" Makin Panas dan Terkoyak "

Sumber:Koran Jakarta - 23 April 2009
Kategori:Lingkungan

Di usia ke-4,6 miliar tahun, kondisi Bumi makin labil. Intensitas “kiamat kecil” meninggi. Apa yang bisa dilakukan oleh makhluk Bumi?

Mungkin hal ini terdengar gila. Pada 15 Juli tahun lalu, Lewis Gordon Pugh, seorang aktivis lingkungan hidup, berenang selama 18 menit 50 detik menempuh jarak satu kilometer di Samudera Artik. Dia hanya mengenakan celana renang, kacamata Speedo, dan penutup kepala. Hal yang tidak mungkin dilakukan 10 tahun lalu. Dari demonstrasi ekstrem itu, Pugh ingin menunjukkan bahwa efek pemanasan global telah mengakibatkan naiknya suhu permukaan laut.

Sudah sedemikian parahnya kondisi Bumi, sehingga Pugh tidak ragu memprediksi pada 2050 lapisan es di Kutub Utara akan punah seluruhnya. Sebenarnya Pugh tidak sembarang nyerocos. Institusi internasional dan LSM lingkungan dunia juga merekam memanasnya suhu Bumi dalam 10 tahun terakhir.

Total es Kutub Utara yang mencair mencapai 552 miliar ton. Padahal, daerah itu berfungsi sebagai pemantul 80 persen panas matahari ke angkasa. Akhirnya, panas akan diserap langsung laut dan temperatur meningkat. Akibatnya, semakin banyak es yang terancam dan suhu Bumi makin panas.

Mencairnya es di Kutub Utara juga memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Semisal, kenaikan 100 sentimeter akan menenggelamkan enam persen wilayah Belanda atau 17,5 persen daratan Bangladesh.

Diikuti erosi tebing, pantai, dan bukit pasir, secara keseluruhan, bila air laut dunia naik 15 sentimeter tiap tahun, maka pada 2100, separo lebih negara di dunia akan tenggelam. Pasalnya, sebagian besar negara di dunia merupakan wilayah pesisir.

Catatan Intergovernmental Panel and Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa tiga tahun terakhir terjadi peningkatan suhu Bumi antara 0,6 sampai 0,9 derajat celcius. Sekilas, angka peningkatan suhu di bawah nol derajat celcius tersebut tidak berarti banyak bagi tubuh manusia. Namun, lain soal bila terjadi pada Bumi.

Di Indonesia, potret “kiamat kecil” juga kian terang. Catatan BMG menyebutkan iklim makin tidak menentu dan ekstrem. Curah hujan tahunan di Indonesia naik 2-3 persen, diikuti angin kencang, meski durasi hujan lebih pendek dan kerap terlambat. Ketinggian air Teluk Jakarta bertambah 0,57 sentimeter per tahun.

Wabah “penyakit purba” seperti demam berdarah dan malaria kembali menyeruak. Sektor pangan turut terimbas. Produksi pangan nasional, khususnya beras, merosot empat persen, jagung 50 persen, dan kacang kedelai 10 persen per tahun. Penyebabnya, menurut survei Departemen Pertanian, akibat merosotnya tingkat kesuburan tanah mencapai 2-8 persen. Lagi-lagi karena perubahan iklim yang ekstrem.

Data IPCC juga menyebutkan pemanasan Bumi mengancam ketersediaan air, khususnya di negara- negara tropis. Di negara-negara itu, cadangan air tanah berkurang 10-30 persen setiap tahun. Keseimbangan kondisi tanah dan organisme tanah pun labil.

Meningkatnya suhu Bumi, menurut Prof Dr Suharsono, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berakibat ke berbagai sektor, mulai dari tanah, udara, hingga laut.

Untuk relasi laut dan gas emisi, misalnya, saat ini, laut yang memiliki peranan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) bekerja ekstra. Sebab, kandungan CO2 di atmosfer semakin meningkat. “Industri membuat karbondioksida semakin banyak,” ujar pemegang gelar master dari Jurusan Biologi di James Cook University, Australia, itu.

Sebelum era industrialisasi (1750), tingkat karbondioksida di atmosfer hanya 280 ppm (part per million). Sedangkan catatan dua tahun lalu, kandungan karbondioksida bertambah 98 ppm, atau masuk ke kategori tidak normal.

Pola Pikir

Ari Muhammad, Koordinator Adaptasi dan Perubahan Iklim, Program Iklim Energi World Wildlife Foundation (WWF) juga sepakat bahwa perubahan iklim Bumi didominasi perbuatan manusia. Pola pikir masyarakat yang mengedepankan aspek ekonomi ketimbang penyelamatan lingkungan. “Jika memunyai lahan, masyarakat lebih memilih membangun kos-kosan atau warung, ketimbang membangun lahan terbuka,” kata Ari mencontohkan. Padahal, di tengah kondisi tanah Indonesia yang tidak stabil dan rentan banjir, sangat dibutuhkan ruang terbuka hijau atau membuat sumur resapan.

Selain soal mindset masyarakat, Ari menilai pemerintah belum maksimal mengatur tata letak bangunan hingga sumur resapan pada setiap rumah. Aktivitas lain yang menyebabkan pemanasan global adalah penggunaan bahan bakar fosil yang tidak efisien. “Banyak mobil hanya diisi satu orang. Kemacetan pun makin menjadi dan membuat bahan bakar terbuang percuma,” ujar dia.

Oleh karena itu, menurut Ari, saatnya mengusung gaya hidup hijau, yaitu gaya hidup yang peduli lingkungan. Misalnya, dalam mengurangi dampak pencemaran udara, Ari menyarankan agar menggunakan bahan bakar fosil secara bijak, tidak boros dan seperlunya.

Termasuk menggunakan produk-produk yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bahan bakar, seperti meminimalkan penggunaan tisu dan kantong plastik

Termasuk melakukan hal-hal sederhana lainnya, seperti lebih sering menggunakan transportasi umum ketimbang mobil pribadi. Membiasakan berjalan kaki untuk menuju tempat yang tidak terlampau jauh. Misalnya, jarak tempuh 50-100 meter, cukup berjalan kaki. Jarak 100 meter hingga satu kilometer, bisa ditempuh dengan bersepeda. Kemudian, jarak lebih dari itu, baru menggunakan kendaraan umum.

Selain itu, usahakan menggunakan bahan bakar bio, menggunakan peralatan atau perkakas rumah yang hemat energi dan irit listrik. Semoga dari usaha sederhana itu dapat membantu mengobati Bumi, sehingga di usianya yang ke-4,6 miliar tahun ini, tidak semakin panas dan terkoyak. “Kita belum berakhir, masih dapat berbalik dan melakukan sesuatu,” kata Dr James Hansen, ahli Iklim NASA suatu hari.din/L-4



Post Date : 23 April 2009