit.

Gagasan itu dilontarkan sebab sanitarian yang bertugas selama lima tahun itu kerap diprotes warga. Mereka menuding petugas cuma bisa ngomong, tanpa memberi bantuan nyata dalam bentuk materi atau barang seperti bahan bangunan.

Heldiauzni senang jika anjurannya dipatuhi warga. Umpamanya, ada warga kini terbiasa minum air matang yang semula lebih suka minum air mentah (belum dimasak).

Atau tentang warga yang kini mulai terbiasa buang air besar (BAB) di jamban. "Katanya, mereka masih canggung BAB di dalam ruangan tertutup. Saya bilang, nanti kalau sudah biasa lama-lama ketagihan," tutur Heldiauzni tentang model penyuluhan yang ditempuhnya.

Masa tugasnya yang relatif lama selaku konsultan sanitasi membuat Heldiauzni jeli melihat mana warga yang jujur maupun berbohong. Misalnya, seorang ibu yang ditanya apakah air yang diminum itu mentah atau dimasak lebih dahulu.

Atau ada ibu yang melapor anaknya mencret, padahal air yang diminum sudah dimasak. Persoalan itu justru dijawab sendiri oleh warga. "Saya amati mereka saat memasak sampai di dapur. Ketika anaknya merengek minta minum, sang ibu segera mengambil air mentah untuk diminumkan kepada si anak," ungkap Heldiauzni.

Tayangan iklan penyuluhan maupun pemberitaan kesehatan di media televisi dinilai cukup efektif bagi masyarakat.

Menurut Hamid, warga tergerak untuk bertanya saat mendengar ada kejadian luar biasa (KLB) diare. Setelah diterangkan apa maksud KLB, bagaimana cara mencegah terjadinya diare, malah orang yang bersangkutan minta diberi kaporit. (rul)

Post Date : 23 Desember 2004